logo
logo-text

Download this book within the app

Zwarte Vloek (Kutukan Hitam)

Zwarte Vloek (Kutukan Hitam)

Fadly Mue


Chapter 1

Cat dinding rumah berwarna biru laut dan pohon belimbing berdiri tegak menjulang. Sepeda motor diparkir di samping pintu yang reyot. Kaca tebal hitam yang tidak memperlihatkan isi dalam bagian rumah yang ditinggali. Lantai yang terbuat dari keramik abu-abu. Di samping pintunya, terdapat sebuah pintu menuju gudang. Tiang marmer putih di berjumlah tiga di tiap sisi.
Orang-orang sedang berkerumun di dekat halaman rumah seseorang. Sekumpulan ibu-ibu berbisik dengan wajah paruh baya. Mengenakan baju setelan panjang sampai ujung mata kaki. Mengenakan sandal jepit serta membawa tas belanja. Melirik pada sosok pemuda berbaju tebal yang mengintip di rumah tetangga. Laki-laki itu mengenakan kacamata, membawa sebuah benda dibungkus koran berita lama. Celingak-celinguk mengintip bagian halaman rumah. Pagar besi bermotif memiliki runcing warna coklat, digeret dengan roda.
Aksi laki-laki berpakaian tebal malah menarik kaum ibu-ibu bergosip. Mereka menatapnya dengan penuh curiga.
“Tuh lihat si Hendra.”
“Ya, benar. Itu orang ngapain sih melirik-lirik halaman rumah Pak Edi. Kayak tidak ada kerjaan aja.”
“Mungkin dia bermaksud untuk mencuri barang yang ada di dalam rumahnya Pak Edi. Kan beliau sedang keluar bekerja di luar kota. Hanya tinggal bersama Bu Ruminah dan dua orang anaknya.”
“Apa sebaiknya kita laporkan saja ke pak RT?”
“Jangan dulu. Kita harus kumpulkan bukti kalau Hendra melakukan tindakan mencurigakan. Bila perlu, ambil hpnya dan foto sebagai bukti.”
Kaum ibu-ibu saling mengangguk pelan. Kemudian pergi meninggalkan Hendra yang sibuk di luar sendiri. Kedua telapak tangannya menyentuh permukaan dinding rumah. Dia membuang napasnya secara kasar. Kedua tangannya memegang pinggangnya, sekaligus menggaruk-garuk kepala sendiri.
“Tidak kusangka akan menjadi merepotkan begini.”
“Oi, kenapa kau kesal?”
“Coba bayangkan, Bura! Aku kena PHK oleh mantan bosku di Bali. Mana pandemi COVID-19 pula dan tidak dapat pesangon sama sekali untuk pulang kampung. Beruntung, adikku memberikanku uang untuk naik bus. Coba kalau tidak ada uang, mau ngemis di Bali?”
Sosok roh yang melayang di udara dan hanya Hendra dapat melihat. Seorang laki-laki mengenakan peci hitam di atas kepalanya. Seragam tentara warna krem tua dengan berkerah putih. Di bagian kerah sebelah kiri dan peci, terdapat bendera Indonesia. Wajah berkulit sawo matang dan memiliki kumis tipis. Kedua tangan dilipat, memperhatikan Hendra yang menggosok-gosok kepalanya sendiri.
“Keluhanmu itu tidak masuk akal. Sebenarnya apa keluhanmu? Daritadi kau meraba-raba dinding pagar pintu,” gerutu Bura.
“Bura, ada yang aneh dengan pagar ini.”
“Maksudmu?” tanya Bura kebingungan.
Hendra menyalakan korek apinya. Kemudian, secarik koran berita lama disobek olehnya. Ketika sumbunya dinyalakan, api membakar kertas hingga jadi abu. Ketika abu mulai berjatuhan ke tanah, sisa-sisa bakar tertelan. Bura mengerutkan kening.
“Jadi ini keluhanmu, Hendra?”
“Ya. Ada sesuatu yang terjadi di pagar ini. Kemungkinan besar, ada seseorang yang menaruh jimat di pagar ini.”
“Karena itulah kau terus meraba-raba pagar dinding itu. Lalu, apa kau berhasil menemukannya?”
Laki-laki berpakaian tebal menggelengkan kepala. Sebelum pergi, dia mencoba melakukannya lagi. Kali ini, Hendra mengambil foto melalui smartphone. Barulah ditaruh di sakunya. Angin yang meniup pori-pori rambutnya tidak menutup kemungkinan cuaca mulai mendung. Meski langit menampakkan cerah, tetap saja Hendra mengakhiri investigasi karena cuaca sudah tidak mendukung.
~o0o~
Dulunya, dia bekerja sebagai staf hotel ternama di Bali. Ribuan wisatawan asing terus bergantian. Dia melayani tamunya dengan ramah dan baik. Tidak jarang Hendra sering mendapatkan pujian karena sikap ramahnya pada tamu. Baik pada tamu lokal maupun asing.
Hingga tahun 2020 pada bulan April. Manager Hotel memutuskan untuk melakukan PHK secara sepihak. Staff hotel menangis karena semua orang ikut kena getahnya. Termasuk Hendra sendiri. Dia menjadi tulang punggung bagi keluarga lantaran adiknya, Heni masih hamil anak ketiga. Dan usianya mencapai delapan bulan. Suaminya, Rudi Harianto juga mengalami nasib serupa dengannya. Hingga keduanya diharuskan pulang kampung. Ketika Rudi sudah pulang, dia membuka usaha kecil-kecilan berupa warung es buah. Walau usahanya kadang ada kadang tidak, setidaknya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun Heni memberikan uang pada Hendra untuk pulang kampung. Rudi keberatan dengan usulannya. Tetapi karena dia tidak memiliki orang tua lagi, maka dia tidak memiliki pilihan kecuali menuruti perkataan istrinya.
Setelah pulang, Hendra memberikan satu kilogram batang emas untuknya. Rudi dan Heni terperangah tidak percaya dengan oleh-oleh yang dibawa olehnya. Dua orang anaknya, Kinan dan Syarifa senang dengan kedatangan pamannya. Sebagai gantinya, Hendra meminta pada Heni dan Rudi untuk merahasiakan hal ini pada siapapun.
Cuaca mulai berubah mendung. Awan hitam mulai menutupi langit dan matahari cerah. Hendra melangkahkan kakinya, untuk pulang ke rumah Heni. Baru sampai di pintu rumah, dua orang anak berlari sambil membuka knop pintu kasar. Lantainya dipenuhi jejak kaki lumpur. Hendra yang barusan datang, hanya mengerutkan keningnya.
“Mama!” teriak Kinan dan Syarifa.
“Hei, hei! Jangan teriak-teriak! Mama lagi masak nih.”
Ekspresi Kinan dan Syarifa menggembungkan pipinya. Keduanya berusia enam dan lima tahun. Kinan memiliki rambut lurus dipasangkan bando minnie mouse. Baju merah putih bercampur dengan lumpur tanah. Begitu juga dengan Syarifa. Rambut pendek bergelombang juga terkena sama persis dengan kakaknya. Hendra menghampiri Heni yang sibuk masak sup ayam. Bau kaldu ayam menusuk ke dalam rongga hidung kedua putrinya.
“Mama masak sup!”
“Mau, mau, mau!”
“Kalian ini ya … Sana mandi dulu. Nanti ada eyang ke sini lho!”
“Baik,” kata Kinan dan Syarifa menjawabnya serempak.
Hendra membantu melepaskan pakaian mereka hingga tidak mengenakan sehelai benangpun. Laki-laki berjaket tebal berusaha mengejarnya. Tetapi, Rudi datang sambil menutup pintunya. Mengenakan kaos putih sambil membawa alat pancing dan hasil tangkapan berupa ikan gurame di dalam jaring warna-warni. Dia menatap Hendra memegang pakaian Kinan dan Syarifah.
“Hendra, ya?”
“Banyak sekali tangkapan ikanmu, Rud. Kau ini benar-benar beruntung, ya?”
“Kenapa kedengarannya seperti mengejekku?”
Anak-anak terus berlari mengelilingi kursi sofa kayu. Tetapi Rudi menggendong kedua putrinya. Lalu membawanya ke kamar mandi. Menutup pintunya serta menarik tali katrol air sumur. Sebuah ember merah bergelantungan, diambil Rudi dan mengisi baskom besar hingga penuh. Hendra duduk di kursi, menunggu adiknya masak sup karena belum matang.
“Lalu?” tanya Heni.
“Apanya lalu?” tanya balik Hendra.
“Apa kau sudah menemukan petunjuk soal dinding pagar?”
Tangan kanan menempel pada pipi kanan dengan raut wajah jengkel. Tangan kirinya menunjukkan sebuah koran hasil pembakaran tadi. Disertai foto jepretan yang dia tangkap sebelum pulang. Heni mendekati kakaknya sambil memperhatikan foto-fotonya. Parfum adiknya mampu memikat seorang laki-laki di sekitarnya. Hendra berusaha menahan diri untuk melawan hawa nafsu. Terlebih dirinya adalah seorang kakak. Rambut panjang yang diikat kuncir kuda, memperlihatkan aura berkilauan. Membuat pembuluh darah Hendra naik turun. Hendra berdeham, membuat Heni memilih jaga jarak lantaran sikapnya terlalu intim terhadap kakaknya sendiri.
Jari telunjuk Heni menggeser ke kanan. Melihat tidak ada yang aneh dengan foto ini. Akan tetapi, foto yang terakhir menunjukkan suatu keanehan. Abu dari koran yang harusnya terjatuh ke tanah malah tidak menampakkan jejaknya. Paling tidak, percikan api akan jatuh sebelum hilang atau memunculkan bekas bakar.
“Hendra, kapan kau foto ini?” tanya Heni.
“Tadi. Pas pertama kali aku mengelus-elus dinding pagar, ada sesuatu yang aneh. Umumnya, permukaan dinding itu kasar dan penuh bubuk pada cat. Baik secara kasat mata maupun tidak. Namun di samping kanan, permukaan dinding lembut seperti spon.”
“Dan abu pada sebuah kertas juga menghilang kah?” gumam Heni mengelus dagunya sendiri.
“Apa Bura tahu hal ini?”
“Sepertinya dia tidak tahu. Tapi aku akan mencari tahu nanti malam. Kuharap ada petunjuk penyebab misterinya penyakit yang dialami Bu Ruminah.”
Meski Heni baru mengenal Bu Ruminah beberapa bulan, tetap saja beliau merupakan keluarga baik-baik. Tidak mungkin dia berbuat jahat ke tetangga lainnya. Hendra menenggak gelas air putih, mengeluarkan bungkusan clurit. Diberikan pada Heni sebagai perlindungan. Dia beranjak dari kursi, menguap karena seharian penuh berada di luar pintu gerbang.
###

Book Comment (43)

  • avatar
    BatrisyaNuha

    bagus

    12/03/2023

      0
  • avatar
    FitraAidil

    saya suka ceritanya

    07/02/2023

      0
  • avatar
    MailiniHema

    Mantap

    08/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters