logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

01

Terhitung sejak setengah jam setelah upacara bendera selesai, suasana di kelas X IPA-2 masih terlihat ramai. Seperti biasa, murid yang berkutat dengan buku cuma beberapa yang duduk di barisan terdepan. Sebagian lagi, ada yang jalan-jalan di kelas nyari contekan PR, atau duduk di atas meja sambil bermain ponsel ataupun makan jajanan kantin.
Namun kebanyakan mengelompok di bangku-bangku tertentu. Tak hanya perempuan, lelaki juga bisa merumpi. Dan tak jarang Kanaya mendengar namanya disebut-sebut, selama ia melamun sambil menumpu sisi kepalanya dengan sebelah tangan.
"Emang bener ya, Naya kemarin abis diputusin sama kak Irsyad?"
"Makanya jangan kudet dong, lo gak liat apa insta storynya kak Irsyad? Seluruh dunia juga udah tau kali."
"Kasian Naya, diputusin pas kak Irsyad udah jadian sama kak Dahlia. Makan ati banget deh pasti kemarin. Kasian gue liatnya."
"Gue juga gak nyangka, ternyata kak Irsyad sejahat itu, padahal sih dia lebih cocok ama Naya kemana-mana kali. Kak Dahlia mah apaan? Jutek, sok cantik, sinis banget lagi!"
"Kita sama, gue juga rada-rada gasuka ama kak Dahlia. Najis bat pelakor!"
"Kalian jangan gitu, mungkin aja kak Irsyad udah bosen ama Naya. Jadi dia berhak dong buat putusin Naya dan cari cewek lain?" kali ini ada teman cowok yang pro dengan Irsyad.
Bahkan Elsha yang notabene teman sebangku Kanaya, dan kini duduk menghadap ke belakang itu juga ikut rumpifikasi. Akibat selama pelajaran Kanaya banyak diem dan murung, Elsha jadi tidak ada temen ngobrol.
Tapi sekarang Kanaya sudah muak mendengar nama Irsyad dan Dahlia. Ingin rasanya cepet-cepet pulang dan tidur, karena galau seperti ini membuat Kanaya malas beraktivitas.
"Woy! Naya!"
Seorang cowok yang baru masuk kelas itu datang-datang langsung mengagetkan, dengan jail menarik tangan Kanaya hingga kepalanya hampir saja terjatuh kalau kesadarannya tidak cepat kembali.
"Farhan lo apaan si! Ganggu aja," Kanaya menatap sebal cowok yang kini mendudukkan pantat di kursi kosong persis depan mejanya itu.
"Lagian lo diem aja, ngalahin patung pancoran tau gak!" Farhan sejenak tertawa kecil sambil melipat kaki di atas kaki satunya. "..baru diputusin ama mas mantan aja udah galau-mello gitu, kalo gue sih.. sori-sori galau, gak etis banget, Nay. Gak ada faedahnya. Kasian pikiran gue."
"Iya lo bisa ngomong gitu karena lo gak pernah pacaran dan ngerasain gimana rasanya diputusin!" Kanaya mendadak nyolot. "..awas aja besok lo udah pacaran, gue sukurin kalo lo diputusin duluan ama cewek lo!"
Terkejut, Farhan menelan ludah sendiri memandang Kanaya yang menekuk wajahnya. "Jahat lo, Nay, ngedoainnya gitu banget, gue juga ogah bingit diputusin duluan yee.. sayang harga diri dan gengsi gue."
"Alah bokis. Lo tuh pantesnya diputusin duluan!" Kanaya menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dan mendengus.
Sensi.
Farhan menghela napas. "Menurut artikel yang pernah gue baca sih ya, frekuensi cinta dari pertama kenal, deket, sampe pacaan.. kalo cowok sih dari tujuh puluh jadi tiga puluh persen, dalam artian cintanya makin berkurang. Cewek sebaliknya, dari tiga puluh jadi tujuh puluh persen, atau.. cintanya makin nambah. Jadi, mungkin emang udah kodrat dan takdir, yang mutusin duluan itu kebanyakan cowok, bukan cewek."
"Iya ya! Berarti bener kalo banyak cowok yang gak punya hati!"
Skakmat.
"Yaa.. gue sih gak gitu-gitu banget, coz gue kan mengagungkan wanita, sayang ibu lagi hehehe.." Alibi Farhan dengan cengiran kecil. "makanya SWAG aja, Nay, kaya gue. Single Woles Anti Galau. Kan keren."
Lagaknya yang sok idih, menaikkan kerah baju seragamnya dengan alis naik turun menggoda membuat mata Kanaya sepet. "Whatever.."
"Dari pada lo bete-bete mulu, gue kasih cemilan mau gak?"
"Cemilan apaan? Cemilan cepuluh?"
"Idih!" Bibir Farhan berkedut, lalu merogoh sebentar saku celana dan melemparkan bungkusan kecil itu ke arah Kanaya. "Tadi di kantin pas kaga ada kembalian gopek,"
"Basreng? Elo kasih gue basreng?" Kanaya mendelik saat melihat baso goreng rasa pedas harga limaratusan dan sudah remuk itu, lalu membolak-balikkan bungkusnya yang sedikit lecek. "..apa lo bisa sebutin gizi seimbang di dalem makanan ini?"
Sepersekian detik Farhan cengo. Mentang-mentang Kanaya peringkat satu pelajaran Biologi, dan selalu memperhatikan pasti kebersihan makanan yang masuk ke mulutnya. Jadi, kira-kira begitulah akibatnya.
Sampai akhirnya, guru Matematika muncul dari ambang pintu. Spontan semua murid kembali ke tempat duduk masing-masing, termasuk Farhan, yang bangkunya berada paling belakang barisan Kanaya.
"Selamat pagi.." sapa bu Harti--wanita itu, sambil menaruh tas dan beberapa buku yang dibawanya di atas meja.
"Pagi buukkk..."
Duduk di singgasananya, beliau meraih daftar absen kelas dan mengeluarkan pena dari tempat pensil. "Ada yang tidak berangkat?"
"Nihil buuuk!"
"Wah.. kompak sekali ya kelas ini? Tidak seperti kelas-kelas yang lain," bu Harti lalu berdecak kagum.
"Pastinya dong bu! Kelas kita kan paling ngehitz dan membanggakan! Ganteng-ganteng dan cantik-cantik lagi muridnya! Gurunya juga masih awet muda! Termasuk bu guru!"
Celetukan salah seorang siswa dari arah pojokan, membuat bu Harti yang notabene sudah kepala empat itu tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Bersamaan dengan sorakan keras yang tertuju pada anak itu.
"Huuuuuuu! Modus lo! Bokis!"
"Masa gurunya sendiri digombalin!"
"Dasar lambe turah!"
Dan itu cukup menghibur gundah dalam hati Kanaya. Hingga Elsha menyenggol sikunya ketika melihat kekehan geli di wajah cantik teman sebangkunya itu. "Cie seneng!"
Tapi Kanaya tidak menghiraukan. Ia melihat bu Harti yang sepertinya sedang kebingungan saat mencari sesuatu dalam tas merk brandednya dan berganti pada saku bajunya.
"Kaca mata saya kok tidak ada ya?"
Murid yang duduk di bangku paling depan dan baru saja mengeluarkan buku itu kini beralih menatap beliau. "Memang sebelumnya ibu taruh di mana? Coba ibu inget-inget dulu,"
Sesaat mengerjap, bu Harti flashback menerawang aktivitasnya hari ini. Lima detik kemudian, beliau baru mengingat. "Oh iya, tadi ibu mengajar di kelas sebelas, apa ketinggalan ya?"
"Sebelas apa buk?"
"Sebelas IPA-1, siapa yang piket hari ini? Boleh ibu minta tolong ambilkan sebentar kaca mata ibu?"
Kanaya langsung melek mendengar nama kelas itu disebut. Kelas Irsyad, cowok tidak berperasaan yang sudah tega memutuskan sepihak hubungan mereka malam minggu kemarin.
"Naya belum piket bu! Mentang-mentang lagi galau berangkatnya jadi kesiangan! Suruh dia aja bu yang ngambil! Itung-itung piket!"
Jimmy, teman satu regu piket Kanaya. Seruan kerasnya seketika membuat Kanaya langsung menengok dengan muka sangarnya. "Heh! Lo kok nyuruh-nyuruh gue sih! Enak aja! Gue gak mau!"
"Kan lo belum piket, Nay, gimana si?"
"Tapi kan ntar pulang sekolah bisa! Jangan cuma bisa nunjuk orang! Satu jari lo nunjuk gue, empat jari lo yang lain nunjuk diri lo! Jadi mending lo aja sana yang ambil!" kesal Kanaya.
"Halah ribet bilang aja lo gamau ketemu bang Irsyad yakan?"
Mendadak seluruh penghuni kelas langsung menyorakinya, demikian Farhan yang heboh memukul meja dengan terbahak-bahak. Begitupula Elsha yang tertawa melihat Kanaya manyun di tempat. Karena ucapan Jimmy memang benar adanya.
"Jadi ini mau pelajaran tidak?!"
Tak lama, bu Harti membuka suara, terdengar dingin dan juga tegas, menjadikan kelas dalam sekejap hening. Elsha yang terus mendesak membuat Kanaya mendengus kesal dan segera angkat pantat. Terpaksa.
"Yaudah, saya yang ambil bu."
Melengang keluar dengan langkah malas, jantung Kanaya berdegup tidak karuan. Terlebih lagi ketika kakinya mulai menaiki tangga dan berlajut ke koridor demi koridor menuju ke kelas sebelas IPA-1.
Perut rasanya mulas. Demi apapun dalam hati Kanaya masih teramat sakit untuk bertemu dengan Irsyad. Apalagi, mengingat cowok itu memutuskan Kanaya karena sifat childish, mungkin sekarang Kanaya sudah tidak punya muka di depan kalangan sebelas IPA maupun IPS.
Bahkan, ada beberapa anak kelas duabelas juga ada yang diundang di pesta ulang tahun Irsyad malam itu.
"Eh eh eh! Itu Naya kan! Ngapain dia kesini!" tiba-tiba Kanaya tak sengaja mendengar celetukan suara cempreng di sekitar koridor itu.
"Mau ngapelin Irsyad kali! Biasa, yang gak terima diputusin, pasti mau ngemis minta balikan hahahaha.."
"Bener-bener hahahaa.. Jangan-jangan dia mau bertekuk lutut di kakinya Irsyad lagi! Uluuluuu.. kasian banget sih nasibnya.."
"Bisa jadi hahaha.."
Sungguh memalukan. Tiba di depan pintu kelas sebelas IPA-1 Kanaya susah payah menetralisir rasa gugupnya, sampai telapak tangan rasanya dingin, mendengar suara guru yang mengajar dalam kelas itu.
"Ya ampun, ketok gak ya.."
Grogi, Kanaya mengatupkan bibir, lalu gigit jari menatap pintu bercat abu-abu yang kini tertutup rapat itu. Sesaat ia mengumpulkan keberanian, dengan sedikit ragu-ragu Kanaya mulai mengangkat kepalan tangan kanannya dengan mata terpejam. Kemudian menarik napas panjang.
Perlahan sekali, ketukannya nyaris mendarat kalau saja seseorang tidak membuka pintu itu dari dalam.
Aduh! Tamat riwayat gue!
Takut-takut orang itu adalah Irsyad, Kanaya langsung tertunduk dan enggan membuka mata ketika aroma maskulin merambat ke hidung. Rasanya seperti ada bom yang meledak-ledak dalam diri Kanaya.
"Lo ngapain di sini?"
Suara berat itu, bukan suara Irsyad. Dan ketika Kanaya membuka mata..
"Kak Dika?"
Ternyata oh ternyata, saat ini Kanaya baru bisa bisa menghela napas lega sambil mengelus dada. Bukan Irsyad tapi Andika, cowok jangkung itu, menatap Kanaya heran dengan satu alis tebalnya yang terangkat.
"Ngapain ke kelas gue? Nyariin Irsyad ya?"
Oh my.. nama itu lagi, wajah Kanaya langsung berubah seratus delapan puluh derajat dingin, dan bibirnya berdecak kesal. "Apaan si kak? Buat apa juga gue nyari orang yang udah nyakitin hati gue? Dilogika dong,"
"Terus?" Andika lagi irit ngomong.
"Gue mau ambil kaca mata bu Harti yang ketinggalan, boleh minta tolong gak kak? Please.. bentar aja, gue gak mungkin masuk ke dalem." kedua tangan Kanaya menyatu di depan wajah dengan tatapan memohon.
"Emang kenapa kalo lo masuk?"
Pertanyaan bodoh. Kanaya menghela napas kasar dan membuang muka karenanya. Tapi Andika cukup tau. Luka di hati Kanaya masih terlalu rapuh untuk bertemu Irsyad.
"Ini sebenernya gue mau ke toilet sih, tapi.. yaudah deh, tungguin ya,"
Tak ada satu menit, Andika masuk kembali ke kelasnya dan keluar lagi sudah membawa kotak berisi kaca mata itu. Kanaya menerimanya dengan senyum tipis. Ternyata Andika bisa baik juga kepadanya.
"Makasih ya kak,"
Hanya satu kedipan mata yang menjawabnya. Saat itu Kanaya mengumpatnya dalam hati. Pelit.
"Yaudah, kalo gitu gue cabut--"
"Naya!"
Namun saat kakinya ingin beranjak, Andika memanggil. Membuat Kanaya mau tak mau balik badan. "Iya?"
Andika terdiam, sejenak berdehem pelan selama bertatapan dengan Kanaya, yang sudah menunggu-nunggu kalimat apa yang akan terucap dari bibir pemuda cuek itu. "Engga, gue cuma mau bilang.."
"Bilang apa?" desak Kanaya.
"Kalo galau jangan lama-lama, bisa menyebabkan kematian."

Book Comment (66)

  • avatar

    ceritanya bagus kak !!! di tingkatkan lagi kak 💪🏻💪🏻 semangat buat ceritanya kak 😉😉

    26/01/2022

      3
  • avatar
    HasyimMUHAMAD

    sangat baik untuk dibaca

    29d

      0
  • avatar
    AhmadNayip

    bagus

    13/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters