logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3

“Tunggu sebentar. Apa maksud anda terkena guna-guna, pak Edi? Saya tidak mengerti!” kata Hendra suara meninggi.
Namun ekspresi pak Edi memancarkan suram. Raut wajahnya melemas. Kedua matanya sayu. Bibirnya digigit hingga memerah. Pak Edi mengambil segelas air putih dan obat herbal pada bu Ruminah. Langkah derapan kaki sambil membantu memosisikan tubuhnya untuk berdiri. Kedua kakinya tetap diluruskan. Bu Ruminah menenggak segelas air putih hingga tidak tersisa sedikitpun. Kemudian, beliau dibantu berbaring oleh suaminya. Hendra melihat kedua telapak tangan pak Edi bergetar. Sebisanya untuk tidak melakukan kesalahan.
“Maaf, pak. Saya turut bersedih atas penyakit yang dialami beliau. Selama ini, bu Ruminah selalu memperlakukan saya dan adik saya dengan baik. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya?” tanya Hendra balik.
“Seperti yang kusampaikan. Dia terkena guna-guna oleh seseorang. Saya meyakini kalau tetangga sekitar yang melakukan tindakan keji pada istri saya. Seandainya tahu siapa di balik semua ini, saya tidak akan diam dan menghajar orang itu sampai mati!” kata pak Edi meninggikan suaranya.
Namun suara dalam kerongkongan tidak bersuara sama sekali. Malahan, Hendra tidak berkata apapun. Dia mengelus selimut yang bu Ruminah kenakan. Memejamkan kedua kelopak matanya. Membayangkan semasa beliau masih sehat bugar.
Menurut penuturan dari Heni dan Rudi, beliau sering mengadakan acara bacaan Al-Qur’an setiap hari rabu di rumahnya. Bahkan, mengajak yayasan anak yatim setiap sebulan sekali. Dibantu oleh tetangga sekitarnya serta diberikan uang imbalan atas jerih payahnya. Bukan itu saja, mereka diberi makan malam sebelum acara berakhir.
Apa yang membuat bu Ruminah terkena guna-guna masih menjadi misteri di mata Hendra. Dia berbalik arah dan mencari tahu penyebabnya di sekitar rumah pak Edi. Namun cengkraman tangan kanan dari beliau mengurungkan niatnya.
“Hendra, aku tahu kalau kau ingin menyelidikinya. Tapi saya mohon, jangan melibatkan dirimu dalam bahaya.”
“Tidak masalah, pak. Saya malah semakin bersalah jika tidak melakukan sesuatu terhadap bu Ruminah. Apalagi, Heni bercerita banyak mengenai kebaikan beliau pada saya. Karena itulah, saya ingin membalas kebaikan beliau,” ujarnya tersenyum ramah.
Pak Edi melepaskan cengkramannya. Hendra berjalan mulai menjauhi beliau, menuju pintu keluar ruangan. Dirinya ingin membiarkan pak Edi menghabiskan waktu bersama istri tercinta.
“Kalau begitu, aku ingin kau selidiki sampai tuntas. Memang jika dilihat dari penyakit yang dialami beliau, saya siap menerima takdir yang diberikan oleh Allah SWT. Tetapi, yang saya lihat ini perbuatan seseorang yang iri terhadap saya,” kata pak Edi bergumam.
Hendra mengedipkan kedua matanya. Menunggu pak Edi selesai bicara. Beliau membuka smartphone miliknya, mengirimkan sesuatu padanya dengan cepat. Smartphone Hendra bergetar. Dia membukanya, terkejut dengan nominal yang diberikan pak Edi berupa sepuluh juta. Ekspresi rahang Hendra terbuka lebar. Dia menoleh pada beliau dengan tatapan tajam.
“Ini terlalu besar pak. Lagipula, saya tidak pantas mendapatkan uang segitu!” ujar Hendra menolak uang yang diberikan pak Edi.
“Aku mendengarnya dari adikmu Heni, bahwa kau bisa melihat hantu.”
Jantung Hendra berhenti berdetak sejenak. Kedua matanya terbelalak tidak percaya, bahwa adiknya memberitahukan hal ini pada pak Edi. Padahal, Hendra tidak pernah memberitahukan siapapun.
“Saya percaya bahwa anda bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Karena anda bisa dipercaya menangani kasus ini. Kumohon … selamatkan istri saya!” kata pak Edi membungkukkan kepalanya.
Hendra mengalami dilemma. Kedua telapak tangannya dielus-elus. Mencoba memikirkan sebuah kemungkinan terjadi jika menolak maupun menerimanya. Beberapa menit berselang, Hendra membuka knop pintunya. Meninggalkan pak Edi sendirian di dalam ruangan. Membuang masker ke tong sampah. Menjumpai seorang gadis berkerudung. Terlihat kedua matanya membengkak sehabis mendengarkan percakapan antara dirinya dengan pak Edi.
“Maaf. Saya mendengar percakapan kalian.”
“Tidak apa-apa kok. Lagipula, kau berhak untuk mendengarkan perkataan ayahmu,” balas Hendra tersenyum masam.
Kedua telapak tangan gadis berkerudung menggamit tangan Hendra lebih erat. Ekspresi wajah gadis itu memelas. Kedua bola matanya berkaca-kaca, bersiap meneteskan air mata dia. Hendra bergidik melihatnya. Mengerutkan kening sambil memalingkan wajahnya.
“Baiklah. Aku akan menyelidikinya. Tapi kau tidak boleh memberitahukan hal ini pada siapapun. Termasuk teman-temanmu. Paham, ya?” kata Hendra mengulurkan jari kelingking pada tangan kanan.
Gadis berkerudung mengsuap air matanya, menerima uluran jari kelingking dari Hendra. Kemudian digoyangkan sambil berjanji pada diri sendiri untuk tidak memberitahukan pada siapapun.
Semenjak itulah, Hendra terus melakukan aksi serupa. Dimulai aksi berguling-guling di atas tanah, mengetuk tanah dan batu-batuan di sana. hingga mengelus-elus cat dinding rumahnya. Yang terakhir itu saat Hendra berada di luar rumah pintu gerbang. Disitulah dia menemukan kejanggalan. Oleh sebab itulah, Hendra bergegas menuju ke sumbernya. Serta menggunakan semacam perisai untuk melindungi diri dari kumpulan roh yang masuk ke dalam rumah pak Edi.
Ketika persiapan telah selesai, Hendra menutup kedua matanya. Telapak tangan kanan mengaduk-aduk tanpa henti. Bagi orang biasa, dia cuma asal aduk. Namun bagi Heni, Hendra sedang mengaduk suatu energi warna hitam pekat. Rudi pun turut melihatnya berkat kacamata yang diberikan istrinya.
“Itu apa?” tanya Rudi pada Heni.
“Energi hitam. Kemungkinan besar, rumah itu telah dijadikan santet oleh seseorang. Yang jadi permasalahkan adalah siapa yang melakukan dan hantu mana yang dipanggil?”
“Hantu?” Rudi mengerutkan kening.
Heni terus melihat kakaknya dari belakang. Sebenarnya, dia berkeinginan untuk membantunya. Namun Hendra tidak ingin melibatkan dia dan adik iparnya. Apalagi, ilmu santet sangat berbahaya bagi Heni yang belum menguasai kemampuan sihir sepenuhnya. Sangat kontras dengan Hendra yang terus mengendalikan diri meski bekerja sebagai staf Hotel di Bali.
Telapak tangannya merasakan sebuah percikan warna energi berbeda. Terlihat kenyal, tetapi tidak begitu mengental. Jari telunjuk menggamit dengan jempolnya. Kepala Hendra miring ke kanan. Mencoba merasakan ada keanehan pada energi tersebut.
“Bura, coba masuk ke dalam adonan itu. Sepertinya ada yang aneh,” kata Hendra melalui telepati.
“Kau yakin bocah?”
“Harusnya, santet itu warna hitam pekat, sehingga mudah kutelusuri. Tapi entah kenapa percikan energi ini agak menggangguku. Bisakah kau masuk ke dalamnya?”
“Akan kucoba.”
Bura yang berwujud roh menciutkan diri, serta masuk ke dalam sebuah telapak tangan. Menunggu isyarat darinya. Di dalam adonan, nampaknya Bura sedang melotot tajam pada kedua jari Hendra. Semula tidak ada yang aneh dengan energi itu. Namun lama kelamaan, energi tersebut mulai berubah menjadi hijau. Sebuah taring muncul di mulutnya. Hidung hingga tubuhnya terlihat seperti seekor babi. Kulit warna hitam kecoklatan. Suara babi menguik sebanyak tiga kali. Saat itulah, muncul sebuah jaring warna coklat mulai mendekati roh Bura. Dia bergegas untuk keluar dari adonan tersebut. Hingga dia menghirup udara bebas. Salah sedikit saja, Bura akan dikurung untuk selamanya. Hendra membuka kedua kelopak matanya secara terpaksa. Luka sayatan pada telapak tangannya, mulai menyadari satu hal.
“Babi ngepet!”
“Aku sepakat. Apa kau tahu siapa di balik semua ini?” tanya Bura.
“Tidak. Tapi yang jelas orang itu sangatlah berbahaya. Ilmu hitamnya bisa saja merasuki tubuhku dan menghancurkanku dari dalam. Kalau begini caranya—”
“Terpaksa menggunakan ‘itu’ kah?”
“Dugaanmu tepat. Kenapa kau bisa tahu?”
“Bocah, kita sudah saling mengenal satu sama lain. Tentu saja kau pasti mengatakan demikian. Tapi yang jelas, kita harus selesaikan segera!”
Hendra mengganggukkan kepala. Telapak tangannya mulai dikepalkan. Memunculkan cairan darah yang mengental. Lalu meneteskan ke tanah hingga langkah derapan kaki terdengar. Namun yang dilihat Hendra bukanlah langkah kaki seorang manusia. Melainkan sekumpulan babi ngepet yang berniat menyeruduk ke arahnya. Para babi tersebut menguik seirama. Tangan kanan Hendra menggenggam clurit kutukan.
“Kita mulai perburuan babi kali ini! Bersiaplah, Bura!”
###

Book Comment (43)

  • avatar
    BatrisyaNuha

    bagus

    12/03/2023

      0
  • avatar
    FitraAidil

    saya suka ceritanya

    07/02/2023

      0
  • avatar
    MailiniHema

    Mantap

    08/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters