logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Jalan Berdua

"Jadi, bagaimana?" tanya Raffi pada Sally.
Hari ini mereka mencoba keluar berdua untuk saling mengenal. Jika ta'aruf adalah proses saling mengenal dengan dibatasi waktu, lain halnya dengan mereka. Cocok tidak cocok, harus berakhir di pernikahan, tentunya terlepas dari campur tangan Tuhan.
"Bagaimana apanya?" tanya Sally balik.
"Kamu terima perjodohan ini?"
Sally menampakkan senyumnya sekilas, "Jika aku tidak menerima, apa pernikahannya akan batal?"
Raffi pun tidak dapat menjawab. Sally benar, sekuat apapun mereka menolak, tetap saja tidak akan bisa merubah keputusan orang tua masing-masing. Mereka kembali membisu, menatap pandangan ke arah di mana bola mata mereka menuntun.
Angin berhembus dengan lembut, menyapu kulit kedua insan yang sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Raffi memijat kepalanya pelan, sedang Sally sibuk menggigiti kuku-kukunya yang sama sekali tidak panjang. Kencan macam apa, ini?
"Sudah punya pacar?"
Raffi mencoba memecah atmosfer kecanggungan yang saat ini melingkupi dirinya dan Sally, berharap obrolan ringan dapat sedikit mencairkan suasana.
Pertanyaan Raffi hanya dijawab dengan anggukan oleh Sally. Pembahasan masalah pacar adalah hal yang lumayan sensitif baginya. Ia pernah dekat dengan salah satu aktivis dakwah di kampusnya. Karena ada suatu hal yang mengharuskan pria tersebut pindah kampus, akhirnya mereka kehilangan kontak. Dan sampai sekarang, belum pernah bertemu lagi.
"Kamu?" tanya Sally balik.
Disandarkannya kasar punggung Raffi dan diiringi dengan napas panjang, ia kembali memijat kepalanya.  Tanpa dijelaskan pun Sally tahu jawaban atas pertanyaannya.
"Kenapa tidak mencoba memperjuangkan hubungan kalian?" Sally kembali bertanya.
"Kamu pikir bisa semudah itu? Kenapa kamu juga tidak memperjuangkan kebebasanmu?"
"Aku ...." Sally menggantungkan ucapannya, bingung harus menjawab apa. Karena nyatanya ia memang tak kuasa melawan ayah dan bundanya.
"Sudahlah. Mungkin memang ini jalannya."
"Apa ... dia ... tahu kamu mau menikah?" Kembali, Sally bertanya dengan hati-hati.
"Ya. Aku memberitahunya kemarin."
Kembali hening. Tidak ada lagi pertanyaan yang ingin Sally tanyakan. Di pikirannya hanyalah ada seorang perempuan lain yang sedang menangis karenanya. Tak ayal, rasa bersalah pun menghinggapi hatinya, dan suasana hening pun kembali merajai.
"Mau es krim?" tawar Raffi. Dipikir-pikir, mereka dari tadi hanya ngobrol dan sesekali diam. Tidak lucu jika ia membawa anak gadis orang tanpa memberinya jamuan yang layak.
Setelah mendapat jawaban dari Sally, bergebaslah Raffi membeli es krim.
Raffilangsung mendaratkan bokongnya ke tempat semula ia duduk, kemudian memberikan satu es krim untuk Sally.
"Nggak salah pilih rasa, kan?"
"Nggak. Aku bukan tipe orang dengan pilih-pilih makanan. Termasuk rasa."
Memang benar, meski tidak sepenuhnya. Sally memang bukan tergolong orang yang pilih-pilih makanan. Tapi ia begitu menjaga jumlah kalori pada tiap makanan yang masuk dalam tubuhnya.
Tidak perlu memakan banyak waktu, es krim tersebut pun sudah menghilang  dilahap Sally.
"Sekali-kali nggak papa libur diet," pikir Sally.
Di sela Sally membersihkan bibirnya, satu nada notifikasi terdengar dari ponsel Raffi. Raffi pun membuka pesan tersebut. Dahinya sedikit berkerut, tanda ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada apa?" tanya Sally.
"Aku harus pergi sekarang."
"Maksudnya, kita pulang sekarang?"
"Nggak. Kamu bisa pulang sendiri."
"Apa???"
"Maaf, Sally. Aku buru-buru. Ada hal yang lebih penting."
Raffi meninggalkan Sally. Entah ada urusan apa sampai harus buru-buru dan meninggalkannya sendiri di taman. Terang saja Sally kesal. Jika saja ia tahu kencan pertamanya harus berakhir begini, ia pasti akan membawa mobil sendiri. Dan sekarang, ia harus memikirkan bagaimana caranya bisa pulang ke rumah.
Satu ide terlintas. Ya, menelpon Bella. Bella pasti mau menjemputnya. hitung-hitung sekalian jalan-jalan. Hari minggu kan butik libur. Jadi, mereka bisa bebas pergi  sepanjang yang mereka mau.
"Hallo, Bel."
"Iya."
"Sibuk, nggak?"
"Kenapa?"
"Bisa ke taman deket Venus Indah? Jemput aku, ya. Sekalian nanti cuci mata."
"Nggak bisa, Sal. Maaf."
Ada sedikit suara tak biasa di seberang sana yang masih bisa Sally rasakan, "Bel, kamu nangis?"
"Ngga. Maaf, Sally. Aku nggak bisa bantu."
Tuuut ....
Sambungan telepon terputus sepihak. Tentu saja Bella yang yang mematikan teleponnya. Ia kembali memutar otak, dan menemukan korban baru yang akan ia repotkan.
"Kak Nayraaa ...."
"Ehhh, kamu kenapa?"
"Jemput, Kak."
"Bukannya tadi sama Raffi?"
"Iya,  tapi Raffinya udah pulang."
Bukan simpati atas penderitaan adiknya, Nayra malah terbahak. "Ya udah, naik taksi aja. Ribet banget, sih, jadi orang."
Sally berdecak sebal, "Ck, nanti kalau di dalam taksi ad--"
"Nggak bakal ada apa-apa. Siapa juga yang nafsu sama body tuyulmu."
Saking sebalnya, Sally langsung mematikan telepon seperti yang Bella lakukan padanya tadi. Sesuai saran Nayra, naik taksi adalah pilihannya.
***
Setelah mengucap salam dan berjabat tangan dengan Airin, Sally langsung menuju kamarnya. Badannya capek. Udara panas di luar membuat kulit Sally berkeringat dan rambut yang tertutup hijab pun terasa lepek.
"Sally, makan siang dulu, Nak." Terdengar Airin sedikit berteriak.
"Sally mandi dulu saja, Bund."
Ia pun memulai ritual mandinya.
***
Tak ingin berlama-lama mandi, juga karena perutnya ingin segera diisi, Sally pun menyudahi aktifitasnya. Meraih handuk, mengusap tubuh, dan berdiri di depan cermin untuk mengeringkan rambut basahnya.
Kegiatannya terhenti saat ia melihat ponselnya berbunyi. Diraihnya ponsel tersebut. Nampak satu pesan masuk dari seseorang yang setelah ia buka ternyata menampilkan foto Raffi di profilnya.
Maaf.
Sally membuka dan membaca pesan yang hanya berisi satu kata tersebut tanpa berniat membalas. Ia tidak peduli. Bahkan untuk berpikir dari mana Raffi mendapat nomor hapenya juga ia tidak mau tahu.
Daripada sibuk memikirkan Raffi yang belum tentu juga memikirkannya, Sally memilih ke ruang makan untuk mengisi perut yang dari tadi menuntut asupan gizi.
"Tumben makan banyak? Biasanya kamu cuma pilih apelnya saja," Sapa ibunya Sally.
"Laper, Bund." Sally melahap makanannya dengan rakus, penuh emosi.
Hikam dan Airin hanya memandang heran, tanpa berniat menyapanya. Mereka tahu persis karakter masing-masing anaknya. Biarlah mereka memecahkan masalahnya sendiri, orang tua hanya mengarahkan.
"Sally." Hikam membuka percakapan.
"Iya, Ayah."
"Tadi sudah bertemu Raffi, kan?"
"Iya."
"Bagaimana dia?"
Dia meninggalkanku di taman dan menyuruhku pulang sendiri. "Dia baik."
"Jadi, tidak ada masalah untuk menikah dengan Raffi, kan, Nak?"
Ia bingung, antara memberi tahu Hikam tentang pacar Raffi atau tidak. Jika ia memberi tahun, kesannya ia mencari alasan untuk menolak perjodohan. Jika ia tetap diam, rasa bersalah pasti menghampiri sepanjang hidupnya.
"Sally ...." Kali ini Airin yang angkat suara. "Malah bengong. Itu Ayah nanya."
"Dia sudah punya pacar, Ayah." Akhirnya Sally bicara juga. Meski mungkin tidak berarti, setidaknya ia sudah berusaha menyelamatkan tiga hati.
"Itu urusan Raffi. Bukan masalah kamu. Jika cuma itu masalahnya, Ayah anggap sudah tidak ada masalah, dan perjodohan ini akan tetap dilanjutkan."
"Terserah Ayah saja." Sally sudah putus asa. Ia sudah menebak jika usahanya akan berakhir sia-sia, sebagaimana yang sudah-sudah.
=====
Shalys Chan
www.shalyschan.com
=====

Book Comment (63)

  • avatar
    LinataSelvi

    sangat bagus

    13h

      0
  • avatar
    SiwokOland

    tidak membuat bosan karena ada sisi lucunya

    13d

      0
  • avatar
    Kadek

    sangat bagus

    17d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters