logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6

Bel lonceng empat kali kali berbunyi. Menandakan berakhirnya masa sekolah. Para siswa berhamburan keluar dari kelas sambil menenteng tas masing-masing. Guru merapikan bukunya, memilih bergantian siswa yang keluar terlebih dahulu. Terkecuali dua orang yang sibuk mencatat di papan tulis. Setelah dicatat, mereka dengan buru-buru keluar dari kelas.
Suasana kelas begitu lengang. Meja panjang yang dipenuhi coretan Correction Pen Tipe X. Ada yang bertuliskan macam-macam di bangku. Kursi panjang warna coklat masih dalam kondisi mulus dan tidak memgalami cacat sedikitpun. Dindingnya terbuat dari beton dan belum ada warna catnya. Jam dinding pemberian dari salah satu alumni siswa, memperlihatkan waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Dengan bergegas, Hendra menutup pintunya dan berjalan menuju pintu luar gerbang.
Sesaat, dia melihat banyak kelas yang tidak layak untuk dipandang. Beberapa tanaman ditanam dan disiram oleh beberapa siswa lantaran guru sedang sibuk mempersiapkan ujian. Seluruh area sekolah hanya dilapisi tanah. Tidak seperti SMA lainnya yang menggunakan batu bata atau beton, sehingga kokoh apabila terkena hujan sekalipun.
Namun sayang, SMA Kridha Dopang tidak memiliki anggaran dana BOS. Sehingga sulit merealisasikan renovasi. Beruntung, para alumni bersedia membantu renovasi meski tidak banyak. Terlihat beberapa pekerja kuli bangunan sedang memberikan semen pada dinding. Mengenakan pelindung kepala plastik.
Hendra yang berusia enam belas tahun berjalan cepat sambil memegang tasnya. Melewati halaman dan gawang sepak bola. Di sampingnya, banyak siswa menaiki sepeda ontel dengan bermacam-macam warna. Termasuk Hendra sekalipun. Dia menarik sepeda warna merah, lalu mendorongnya hingga ke luar gerbang. Setelah itu, dia kayuh menuju ke rumah.
“Hendra!” teriakan dari seorang gadis membuat jantungnya berdegup kencang.
Sosok gadis berambut pendek, lengkap dengan seragam SMA. Kedua matanya memancarkan pesona yang menawan di mata laki-laki. Senyuman bibirnya dan hidung mancung, sedang menuju ke arah Hendra. Tas yang ditenteng olehnya berisikan lukisan gambar cat, digulung kurang rapi. Entah karena takut rusak atau sobek, Hendra tidak tahu harus berbuat apa. Parfum wangi menusuk ke rongga hidung dengan mengayuh sepeda warna serupa.
“Astuti! Kenapa kau ada di sini?”
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Astuti memasang muka cemberut.
“Bukan begitu. Kau kan masih sibuk tugas menggambar? Bukankah nanti aku terkesan mengganggumu?”
Astuti sadar dengan maksud ucapan Hendra. Sebuah lukisan yang belum rapi. Apalagi, kondisi tasnya susah untuk ditutup resletingnya. Pernah Hendra mengomentari untuk membeli tas baru. Tetapi Astuti menolaknya karena itu pemberian kakaknya semasa waktu SMA.
“Habisnya, aku tidak suka dengan suasana sekolah ini. Mereka terlalu berisik.”
Hendra tidak mengatakan apapun. Dia memilih untuk mengayuh sepedanya. Sepeda motor maupun mobil yang melintasi arah berlawanan, tidak dipedulikan olehnya. Sepanjang jalan diberi aspal. Sayangnya, pelebaran jalan masih sulit direalisasikan. Di sampingnya, terdapat selokan yang ukuran satu sentimeter. Sehingga apabila cuaca hujan deras, selokan tidak akan cukup. Dan menggenang ke jalan raya. Apalagi track begitu curam dan menukik secara acak.
Otot pada kedua kaki Astuti mulai menegang. Letih karena terus mengayuh melintasi medan area yang curam dan mendaki. Sadar jarak antara dirinya dan Astuti mulai menjauh, dia pun berhenti mengayuh. Kemudian, mendorong jagang pada sepeda. Bergegas menuju sepeda Astuti. Hendra mendorong dari belakang hingga Astuti mencapai puncaknya. Tenaga mereka berdua mulai habis. Keringat bercucuran membasahi badan dan wajah.
“Maaf ya … telah merepotkanmu, dra.”
“Bukan apa-apa. Sebagai temanmu satu-satunya, kau tidak perlu memaksakan diri!” katanya dengan suara terbata-bata.
Akhirnya, mereka berdua telah sampai di atas bukit jalan raya. Lalu kembali mengayuh, berbelok ke kanan. Melintasi taman dan gubuk kecil yang terdiri dari tiga unit sepeda motor beserta sopirnya. Terlihat salah satu wanita tua meminta ojek pada sopir, memberikan uang sejumlah tiga puluh ribu untuk diantarkan ke suatu tujuan. Tanaman-tanaman yang subur bersiap untuk dipetik hasilnya. Hingga mereka telah sampai ke rumah masing-masing. Lokasi rumah antara dirinya dan Astuti cukup dekat. Astuti memilih jalan terpisah karena mau menjemput adiknya yang masih kelas tiga SD. Sepeda yang dipakai Hendra diparkir rapi di belakang halaman. Mulanya seperti biasanya.
Namun entah bagaimana, perasaan Hendra mengatakan, akan ada suasana dingin yang menanti di pintu depan rumah. Belum lagi, para roh berkumpul sedang mengawasi adiknya, Heni sedang belajar ilmu bela diri. Kurasa, aku tidak akan mendapatkan ucapan selamat datang darinya, gumam Hendra dalam hati.
~o0o~
Sejak kecil, Hendra bisa melihat hantu. Dimulai dari hantu paling ramah hingga galak sekalipun. Bahkan, ada juga hantu yang memiliki jiwa patriotisme terhadap negara Indonesia. Namun akhir-akhir ini, Hendra tidak melihat hantu yang selama ini dia kenal. Sosok seorang wanita tua mengenakan baju daster putih, memakai ikat kepala pada keningnya dan merangkak seperti kuntilanak. Walau demikian, senyumannya memancarkan aura sebagai seorang ibu, yang ditinggal anaknya pergi untuk selamanya. Oleh sebab itulah, Hendra merasa ketiadaan beliau membuatnya jadi murung.
Halaman rumah begitu kumuh dan tidak terawat sama sekali. Pohon yang harusnya sejenis dengan pohon tetangga, malah muncul akar seperti pohon beringin. Sebuah sesajen ditaruh di atas papan triplek. Bau kemenyan dan dupa yang ditempatkan pada canang sari. Sebisanya Hendra untuk menjauhi sesajen, kalau tidak mau dimarahi orang tuanya. Dinding beton tanpa cat disertai jendela terbuat kayu jati, dibuka oleh ibunya bernama Sumiati. Wajahnya kulit sawo matang, dengan pipi lesung dan memakai make up tipis. Mengenakan baju kebaya warna biru bermotif batik. Kemben yang ditutupi blus biru dengan konde, berjalan mendekati pohon beringin tersebut. Hendra yang baru saja ngos-ngosan, diabaikan begitu saja oleh ibunya.
“Sudah pulang?”
Kata pertama keluar dari ibunya, Sumiati. Tetapi intonasi nadanya dingin seperti es yang terus membeku. Hendra memejamkan matanya. Menahan rasa sakit yang selama ini dia tahan demi tinggal bersama keluarganya. Tangan kiri diturunkan dan tangan kanan diangkat mencengkram baju sekolahnya. Kedua telapak tangannya dikepal. Rahang giginya menggigit bibir. Pembuluh darah naik dan matanya memancarkan kebencian yang mendalam terhadap orang tuanya. Sadar akan menimbulkan konflik yang tidak perlu, dia menarik napas panjang. Lalu hembuskan keluar sambil berkedip. Kemudian, Hendra menyunggingkan senyum pada ibunya.
“Semoga doa ibu terkabulkan.”
Hendra tahu bahwa ibunya sedang melakukan ritual pesugihan. Beliau selalu memanggil roh-roh untuk memperkaya diri dan sehat selalu. Akan tetapi, yang dia dapatkan hanyalah kemiskinan. Dan derajatnya semakin jatuh ke jurang kegelapan. Tidak hanya itu saja. Keluarganya terkena kutukan ilmu hitam. Ilmu itu memang tidak diajarkan dalam tradisi orang Jawa. Hanya orang tertentu yang dapat menguasai ilmu hitam dengan sempurna. Salah satunya Suyitno Pramoeadji, seorang pejuang terkenal di Semarang yang namanya tidak diakui oleh orang manapun lantaran ilmu hitamnya terlalu kuat. Akibatnya, seluruh keturunannya termasuk Hendra mengalami penderitaan yang tidak berkesudahan.
Karena itulah, Hendra bertekad membersihkan namanya dengan cara menjauhi perbuatan musyrik dan memfokuskan diri dalam ilmu hitam milik nenek moyangnya, Tjahyono Prakoso. Seorang pendekar yang memiliki ilmu berkebalikan dengan Suyitno, yaitu ilmu putih.
Pintu telah dibuka oleh Hendra. Terlihat adik perempuan sedang melakukan tendangan sambil memegang golok. Diayunkannya dengan mudah dan menusuk ke depan. Hendra terkejut dengan tingkat konsentrasi Heni. Seorang gadis berambut hitam, dengan mengenakan ikat tali warna merah dan berseragam bela diri. Kemudian, langkah kakinya diseret lurus, menarik napas panjang dan membuang pernapasan yang tidak perlu.
“Apa lihat-lihat?”
“Bukan apa-apa, kok.” Ucap Hendra berusaha mengalah.
“Awas saja kalau lihat latihanku … aku tidak segan-segan menghabisi kakak dalam sekejap!” kata Heni meninggalkan dia sendirian.
Setelah dia pergi, Hendra merasa cerita dari orang tua telah membutakan kebenaran yang selama ini mereka rahasiakan. Hendra memukul dinding keras, melotot tajam pada foto keluarga bersama dirinya dan Heni. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Lalu mengangkat telpon berdering. Ketika melihat namanya, terlintas nama Soni. Teman sekelasnya yang menghubungi Hendra. Dia menekan tombol panggilan warna hijau. Lalu menerima telponnya.
“Halo?”
“Dra, kowe nang endi? Aku njaluk tulung awakmu! (Dra, kau di mana? Aku minta tolong padamu).”
“Son, Ono opo? Kok suaramu pedhot-pedhot! (Son, ada apa? Kok suaramu putus-putus).”
Tidak ada jawaban dari Soni. Firasat Hendra tidak enak. Jantungnya berdetak cepat. Dia bergegas untuk mencari tahu keberadaan Soni.
###

Book Comment (43)

  • avatar
    BatrisyaNuha

    bagus

    12/03/2023

      0
  • avatar
    FitraAidil

    saya suka ceritanya

    07/02/2023

      0
  • avatar
    MailiniHema

    Mantap

    08/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters