logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7

Sepedanya dikayuh dengan cepat. Hembusan angin yang meniup pori-pori rambut Hendra. Dia mendengar suara lantunan ayat suci Al-Qur’an bersuara keras. Seorang laki-laki tua mengenakan peci warna putih. Sesaat, Hendra sudah lama tidak mendengarkan suara bunyi berlafaz bahasa arab. Dengan penuh semangat, dia bergegas menuju rumah Soni.
Sepanjang jalan, hanya berlandaskan tanah. Seandainya cuaca hujan, permukaan tanah jadi licin dan dipenuhi genangan air. Sehingga manuver atau jalannya mulai licin. Belum lagi jejak ban juga turut memperlambat pergerakannya. Jarak antara rumahnya dengan Soni memakan waktu dua puluh menit. Dia berbelok kiri sebanyak tiga kali. Sampai di jalan persimpangan jalan. Lirikan matanya menunggu kendaraan melintas. Beruntung, mobil maupun motor tidak terlalu banyak melintas. Hendra langsung menerobos ke dalam gang. Selama dalam perjalanan, pohon-pohon berdiri tegak. Menutupi sinar matahari. Samping kiri, terdapat puluhan bamboo yang sudah diikat oleh seseorang. Sebelahnya, toko kelontong seorang penjual sedang melayani tiga orang pembeli. Termasuk membeli bensin, telur dan deterjen ukuran kecil. Kedua kakinya diturunkan ke tanah, menggesek permukaan tanah sebagi pengganti rem yang blong. Lalu berbelok ke kiri yang ada toko kelontong sembari melewatinya.
Hendra terus mengayuh hingga sampai di rumah Soni. Tepatnya rumah dia lima blok dari toko kelontong. Dia menaruh sepeda dekat kandang sapinya. Rumah Soni tidak memiliki pagar besi. Hanya dipasang pagar dari bamboo sederhana. Dua buah pohon yang ditanam berupa belimbing dan mangga. Masih menggunakan atap dari jerami yang diuntai menggunakan tali. Tiangnya tebal, tapi rentan terhadap hewan seperti rayap atau dikerubungi semut. Dia menggeser pintu bambunya, berlari ke pintu kayu. Hendra terus mendobrak-dobrak pintu dari luar. Memanggil namanya.
“Soni! Apa kau di sana! Jawab aku!” teriak Hendra.
Namun tidak ada jawaban. Hendra terus mendobrak berkali-kali. Kedua tangannya memerah karena menggedor pintu tanpa berhenti. Tetap tidak ada respon dari tuan rumah. Hendra menggoyangkan knop pintu berkali-kali. Responnya juga sama. Hendra memutuskan memutar ke halaman belakang. Jalur kiri dia tempuh. Kebetulan tidak terlalu luas dan masih baru ditanam tanaman cabe. Ada pintu yang terbuka di bagian atas. Tangan kanan merogoh tuas ke belakang. Pintu mulai terbuka. Rupanya ruang belakang itu adalah dapur. Banyak piring disusun rapi dan makanan yang siap disajikan berupa tempe, tahu dan opor ayam. Sendok dan garpu juga disiapkan. Begitu juga dengan penanak nasinya.
Di depan mata Hendra, sebuah kamar mandi yang pintu biru terbuka. Hendra berjalan berbelok ke kanan. Memanggil nama Soni dengan bersuara pelan.
“Soni … kau di mana?” tanya Hendra merogoh ponsel pribadinya.
Sebuah ponsel hitam bermerek Nokia 3110 Classic. Dia memencet nomor Soni sekaligus menekan tombol warna hijau di sebelah kiri. Suara berdering terdengar dari arah sebelah kanan. Firasat buruk terus menghantui dalam pikiran Hendra. Jantung berdegup kencang disertai pembuluh darah bergetar. Menelan air ludahnya ke tenggorokan. Berharap tidak terjadi sesuatu pada Soni dan keluarganya.
Hendra memilih berjalan pelan-pelan. Kain transparan yang berwarna putih. Dia membukanya pelan-pelan. Namun Soni tidak ada di dalam ruangan. Ketika berbalik arah, suara erangan terdengar dari lemari. Hendra bergegas untuk membuka satu persatu lemari pakaian. Ternyata bapaknya Soni berada di dalam. Pakaian yang dia kenakan berlumuran darah dan tusukan di bagian perut dan samping dada. Tubuhnya mulai lemas. Hendra memegangnya dengan hati-hati. Suara erangan dan urat nadi melemah. Hendra menekan bagian lukanya. Memastikan tidak mengalami pendarahan.
“Selamatkan … anak-anakku.”
“Di mana mereka, pak?” tuntut Hendra pada bapak Soni.
Jari telunjuk diangkat, mengarah ke kanan. Lalu mulai lemas hingga menghembuskan napas terakhirnya. Rahang Hendra menegang. Berusaha untuk tidak menangis di depan beliau. Dia bangkit berdiri sambil mempercepat pencarian di rumahnya. Menggeledah tiap-tiap rumah. Namun hasilnya nihil. Sampai Hendra menemukan sebuah tangan tergeletak di dinding. Langkah kakinya bergegas menghampirinya. Ketika sampai di sana, hanya sebuah tangan kanan dipenuhi berceceran darah. Hendra menjerit ketakutan. Kedua kakinya bergetar hebat. Dia memegang kedua tangannya. Terus bergetar sampai tubuhnya tidak bisa bergerak. Kedua bola matanya terus menatap telapak tangan berlumuran darah. Tiba-tiba, sebuah cairan keluar dari tenggorokan. Lalu memuntahkan seluruh isi perutnya ke tanah. Bercampur dengan air liur dan kotoran dalam perut. Selesai memuntahkan semua, Hendra mengusap bibirnya. Menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir sejenak. Bisa jadi yang dia lihat itu tangan seseorang, bukan tangan Soni maupun sekeluarga. Kedua kakinya bangkit berdiri. Berjalan sambil mencari lagi keberadaan mereka. Satu persatu, Hendra mengecek ruangannya. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Hingga bau amis pada suatu ruangan. Tanah bercampur dengan darah segar. Jemari Hendra menyentuh darah di tanah. Mengendusnya sambil berjalan menuju pintu terkunci. Dia mendorong sekuat tenaga.
Pintu ruangan mulai terbuka. Pemandangan mengerikan terlihat. Darah merembes ke tanah, mengenai dinding ruangan. Termasuk benda-benda di ruangan seperti buku, tas, dan kasur. Membentuk sebuah pola yang tidak diketahui dengan pentagram tulisan darah. Hendra menutup mulutnya dengan mata terbelalak. Apalagi, sosok yang tidak asing di matanya, Soni dan sekeluarga mati dalam keadaan telanjang sekaligus terpenggal kepalanya. Badannya terpisah-pisah.
~o0o~
Hendra berlari ke belakang. Dia terus berlari untuk keluar dari rumah Soni. Namun, tekanannya begitu kuat. Bahkan melebihi roh makhluk halus biasanya. Jantungnya bergedup kencang. Tubuhnya berat, tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Melirik pada sosok yang tidak begitu jelas. Makhluk itu membawa sebuah pisau berukuran raksasa yang mampu memotong kepala mereka. Pisau yang digenggam penuh berlumuran darah. Ketika menoleh ke arah Hendra, wajah makhluk itu mulai terlihat. Kedua matanya memancarkan warna kuning seperti goblin. Tubuhnya bersisik dan hidung mancung. Ada bekas sayatan pada pipi sebelah. Tangan kanan menggenggam erat pisau besar. Hentakan langkah kaki membuat Hendra kesulitan untuk bergerak. Semua anggota tubuhnya berusaha melawan tekanan dari aura makhluk itu. Namun tidak berhasil. Kedua mata Hendra mendongak ke atas. Melihat lengan kanan makhluk tersebut bersiap menghabisinya. Seandainya saja aku tidak berada di sini, tentu hidupku masih tenteram dan tidak perlu menolong Soni, sesalnya dalam hati.
Namun, sebuah pukulan mendarat ke tubuh makhluk bermata kuning. Tubuhnya terhempas mengenai halaman belakang. Hendra terkejut bukan main. Kepulan asap memperlihatkan bagian kaki hingga badan. Semakin lama, kepulan asap semakin memudar melihat seluruhnya. Seorang laki-laki tua berkumis putih sedang memeragakan teknik bela diri. Kedua kakinya berancang-ancang untuk menyerang lagi. Pakaian yang dikenakan berupa seragam pencak silat warna hitam dengan sabuk merah di pinggangnya. Tidak hanya itu, golok yang terpancar memancarkan aura tegang di seluruh ruangan. Memperlihatkan sebuah symbol yang tidak dipahami oleh dirinya. Telapak tangan kiri diangkat ke samping dengan jempol rapat. Sedangkan telapak tangan menadah. Kaki kanan berada di depan dengan lutut ditekuk.
“Beruntung aku datang tepat waktu,” kata laki-laki mengenakan seragam pencak silat.
Namun di sampingnya, terdapat Hendra yang menggigil ketakutan. Bahkan, tubuhnya mulai tidak mematuhi perintah. Hingga tubuhnya ambruk ke tanah. Kedua matanya mulai tertutup secara paksa.
“Bocah … bocah!”
Tidak ada hasilnya. Hendra tidak sadarkan diri. Suara dentuman begitu nyaring. Memecahkan semua barang-barang yang ada di dalam. Laki-laki berseragam pencak silat menelan ludahnya. Sebisanya dia untuk menahan makhluk itu selama mungkin. Namun karena dentuman dan ledakan yang dahsyat begitu besar, bisa jadi orang-orang bergegas kemari. Dan itu akan menimbulkan banyaknya korban jiwa. Laki-laki berseragam pencak silat berlari sambil mengerahkan tendangan ke makhluk bermata kuning. Namun kedua kakinya berhasil ditangkap. Oleh makhluk itu. Tangan kanan mengubah memegang goloknya. Menebas lengan yang digenggamnya hingga terjatuh ke tanah. Kedua kakinya mendorong badan makhluk bermata kuning sekuat tenaga sampai menghancurkan dinding jerami. Laki-laki berseragam pencak silat merasa pertarungannya belum berakhir.
“Monster itu masih hidup, ya? Bener-bener merepotkan.”
Ketika monster itu menghampirinya, ayunan golok dari pergelangan tangan kanan berhasil membantai makhluk tersebut. Hingga tubuhnya cerai-berai. Setelah itu, dia membalikkan tubuhnya. Melihat kondisi Hendra yang tidak sadarkan diri. Menggaruk-garuk kepala, berharap dirinya tidak ingin menyelamatkan seseorang. Tidak ada pilihan lain. Aku harus membawanya, gumamnya dalam hati.
###

Book Comment (43)

  • avatar
    BatrisyaNuha

    bagus

    12/03/2023

      0
  • avatar
    FitraAidil

    saya suka ceritanya

    07/02/2023

      0
  • avatar
    MailiniHema

    Mantap

    08/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters