logo
logo-text

Download this book within the app

Teror

Sinar matahari menelisik ke kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Merasakan sinar yang memberi rasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel dan mengecek pesan masuk yang ada di grup redaksi.
Sudah diduga, ia diminta melanjutkan berita kemarin. Gadis itu tersenyum bangga bisa meliput kejadian seperti itu. Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden.
Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok itu.
Dengan tangan kosong, dirinya menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk dan mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak segan menyabet dan menusuknya dengan senjata tajam hingga meregang nyawa.
"Hiih ... Naudzubillah!"
Bergegas ia mandi dan mempersiapkan perlengkapannya. Gadis itu kini mengenakan kaos hijau army selutut, dan jilbab hitam terjulur menutup dada. Tak lupa mengenakan jaket favoritnya, serta tas yang sengaja ia selempangkan di bahu. Bergegas Ira melangkah keluar kamar, sembari menyapa penghuni kos yang ditemui.
"Kriukks ...," suara perut yang mulai protes minta diisi, membuatnya harus singgah dulu di warung depan kos.
Nasib anak kos untuk urusan perut selalu di warung. Terkadang rasa rindu kampung halaman kerap muncul di saat- saat seperti ini. Maklum, kangen masakan ibu.
"Nasi kuning dan teh hangatnya satu, Cil!" teriaknya pada ibu pemilik warung.
"Ashiap, Mbak Ira!" jawabnya dengan ekspresi lucu.
"Katanya ada perampokan toko emas ya, kemaren, Mbak Ira?" tanya wanita itu saat mengantarkan pesanan Akira.
"Iya, Bu, tahu dari mana?" sahutnya.
"Itu ... Mas-mas di pangkalan ojek sedang heboh baca koran!"
"Oo .... "
Gadis itu hanya menanggapi dengan anggukan. Dirinya yang sedang asik menikmati sarapan, tak ingin membahas masalah berita. Setelah menandaskan segelas teh manis hangat miliknya, ia segera membayar dan berlalu.
Gadis itu pun berangkat menuju kantor menggunakan sepeda motor kesayangannya. Waktu yang masih menunjukan pukul 6.30 membuatnya memacu kendaraan dengan santai.
Krakk!
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari motornya. Merasa ada yang tidak beres, Ira pun berusaha menepikan kendaraan.
"Nah loh, rem motorku blong!"
"Waduh gawat ini," ucapnya panik
Beruntung kondisi jalan sedang sepi. Sehingga dengan mudah ia menghentikan kendaraan di pinggir trotoar. Sambil mengarahkan pandangannya ke kiri dan kanan, Ira terus mendorong kendaraannya menuju arah kantor. Tak berselang lama, terlihat sebuah bengkel.

"Ahh, untung saja ada bengkel yang buka cepat," ucapnya.
Ia pun segera mendorong sepeda motornya ke arah bengkel.
"Wah ... ini sih, baut remnya lepas, Mbak. Makanya direm langsung blong," ucap montir bengkel itu.
"Hah, kok bisa? Padahal kemaren baru saja saya bawa servis ke bengkel. Saya pakai seharian juga tak ada masalah. Ya sudah, tolong cek saja, Mas. Bannya juga tambah angin, yah!" ujarnya.
Menatap jam, sudah pukul 7.50.
Rasanya tidak mungkin bila menunggu hingga motornya selesai diperbaiki. Tak ingin terlambat, Ira pun menitipkan kendaraannya dan berjanji mengambilnya saat pulang kerja. Lalu, ia bergegas menuju kantor, meski harus berjalan kaki.
"Kalau telat bisa potong gaji lagi, nih. Ah jalan saja, sambil olah raga pagi," gumamnya sembari memberi semangat diri sendiri.
Hanya beberapa langkah, dari jauh terlihat Meta yang juga hendak pergi ke kantor.
"Hai cewek, mau kemana pagi-pagi? Ayo sini, aku bonceng!" sapa Meta sambil terkikik.
"Iya nih, pagi-pagi ada saja ujiannya. Terpaksa si merah harus masuk bengkel lagi," katanya.
"Lho, padahal kemarin kan baru masuk bengkel, Ra?" tanya Meta heran.
"Iya. Semalam juga aku pakai aman-aman saja. Tapi pagi tadi, remnya langsung blong. Aneh, 'kan?" ucapnya lagi.
Sembari berbincang, keduanya pun langsung memacu kendaraan menuju kantor. Tiba di kantor, mereka disambut security.
"Selamat pagi, Mbak-mbak cantik!"
"Assalamualaikum, Pak Mail!" ucap keduanya.
"Waalaikumsalam."
"Beritanya ngeri, Mbak Ira. Saya sudah baca, sadis banget perampoknya," kata lelaki paruh baya itu.
"Iya, Pak Mail," jawabnya sopan sambil berlalu.
Memasuki ruangan nampak beberapa karyawan yang sedang santai sambil membaca koran, menyapa keduanya dengan ramah.

Saat tiba di ruang redaksi, didapatinya Ramdan sang direktur, tengah duduk di kursi dengan beberapa koran terbitan media berbeda, diletakan di atas meja berukuran besar 4×2 meter dengan beberapa kursi di setiap titik.
"Berita kamu trending, Ra, dimuat di semua harian lokal."
"Wah ... serius, Pak?" tanya Akira dan Meta bersamaan.
"Iya, bahkan dimuat di televisi nasional," jawabnya datar.
Padahal dirinya sangat senang dengan pencapaian itu. Jika tak punya malu, rasanya ia ingin berteriak dan berjingkrak saat mendengar kabar itu. Jarang- jarang beritanya bisa ramai dan diterbitkan banyak media.
"Jadi, tugas kamu sekarang adalah mendatangi kembali keluarga korban dan cari keterangan apa saja yang bisa dibuat berita!"
"Siap, Pak. Tapi ...," jawabnya ragu.
"Tapi kenapa?"
"Anu pak ...," ucapnya sembari menunduk.
"Motornya di bengkel, Bos. Remnya blong," ucap Meta memotong percakapan.
"Benar itu, Ra ?" tanya Ramdan lagi.
"Iya, Pak. Saya juga heran kenapa bisa begitu, yah? Padahal, sehari sebelumnya saya sudah bawa ke bengkel. Saat dicek semua bagus. Eh tadi pagi malah blong," kata Ira.
"Tadi malam, saya juga diserempet orang, Pak. Untungnya nggak sampai jatuh. Saya teriakin orangnya langsung kabur," tambahnya.
"Apa kamu sempat melihat orangnya, Ra?"
"Nggak, Pak. Dia pake helm sama jaket. Saya hanya sempat melihat motornya yang nggak pakai plat nomor," beber Ira.
Mendengar penjelasan Ira, sejenak Ramdan termenung sembari berpikir. Apakah yang menimpa anak buahnya itu, ada kaitannya dengan kasus perampokan atau tidak? Jika benar, maka ia harus menjaga Ira agar tidak menjadi sasaran kaki tangan perampok yang masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi.
"Hmm ... kalau begitu kamu liputan sama saya aja!" kata Ramdan sambil berlalu.
"Haa?" ucap kedua gadis itu terkejut.
Keduanya kemudian kembali ke meja masing-masing. Disela-sela mempersiapkan peralatan liputan, mereka masih tidak percaya jika sang pimpinan tiba-tiba mau ikut menemani liputan. Padahal sejak menjabat sebagai direktur utama, Ramdan sangat jarang berbicara dengan bawahannya. Itu sebabnya, banyak karyawan yang mengganggap jika sikap Ramdan tak ramah.
"Aneh yah, kok pak ganteng mau temani kamu liputan, Ra. Jangan-jangan ada udang di balik batu nih, cie-cie ...," ledek Meta.
"Aiss, Mbak ini. Jangan begitu, mungkin saja beliau memang penasaran sama kasus ini. Apalagi kasusnya 'kan sadis, Mbak. Terus komplotan perampok yang lain masih ada yang berkeliaran," katanya.
"Ya wes, lah. Yang penting kamu ada yang temenin liputan. Siapa tahu, dari liputan ini bisa berlanjut ... hahaha!" ucap Meta menyeracau sambil berlalu meninggalkan Ira yang kini menunggu Ramdan di ruang depan kantor.

Book Comment (31)

  • avatar
    Mulyanah Imron

    saya bermain bola sama tema tema pas sore saya mandi abis itu malam saya bermain sepedah sama teman teman

    17d

      0
  • avatar
    ASLINATAN

    ssdd

    25/05

      0
  • avatar
    Noviantoaurellio reyfander

    cerita seru baik

    13/05

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters