logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 24 Sepenggal Memori

SM-24 POV. Amelia.
Akhir-akhir ini, aku selalu kebingungan dengan kilatan memori yang mampir begitu saja di kepala.
Bagaimana tidak bingung, secuil memori itu hanya tentang Dion saja. Padahal aku dengan Dion hanya pernah bersama selama seminggu dan beberapa kali bertemu saja. Kenapa memori itu begitu melekat di ruang ingatan?
“Aw!” Aku merasa kepala ini sakit.
“Amel! Apa ada sesuatu yang kamu ingat?” tanya Ronal tiba-tiba.
“Sejak kapan kamu ada di sini?”
“Astaga! Kamu melamunkan apa sedari tadi? Sampai kedatanganku tidak kamu sadari. Apa kamu tadi mengingat sesuatu? Itu pasti tentang kita ‘kan?” brondong Ronal.
“Aku mengingat sesuatu. Tapi, itu bukan tentang kita.”
“Terus, tentang apa?”
“Entahlah! Kamu sendiri ngapain ke sini malam-malam? Terus kok, kamu bisa masuk? Perasaan tadi pintu udah aku kunci, deh!”
“Kamu pasti lupa juga. Aku ‘kan memang punya kunci rumah ini juga dari dulu. Kamu yang kasih malah.”
“Masa?”
“Iya, Honey. Kamu bilang, kalau malam-malam kangen, datang saja ke sini.”
“Serius, kita ini memang dekat dan intim?”
“Ya ampun, jadi kamu belum percaya? Bagaimana kalau kita buktikan saja?”
“Caranya?”
“Kita bercinta malam ini. Aku yakin, kamu pasti bisa mengingat sesuatu setelahnya. Ini adalah hal paling pribadi diantara kita. Kamu akan merasakannya sendiri.” Ronal berujar sembari mencium pucuk kepalaku.
“Nal!” Aku mendorongnya.
Kali ini ia tidak mundur begitu saja. Napasnya terdengar menderu berat. Dia menggendong dan membaringkanku di ranjang king size.
“Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku sungguh sangat merindukanmu, Honey!” ucapnya pelan.
“Jangan, Nal! Kumohon,” lirihku.
Namun, Ronal seolah tuli. Ia tidak peduli lagi dengan wajaku yang memelas. Disibakkannya dress piyamaku yang panjangnya di atas lutut. Piyama berbahan satin itu dengan mudah tersingkap ke atas hingga bagian perutku terekpos.
“Honey!” seru Ronal tampak syok.
“Ada apa?”
“Apa ini?” tunjuknya ke sebuah tanda berwarna coklat gelap berbentuk lingkaran di bawah pusarku.
“Ini? Yang begini, ya, tanda lahir. Memangnya kenapa? Kan, kalau dulu kita sering melakukan hubungan, harusnya kamu tidak mempertanyakan hal seperti ini lagi.”
“Masalanya dulu, kamu tidak memilikinya. Apa benar ini tanda lahir?” tanyanya memastikan sambil menyentuh lagi tanda di tubuhku.
“Maksudmu?” Aku jadi semakin bingung.
“Argh!” Ronal tampak frustasi dan menyugar kasar rambutnya.
Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan Ronal tadi. Sebelumnya aku tidak memeliki tanda lahir. Apa ini tanda yang sengaja dibuat? Tetapi untuk apa? Atau jangan-jangan aku ini bukan Amelia?
“Nal, apa mungkin aku ini hanya mirip Amelia?” tanyaku.
Apa lagi ingatan yang mampir di memoriku tadi, hanya tentang Dion. Ingatannya pun terasa aneh. Aku seperti sudah sejak lama bersama anak itu. Kilatan ingatan menggambarkan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan dengan Dion selama seminggu atau selama bertemu tiap akhir pekan. Apa mungkin itu memang ingatanku di masa lalu yang terlupakan? Lalu siapa aku ini?
“Melodi? Apa mungkin kamu Melodi? Istri yang si Pras cari. Bukankah dia bilang kalian sangat mirip?” Ronal menerka tiba-tiba.
Ternyata apa yang dipikirkan Ronal sama dengan yang tengah aku pikirkan.
“Mungkinkah? Lalu kenapa aku bisa sampai berada di sini?”
“Tunggu! Besok, kita harus pergi ke Rumah sakit, usul Ronal.”
“Mau apa?”
“Kita pastikan dulu tanda itu.”
“Ok.”
Sunyi ….
Aku buka-buka kembali album foto dan apa pun yang sekiranya bisa membuatku ingat akan sesuatu. Saking memaksa otak untuk mengingat, kepalaku jadi terasa kian sakit. Ronal menyuruhku untuk rehat saja.
Kini aku membolak-balik badanku dengan gelisah di atas kasur. Otakku tidak bisa kuhentikan untuk terus berpikir. Sementara Ronal bergeming di atas sofa. Matanyanya pun tidak kunjung terpejam.
***
Hari yang dinanti sepanjang malam telah tiba.
Jam Sembilan kami sudah berada di rumah sakit. Dokter kulit menjadi tujuan utamanya.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang dokter ramah.
“Ini dok, saya ingin memastikan sesuatu,” ucapku.
“Sesuatu?”
“Iya. Sebuah tanda di tubuh saya.”
“Sebuah tanda, apa maksudnya?”
“Saya mengiranya sebuah tanda lahir.”
“Jadi Anda ingin saya memeriksa sebuah tanda lahir? Apa Anda ingin membuang tandanya?”
“Bukan, Dok. Saya hanya ingin dokter memeriksanya. Apa tanda lahir ini asli?”
“Dimana tanda lahir itu?”
“Di bawah pusar saya, Dok.”
“Kalau begitu mari kita periksa di sana,” ajak dokter seraya beranjak ke sebuah bad pemeriksaan pasien.
Aku pun berbaring dan menyibakkan baju hingga tanda itu dapat terlihat jelas. Dokter mulai menyentuh dan memperhatikannya.
“Bagaimana, Dok. Apa ini memang tanda lahir asli? Maksudnya bukan buatan.”
“Iya. Ini memang tanda lahir. Tentu saja asli.”
“Jadi, ini bisa dipastikan ada semenjak saya dilahirkan?”
“Ya iya, sesuai namanya, tanda lahir. Tentu sudah ada sejak Anda dilahirkan.”
Aku dan Ronal beradu pandang. Dia masih tampak tak percaya dengan tanda lahirku.
Setelah kami benar-benar memastikan hasil pemeriksaan dokter tentang tanda lahir ini, aku dan Ronal memutuskan untuk mendatangi Mami, yang selama ini diklaim sebagai ibuku.
Sesampainya di rumah Mami, dengan tidak sabar Ronal mempertanyakan tanda lahir itu.
“Mih, Amelia bukankah tidak memeliki sebuah tanda lahir?” tanya Ronal.
“Iya. Amelia tidak memeliki tanda lahir. Emangnya kenapa? Kok, tiba-tiba bahas tanda lahir segala?” dahi Mami mengekrut.
“Mih, tapi nyatanya sekarang ada tanda lahir di tubuhku.”
“Maksudnya bagaimana?”
“Lihat ini!” Aku menunjukkan tanda lahir itu.
“Hah!” Mami pun terlihat kaget. “Kok, bisa?” lanjutnya.
“Ini tanda lahir asli, Mih. Sudah dipastikan ada sejak aku dilahirkan,” kataku.
“Tidak mungkin! Mami yang besarkan kamu. Mami yang selalu mandikan kamu waktu kecil,” sangkal Mami.
“Apa Mami melahirkan anak kembar?”
“Tidak.”
“Mih, apa mungkin aku bukan Amelia?”
“Tunggu! Sebenarnya Mami merasa kamu itu memang berbeda dari Amelia yang Mami kenal. Akan tetapi, selama ini Mami menganggap ini wajar saja karena mungkin gara-gara kamu hilang ingatan.”
“Jadi aku sangat berbeda dengan Amelia?”
“Iya. Terutama gaya penampilanmu saat pertama kali Ronal menemukan. Kamu seperti seorang muslimah. Padahal kita ini non muslim,” papar Mami.
“Jadi kami langsung merubah gayamu kembali seperti Amelia yang kita kenal,” imbuh Ronal.
“Apa mungkin aku ini Melodi, Nal?”
“Bisa, jadi. Lalu Amelia?” Mata Ronal berkaca-kaca.
“Siapa Melodi?” tanya Mami.
“Itu istrinya Pras yang pernah Ronal ceritakan,” jawabku.
“Oh, yang kata Ronal kalian sampai bertengkar gara-garanya?”
“Iya, Mih.”
“Ada hal lain yang membuat Mami bingung,” terangnya. Lalu Mami mengambil sebuah album dan tergesa membukanya.
Diperlihatkan sebuah foto bergambar diri ini. “Kenapa dengan fotonya?” tanyaku.
“Lihatlah sebuah kalung di lehernya!” titah Mami.
Aku dan Ronal memperhatikan kalung yang berliontin sebelah hati itu.
“Iya, Mih. Itu kalungnya yang ini ‘kan?” tanyaku seraya memegang kalung yang selalu menggantung di leher.
“Masalahnya, coba perhatikan liontin sebelah hati ini!” tunjuk Mami. “Di foto jelas-jelas kalau liontinya berbentuk sebelah hati bagian kanan, tapi liontin di kalung yang kamu pakai itu berbentuk liontin hati sebelah kiri,” jelasnya lalu.
“Iya, benar Mih!” seru Ronal.
“Apa mungkin Amelia memiliki kembaran? Pasalnya ….” Ucapan Mami menggantung.
“Kok, Mami malah bertanya sepert itu? Pasalnya apa, Mih?” desakku.
Tinggalkan jejak like dan komen 🌻

Book Comment (142)

  • avatar
    AjaVera

    SEMANGAT TERUSS!! APK INII BAIK SEKALIIIII LOVE YOUUU MAKASII SUDAH DI CIPTAKAN AKU JADI BISA TOP UPP

    22d

      0
  • avatar
    MKSSultan

    jalan ceritanya sederhana tapi menarik

    11/07

      0
  • avatar
    Nurul Asyiqin

    👍👍👍👍👍👍

    06/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters