logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5

Suara televisi dinyalakan di ruang tamu. Ukuran televisi tabung dengan ukuran empat belas inch, memiliki speaker di tiap sisi. Ukuran kaca cembung dengan ukuran dimensi 49 x 34.5 x 39 sentimeter. Terdapat tiga colokan kabel dari kuning, hijau dan merah. Ada juga tombol ganti channel, volume dan menu di bagian bawah. Sebuah lingkaran sebelah kanan, terdapat tulisan power, dengan satu lubang kecil dan gambar warna hijau, menandakan televisi sudah menyala.
Sebuah channel menanyangkan berita mengenai perkembangan terkini COVID-19. Serta membacakan berapa korban yang tewas. Seorang pria tua mengenakan masker warna hijau, berkacamata dan rompi coklat. Baju kerah bergaris-garis membacakan dengan nada intonasi datar. Setiap sore dibacakan hingga yang nonton bosan.
Heni sibuk menyetrika pakaian suami dan anak-anaknya. Tidak lupa juga mengecek panasnya baju mereka dengan menjilat air ludah jari ke baju mereka. Sudah cukup panas. Lalu setrika sedikit dan melipatnya dengan rapi. Di bawah baju, ada kain tebal yang dipasang dari spon dan kayu, supaya tidak terkena bekas setrika.
Rudi sedang mengaduk dua botol susu formula untuk Kinan dan Syarifah. Lalu menghampiri mereka sambil menoleh ke Heni.
“Sayang, Hendra masih belum sadar juga?”
Anggukan kecil dari istrinya. Tidak mengatakan apapun kecuali menyetrika sampai selesai. Rudi mendekatinya sambil memeluk pinggang Heni erat. Kemudian, mencium pipi kiri dia dengan penuh intim. Namun Heni melepaskan pelukannya, berbalik arah menatap suaminya. Kedua matanya menatap jakun yang menonjol. Lalu melingkarkan kedua tangan ke leher Rudi. Sadar akan hal itu, dia membalasnya dengan pelukan hangat.
“Tenang saja. Dia baik-baik saja kok. Yang penting sekarang tinggal berdoa pada Allah, supaya diberikan panjang umur dan sehat selalu.”
“Tapi mas, aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Tidak seperti waktu pernikahan pertama kita, aku yang masih bunting hanya bisa menatap jendela. Merasa tidak bisa melindungi kakakku,” katanya menitikkan air mata.
Rudi menggosok-gosok air mata Heni, mencium bibir istrinya dengan penuh lembut. Dia terkejut dengan ciuman tersebut. Tetapi begitu hangat dan menenangkan. Kedua insan saling memutarkan lidah sejenak. Lalu melepaskan bibirnya sampai keluar air liurnya.
“Dek, aku mungkin tidak tahu apa-apa soal dunia supernatural seperti dirimu dan Hendra. Tapi, aku akan terus mendukungmu dan melindungi anak kita dari bahaya. Meskipun harus mengorbankan nyawaku sendiri.”
“Jangan, mas. Tidak baik mengatakan tersebut di depan anak-anak,” ucap Heni menaruh punggung jari telunjuk pada bibir Rudi.
Beruntung, Kinan dan Syarifah tidak melihat apapun kecuali berita COVID-19. Heni memutuskan untuk mengganti siaran televisi dengan berbasis edukasi. Parabola dinyalakan, dan keduanya berteriak kegirangan.
“Hore, kartun!” teriak Kinan dan Syarifah.
“Kalian ini, ya? Sukanya nonton kartun. Padahal sudah besar lho,” ejek Heni menahan tertawa.
“Mama curang! Daritadi papa dan mama berpelukan melulu!” gerutu Kinan.
Heni yang mengadung delapan bulan duduk sejenak. Membiarkan Kinan dan Syarifah mengelus perutnya. Elusan dari kedua anaknya membuat bayi dalam kandungan menendang. Ekspresi Heni terkejut bukan kepalang.
“Mama, seandainya adik laki-laki mau diberi nama siapa?”
“Coba mama pikir. papa bisa bantu mama tidak memberikan nama?”
“Lho kok tanya ke papa sih? Kan yang ditanya mama,” kata Syarifah memasang muka cemberut.
Rudi menutup mulutnya, tidak mampu menahan tertawa ketika ditanya sama anak-anak. Heni mengerutkan kening, berpikir mengenai pemberian nama.
“Mama mau kasih—”
Tiba-tiba, suara ketukan pintu luar terdengar. Rudi berjalan menuju pintu, membukakan dari dalam. Terlihat pak Edi dan seorang gadis berkerudung. Beliau mencengkram kedua lengan Rudi dengan tatapan lega.
“Saya mau bertemu dengan Hendra sekarang juga!”
“Memangnya ada apa, pak?”
“Istri saya … istri saya sudah sembuh!”
~o0o~
Hendra mempersilakan pak Edi dan putrinya untuk duduk di kursi. Beliau mengenakan baju merah berkerah dengan jam tangan emas. Celana kain panjang hitam dan belum sempat melepas sepatu. Sedangkan putrinya mengenakan kerudung gamis warna oranye langsung. Gaun panjang nila dengan ornamen motif bunga duduk bersebelah dengan ayahnya. Di belakangnya, Heni sedang membawakan secangkir kopi dan teh untuk mereka berdua.
“Lalu, apa maksud istri anda sembuh?”
“Waktu itu, saya menceritakan permasalahannya pada Hendra mengenai situasinya. Terutama istri saya disantet oleh seseorang. Saya mau menanyakan perihal siapa pelakunya dan bagaimana bisa istri saya bisa terbebas dari santet?”
Rudi menatap Heni lebih lama. Tetapi istrinya menggelengkan kepala, mengisyaratkan untuk tidak memberitahukan rahasia keluarga pada siapapun.
“Maafkan saya pak. Saya tidak bisa memberitahukan bagaimana caranya. Tapi satu hal yang pasti, pelakunya itu tetangga di depan bapak. Namanya bu Rosita.”
“Rosita … Rosita Dwi katamu bilang?” kata pak Edi setengah tidak percaya.
“Bapak mengenal beliau?” tanya Rudi.
“Ya. Dia dulunya seorang pembantu di rumah saya. Akan tetapi, karena tabiatnya buruk dan sering mencuri barang di rumah, akhirnya saya memecatnya. Tapi sejak pemecatan itu, beliau tidak menampakkan batang hidungnya. Menurut mantan suaminya, dia lebih sering berdiam diri di rumah dan jarang muncul dalam acara tahlilan maupun lainnya,” jelas pak Edi.
Sebenarnya, Bura memberitahukan nama bu Rosita melalui secarik kertas. Tulisan itu memang bukan tulisan Hendra. Tetapi tulisan dia berlumuran darah. Maka, tidak ada pilihan kecuali mempercayakan pada Bura.
“Tapi kenapa dia melakukan tindakan sekeji itu?” tanya Heni.
“Saya yakin karena motifnya uang.”
Pak Edi menunjukkan bukti-bukti dokumen dalam bentuk digital. Dia memperbesar tulisan yang berisikan apabila ketahuan mencuri barang, pihak bersangkutan akan dilaporkan ke pihak kepolisian dan diproses secara hukum. Dan surat perjanjian itu berisikan materai 7000 dan tanda tangan dua pihak. Termasuk saksi istrinya bernama Ruminah. Rudi mengerutkan kening, menghela napas pelan.
“Dua tahun lalu, anaknya Reza telah meninggal dunia karena dililit hutang oleh debt collector. Bahkan dia menjual anaknya sendiri demi dapatkan uang. Tapi itu hanya sebatas rumor yang beredar.”
Walau hanya sebatas rumor, tetap saja tindakan bu Rosita tidak bisa dimaafkan. Terlebih lagi, orang itu memanggil babi ngepet. Tangan kanan dikepalkan. Tatapan tajam diarahkan pada Rosita selaku orang di balik semua ini.
“Walau demikian, aku tidak bisa memaafkan dia karena telah melukai Hendra. Biarkan saya menemuinya sebagai rasa ucapan terima kasih.”
“Untuk saat ini, kondisi Hendra belum sadar,” jawab Heni menolak tawaran darinya.
“Enak saja dibilang tidak sadar! Aku baru bangun!” teriak Hendra dari dalam kamar.
Teriakan barusan membuat semua orang pada heboh. Heni, Rudi dan pak Edi bergegas ke dalam ruangan. Disusul kedua anaknya dan putri pak Edi. Terlihat banyak sekali luka perban di bagian kaki, pipi dan tangan. Menyunggingkan senyuman pada mereka.
“Kau tidak apa-apa, nak? Kenapa banyak sekali luka di sekujur tubuhmu?” kata pak Edi mengekspresikan khawatir.
“Om Hendra pasti banyak bermain di sungai ya? Sampai luka bonyok begitu?” ucap Syarifa polos.
“Y-ya … begitulah.”
“Anak-anak, saatnya sarapan pagi! Aku makan duluan ya, sayang.”
“Baik, mas. Itu ada sup ayam di atas meja!” teriak Heni setelah Rudi berjalan menuju dapur dan ruang makan.
Rudi mengacungkan jempol ke atas, mengiyakan perkataannya. Setelah mereka pergi, tinggallah pak Edi, anak pak Edi dan Heni. Suasana mulai canggung saat kunjungan mereka secara tiba-tiba.
“Hendra, apa benar pelakunya itu bu Rosita?”
“Tidak salah lagi. Kata hantu bilang, orang itu menggunakan ritual untuk merubah dirinya jadi babi ngepet. Akan tetapi karena gagal, maka tubuhnya membelah diri jadi segerombolan babi. Akibatnya, saya diserang bertubi-tubi olehnya.”
Raut wajah Hendra melihat ke bawah, menggaruk hidung dan kedua bola mata bergerak ke samping kiri. Heni langsung mendorong pak Edi untuk keluar ruangan.
“Ok, kalau begitu aku mau makan dulu sama pak Edi. Kau juga, Bella.”
“Tapi—”
“Biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia shock karena bu Rosita pelakunya,” ucapnya.
Gadis berkerudung terpaksa menuruti perkataan Heni. Dia dan pak Edi berjalan menuju pintu kamar ruangan. Kemudian, Bella menutupnya pelan. Senyuman yang terpancar dalam bibir Hendra memudar. Menundukkan kepala disertai telapak tangan kanan ditekan. Mulut membentuk garis lurus disertai pundak melemas.
“Masih memikirkan kejadian kemarin kah?” tanya Bura yang muncul secara tiba-tiba.
“Ya. Kenapa manusia sekarang mencari cara uang dengan cara melakukan pesugihan. Apa asiknya itu? Aku tidak mengerti.”
“Aku sendiri tidak tahu. Selama ini, aku berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Tapi lihatlah sekarang ini. Negara kita masih saja dijajah oleh bangsa asing. Mau ke mana tujuan bangsa ini? Aku tidak mengerti!” kritik Bura melipatkan kedua tangannya.
“Kau salah bertanya padaku. Lagipula, mereka hanya mengingatmu sebagai pahlawan daerah yag pemberani. Apalagi kau dianggap kebal terhadap peluru dan sebagainya,” sindir Hendra pada Bura.
Laki-laki berpeci itu mendengus kesal. Kedua tangannya ditaruh di pinggang sambil menatap tajam pada Hendra Wijaya. Hendra bingung dengan tatapan dari laki-laki berpeci itu.
“Aku tidak membencimu, bocah. Hanya saja … orang-orang zaman dahulu mengagungkan diriku. Itu membuatku muak,” gumamnya mengekspresikan kekesalannya.
“Maaf.”
“Tidak perlu minta maaf. Aku sudah tahu dan aku tidak mempermasalahkannya. Selama dirimu terus berjuang, aku akan terus membantumu.”
Perlahan-lahan, roh Bura mulai meredup. Meninggalkan Hendra sendirian di kamar. Lalu, dia berbaring di kasur sambil memejamkan kedua matanya. Berharap dia cepat sembuh dan memulai awal yang baru.
~o0o~
Sesajen di dalam kamar bu Rosita tiba-tiba berantakan. Seorang wanita paruh baya berusaha menggenggam telpon seluler. Menghubungi kerabat terdekat. Namun tangannya tidak sampai pada mejanya. Dia menarik kain merah di atas sesajen. Lalu jatuh berhamburan. Pecahlah gelas yang berisi kembang dan ratusan ribu rupiah. Menutupi wajah bu Rosita. Lidahnya menjulur keluar, kedua matanya terbelalak dan anggota tubuh dia menegang sembari menghembuskan napas terakhirnya. Pintu dari luar terbuka, sosok seorang laki-laki berjubah hitam mendekati bu Rosita. Kemudian, dia mengambil beberapa uang dan jerami buatan manusia. Gambar kertas hasil coretan bu Rosita dicabut begitu saja. Kemudian pergi meninggalkan mayat Rosita tanpa mengucapkan apapun.
###

Book Comment (43)

  • avatar
    BatrisyaNuha

    bagus

    12/03/2023

      0
  • avatar
    FitraAidil

    saya suka ceritanya

    07/02/2023

      0
  • avatar
    MailiniHema

    Mantap

    08/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters