logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

PART 3 AWAL YANG BAIK

……
“Sekeras-kerasnya hati, lambat laun terkikis kasih dalam alunan sikap penuh misteri. Sempat berbaik diri, namun tetap saja dia belum perduli.”
……
Berbeda dengan hari sebelumnya, kini aku sudah terbiasa diantar jemput oleh lelaki menyebalkan itu, tak ada penolakan lagi, seakan telah pasrah dengan permintaan Ayah. Menolak juga tiada guna hanya membuang energi dan pastinya tak diizinkan. Meskipun sesekali hati masih menggerutu, tetapi apadaya diri ini tak kuasa melawannya.
Berjumpa dengan lelaki menyebalkan ini seperti mimpi buruk. Ingin rasanya ku buat ia tak nyaman, dan dia saja yang menolak untuk mengantarku, pikirku dalam hati. Kilat pikiran itu membuat ku tersadar dari lamunan di siang hari. Aku terduduk diam berdekatan dengan jendela kamar. Mataku memandang lekat-lekat sinar bagaskara yang begitu terik menghangatkan daksa.
"Duh... bisa-bisanya aku melamunkannya, hebat sekali dia," ucapku sambil memukul kepala seolah menyadarkan.
Setengah sadar aku menatap jam dinding yang terpasang di kamar. Larut dalam lamunan membuat aku lupa waktu, padahal tepat jam 14.00 Dinna memiliki janji dengan temannya di kampus, untuk membahas tugas kuliah. Dengan langkah kilat Dinna segera bersiap-siap, karena 3 menit lagi jarum jam menunjukkan pukul 14.00.
Tangan sigap Dinna berkerja dengan baik, ia mengambil sweetter kesayangannya itu lalu bergegas keluar rumah. Namun karena terburu-buru ia lupa bahwa mobilnya masih di bengkel, hal itu yang membuat langkah kakinya terhenti di bagasi.
"Oh, iya aku lupa selama ini kan sama sih cowok itu, mobil masih di bengkel. Mau pesen ojek online atau naik metro mini?"
"Aaaah..." teriak Dinna geram.
Melihat tingkah lucu anaknya itu, Ayah spontan menggoda. "Sudah telpon saja sih dia," sambil tersenyum tipis.
"Dia? Dia siapa Ayah?"
Dinna masih belum paham maksud ayahnya itu. Setelah beberapa menit datanglah Dika di depan rumah Dinna dengan klakson nyarinya itu.
"Tin..tin..tin," bunyi klakson motor Dika.
"Berisik sekali", celetuk Dinna kesal.
Ayah yang melihat hal itu hanya tertawa terpikal-pikal.
"Ayah... "
Dinna baru paham maksud perbincangannya dengan ayah beberapa menit yang lalu. Berusaha meredam emosi. Dinna menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
Pak sopir yang berkerja di rumah Dinna spontan membuka pagar rumah setelah mendengar bunyi nyaring tadi. Tanpa intruksi Dika masuk dengan muka lugunya, dilanjutkan dengan berjabat tangan dengan ayah Dinna.
Bola mata Dinna membesar, wajah merah dengan tangan sudah dilipat di atas dada. Gigi merapat dengan sedikit gertakan dengan mengigit lembut bibir bawah miliknya. Muka malas terlihat jelas di muka gadis ini. Sementara Dika tak menggubris mimik wajah Dinna yg kesal padanya.
"Ayo pergi," ucap Dinna tanpa basa-basi.
"Dia tak sabar berdua denganmu, Dik."
Rayuan ayah itu membuat emosiku mencapai tahap klimaks, tetapi ku coba tak menghiraukannya. Segera aku pamit pada ayah dan bergegas pergi.
Sepanjang jalan kami hanya terdiam bisu dan aku pun tak perduli akan hal itu. Bagiku yang terpenting aku sampai kampus dan menyelesaikan tugasku.
..........
Esok harinya, melihat ramalan cuaca sepertinya akan turun hujan dan ternyata hal itu benar, hujan turun tanpa permisi. Berhasil mengguyuri kami dan alam semesta. Melihat hujan semakin deras, Dika pun menepi di sebuah ruko, terdapat banyak orang yang lagi berlindung dari deraian hujan yang deras.
Saat berlindung ia memberiku jaketnya, seperti biasa ia lempar jaket itu tanpa kata-kata.
Jarak kami cukup berjauhan. Namun aku menolak pemberiannya, ku lemparkan kembali jaket itu padanya. Aku tak mau mengenakan jaket miliknya. Bagaimanapun dia tetap rivalku. Bukan temanku. Jadi tak usaha berpura-pura baik (dalam hati mendengkur).
Melihat diriku menolak pemberiannya, matanya melotot seolah ingin marah. Baru pertama kali aku melihat ekspresinya seperti itu, selama ini wajahnya selalu datar, namun kali ini terlihat jelas cemasnya padaku. Dihampirinya aku, lalu dia masih memaksa diriku mengenakannya. Akhirnya aku berkata padanya.
“Aku tak apa, kamu saja yang mengenakannya, aku tak mau, berhentilah tak usah pura-pura perduli!” jawabku ketus. “Sudah pakai saja, ayahmu akan memarahiku jika kamu sakit, paham!" jawabnya sedikit kesal).
Aku terkejut, baru pertama kali dia berbicara langsung padaku. Selama ini kami selalu komunikasi satu arah, karena setiap kali kubicara dia hanya diam tak menggubris. Namun kali ini dia berbicara padaku dengan nada cemas, sungguh tidak bisa dipercaya. Karena sudah berulang kali ditawarkan mengenakan jaket, akhirnya pendirianku lemah juga, aku memakai jaket Dika agar tidak basah kuyup. Sementara Dika rela basah demi melindungi Dinna.
Keberuntungan masih berpihak pada kami, hujan pun mulai reda. Aku dan Dika bergegas kembali untuk pergi ke kampus, kami harap pembelajaran belum dimulai. Dan ternyata setibanya di sana, pembelajaran diganti hari, karena dosen tersebut berhalangan hadir. Kami pun tertunduk lesu, serasa sia-sia saja hujan-hujanan tadi.
Tanpa berpikir lama Dika langsung mengantariku pulang ke rumah. Karena baju kami saat itu cukup basah dan harus segera diganti. Mengingat kesetiaan dan kebaikan yang dia berikan aku mulai merasa tak enak hati padanya. Akhirnya ku berikan secangkir teh hangat untuk Dika. Namun setelah selesai membuatnya Dika malah segera pamit. Lagi-lagi sikap menyebalkannya masih ada. Sudah sepenuh hati dibuat malah pamit tanpa meminum teh sedikitpun. Dengan muka kusut akhirnya kuminum sendiri teh itu, dari pada mubazir dalam hatiku.

Book Comment (74)

  • avatar
    MardianaRina

    Dina hidup itu roda terus berputar kadang diatas kadang juga dibawah.. Hmm beruntung ada Dika jadi hidup lebih bwrwarna ya Dina

    04/02/2022

      10
  • avatar
    MeilandaIndah

    Mantab, ceritanya seru

    29d

      0
  • avatar
    WiyantoKusumo

    bagus

    11/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters