logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

3. Menikah

"Pernikahan diselenggarakan tiga bulan lagi."
Kalimat pendek ayah Sally masih terngiang di telinganya. Bagaimana bisa secepat ini? Sementara ia saja belum punya kesiapan apapun untuk hidup berumah tangga.
"Tiga bulan lagi, Bel."
"Apa? Secepat itu?" ucap Bella keheranan.
Sally memandang Bella sinis, seakan ia sedang ditertawakan.
"Eh, sorry. Aku cuma kaget."
"Nggak masalah. Aku juga kaget."
Hening tiba-tiba. Rasanya, ada sebuah duka di antara mereka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Sabar, ya, Sal." Bella menepuk pundak Sally menguatkan.
***
"Bagaimana bisa secepat itu, Raf? Kamu nggak mikirin perasaan aku?"
Raffi menjambak rambutnya frustasi. Ia kira dengan mendatangi Ana -pacar Raffi- pikirannya akan sedikit lebih relax, mengingat perempuan ini selalu bisa mendinginkan otak Raffi dengan caranya sendiri. Tapi ternyata tidak untuk kali ini.
"Baru kemarin kamu bilang mau nikah, sekarang kamu bilang tanggal pernikahan tiga bulan lagi?"
"Aku nggak bisa ngebantah Mama. Maafin aku."
"Ya. Turuti mama kamu. Semoga kalian bahagia," ucap Bella sambil berlalu meninggalkan Raffi.
Raffi memandang punggung kekasihnya yang berlalu. Ia tahu jika ia sangat menyakitinya. Tapi harus bagaimana lagi? Bukankah ia juga merasakan sakit yang sama?
"Maafin aku, An. Jalan kita memang tidak searah." Raffi berucap lirih.
Ia kembali duduk, menuntaskan beberapa putung rokok yang masih tersisa. Mungkin malam ini ia akan menghabiskan waktunya di sini. Pulang ke rumah dan bertemu orang tua hanya akan menambah masalah.
***
Setelah melewati tiga purnama, hari pernikahan itu datang juga. Bukan di ballroom hotel atau suasana outdor pantai, akad dan resepsi ini diadakan di rumah Sally dengan mewah dan khidmat.
Tamu yang datang sudah memadati kursi yang telah disediakan. Sementara mata Sally masih menyapu tempat yang hampir dipenuhi orang tersebut.
"Nyari apa?" sapa Raffi yang melihat sedikit keanehan Sally.
"Ooh, enggak."
"Ada yang lagi kamu tunggu?"
Sally tersenyum mengangguk.
"Sudahlah. Mungkin dia tidak datang." Raffi berpendapat.
Ia pun pasrah dan kembali konsen dengan para tamu, melihat mereka satu persatu hadir memenuhi ruangan.
Setelah semua selesai, sepasang pengantin baru pun turun dari singgahsana. Menyalami semua orang yang entah berapa jumlahnya membuat mereka berdua sama-sama lelah.
"Masih mencarinya?" sapa Raffi yang melihat Sally masih celingak-celinguk.
Sally menggeleng sambil tersenyum. "Aku masuk dulu, ya."
Raffi pun mengangguk. Ia tahu Sally pasti kelelahan seharian berdiri dan duduk di tempat yang sama.
***
Di kamar
Suasana canggung menyelimuti ruangan yang tidak sampai enam meter ini. Bagaimana tidak, dua orang berlawanan jenis yang bisa dibilang baru mengenal tiba-tiba harus berada dalam satu kamar.
Terlebih Sally. Ia bahkan tidak pernah mencopot hijabnya meski di dalam rumah. Dan ini ... apa ini? Ia harus sekamar dengan laki-laki? Bagaimana bisa?
Ia mulai gelisah. Meski tak pernah membuka hijab di dalam rumah, ia juga tidak serta merta memakai hijabnya saat tidur. Sally juga masih tergolong perempuan normal yang ingin tidur nyaman dengan piyama tidurnya.
"Kenapa?" tanya Raffi.
"T-tidak."
"Nggak usah takut. Siapa juga yang mau melakukan 'itu'?"
Sungguh, Sally juga tidak siap untuk menyerahkan mahkotanya malam ini. Tapi mendengar Raffi mengucap itu, hatinya merasa tidak nyaman, sedikit tersentil.
Raffi mendesah pelan. Rupanya ia tahu apa yang dirasakan Sally. Ia sadar sudah salah memilih kata.
"Maaf. Bukan begitu maksudnya. Setidaknya tidak ada malam pertama di malam pertama ini. Kamu mengerti, kan?"
"Iya. Aku mengerti."
"Sekarang ganti bajumu, dan tidur sini," ucap Raffi sambil menepuk ranjang sebelah kiri tempat ia duduki.
Ucapan Raffi seketika membuat Sally mengernyit.
"Dia tidak paham atau memang sengaja?" batin Sally.
"Aku ganti baju dulu."
Beberapa menit kemudian, Sally sudah datang dengan piyama tidurnya, tentu dengan rambut yang ia biarkan tak terbungkus. Raffi menganga melihatnya. Terpesona. Sedetik kemudian kesadarannya mulai terbangun.
Ia cepat-cepat mengalihkan perhatian, takut ketahuan si pemilik rambut.
"Tidak ... tidak. Ana lebih mempesona," ucapnya pelan sambil menggelengkan kepalanya.
Ia meyakinkan sendiri hatinya, bahwa cintanya untuk Ana masih tetap suci dan takkan terganti.
"Namanya Ana?"
Oh, rupanya telinga Sally masih berfungsi dengan baik. Meski pelan, ia tetap bisa mendengarnya. Raffi pun hanya bisa tersenyum.
Tidak terlalu buruk. Dibalik sikap ketusnya, ternyata Raffi sendiri orangnya enak untuk diajak bicara. Sally sedikit menemukan kenyamanan di dalam diri Raffi.
Lalu, apa kabar hati? Tentu baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini, sebelum benih-benih cinta mulai tersebar.
"Maaf, Sally. Aku nggak bisa melakukannya sekarang."
Kalimat penegasan itu lagi yang keluar dari mulut Raffi. Mungkin di pandangan Raffi, Sally adalah orang yang pelupa dan tidak mengerti bahasa manusia.
Sally tersenyum tipis, "Sama. Aku pun tidak siap untuk melakukannya sekarang." Tentu saja, ia tidak mau kalah.
Tidak ada yang istimewa. Malam pertamanya mereka isi dengan obrolan dunia masing-masing. Duduk dan tidur seranjang tanpa sebuah sentuhan.
Hingga pagi menyapa ....
Sally menggeliat dalam tidur. Secapek apapun, alarm alam selalu sukses mambangunkannya. Seperti pagi ini.
Ia merasakan ada sesuatu yang menghimpit tubuhnya. Hangat dan berat. Bahkan napasnya pun kini sudah tidak lancar tiap hirupnya.
Sedikit tersadar dari tidur, ia mencoba mengerjapkan mata, mencari tahu apa yang sesang terjadi sebenarnya.
Deg ....
Ternyata adalah sebuah pelukan. Lengan kekar serta kaki Raffi melingkar sepenuhnya pada tubuh Sally, bak ular piton yang sedang melemahkan tulang-tulang musuhnya.
Jantung Sally berdegup kencang. Seumur hidup, baru kali ini ia merasakan sentuhan dan pelukan seorang pria. Dan bersyukur karena seseorang yang memberi pelukan pertama itu ternyata adalah suaminya. Yaaa ... meski tanpa sadar.
"Kenapa bisa senyaman ini?" ucap Sally dalam hati. Ia tak rela menyudahi, tapi bagaimanapun juga pagi sudah menanti, dan artinya ini memang harus diakhiri.
Dengan pelan ia mencoba meloloskan diri dari pelukan Raffi. Menyingkirkan centi demi centi lengan kekar sang suami.
Dan berhasil. Ia mampu memindahkan lengan tersebut dari tubuhnya dan bersiap untuk beranjak dari tempat tidur.
Belum sempat ia turun, lengan berat itu kembali menggulungnya. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya, dan anehnya juga ... lebih nyaman.
"Jangan pergi."
"Apa, Raf?" Tak percaya Raffi mengatakan itu pata Sally, ia sampai harus memastikannya lagi.
"Tetap di sini." jawab Raffi dengan nada lebih sadar.
Tanpa penolakan, Sally menuruti kata-kata Raffi untuk kembali menjadi guling suami. Kelihatan bodoh, memang. Tapi apa dikata, pelukan itu jauh lebih menggoda.
Entah apa yang terjadi, tangan Raffi mulai sedikit aktif. Ia menggapai apa saja yang bisa ia gapai, pastinya pada tubuh mungil Sally.
Sally pun hanya bisa diam dan merasakan. Ia tidak tahu apa yang akan suaminya lakukan. Semakin lama geleny*ran itu semakin terasa. Dan tubuhnya pun semakin intens menghasilkan gaya kinetik layaknya ponsel yang sedang dalam mode getar. Pelan ... dan teratur.
Hingga satu l3nguh*n kecil keluar tak sopan dari mulut Sally, membuat Raffi semakin menjadi.
Yes. Usahanya tidak sia-sia.
=====
Shalys Chan
www.shalyschan.com
=====

Book Comment (63)

  • avatar
    LinataSelvi

    sangat bagus

    10h

      0
  • avatar
    SiwokOland

    tidak membuat bosan karena ada sisi lucunya

    13d

      0
  • avatar
    Kadek

    sangat bagus

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters