logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 4, isyarat

Bismillah
      "SUAMI DARI ALAM LAIN"
#part_4
#by: R.D.Lestari.
   "Indri ...," suara seseorang membuatku seketika menoleh.
   "Kak Bima?" aku menatap takjub pria di hadapanku. Ia Bima? tapi mengapa ia tampak amat berbeda?
    Ia memakai kemeja putih dengan kancing yang dibiarkan terbuka, dadanya yang putih, dan berkotak-kotak  membuat mataku tak ingin berpaling darinya.
   Dan itu, apa? sayap. Ya, sepasang sayap berwarna putih yang amat cantik. Apakah dia seorang malaikat?
   Wajah tampannya bersinar dan mata birunya memancarkan pesona yang amat indah. Rambutnya berkibar di terpa angin sepoi yang menenangkan, dan sepasang sayapnya mengepak manja.
    Ia berjalan perlahan menuju ke arahku. Diriku hanya terdiam mematung. Pesona lelaki itu bukan sekedar memanjakan mata, tapi juga semua indraku. Ingin rasanya kupeluk dan mengusap setiap lekuk keindahan pada dirinya. Tapi, aku siapa? aku bukan siapa-siapa baginya.
     "Indri ...," ia menyentuh tanganku dan membawanya ke tengah dadanya, menyentuh dadanya yang bidang.
    Degup jantung Bima terasa amat kencang. Sama seperti degub jantungku. Sayapnya tetap mengepak,menimbulkan bunyi yang cukup kuat di telinga.
    "Indri, apa kau merasa betapa kerasnya degup jantungku bila dekat denganmu?" tangan kanannya mengangkat wajahku pelan sehingga mata kami saling bertemu. Mata birunya menatapku sendu.
    "Indri, kau tahu jika temanmu sedang dalam bahaya?" ucapan Bima membuatku terhenyak. Temanku? maksudnya Rena?
    "Ren-- Rena, maksud Kakak?" bibirku bergetar menyebut namanya.
    "Iya, Rena," Bima menarik tanganku pelan dan membawaku menuju danau di antara riuh suara angin dan ilalang yang bergesekan. Hamparan bunga beraneka ragam membuat suasana amat romantis.
    "Kamu harus menolong Rena secepatnya atau dia akan di jadikan budak di duniaku karena perbuatan kotornya," ucap Bima.
     Hatiku berdesir mendengar ucapan Bima. Apa yang sudah di perbuat Rena hingga ia mengalami penyakit aneh seperti itu?
   "Rena mencuri salah satu barang di dunia kami. Kami sangat benci pencuri. Dan dia akan menjadi bagian dari kami secara tidak hormat, asal...," Bima menghentikan ucapannya.
   "Asal apa, Kak?" aku bertanya sembari menatap dalam ke matanya. Bagaimana pun Rena adalah sahabatku. Aku tak mungkin membiarkannya berada dalam bahaya.
    "Asal kau datang membawa kembali barang itu, sebuah tas cantik keluaran terbaru yang membuat Rena gelap mata. Aku akan memaafkan semua perbuatannya dan bala tentaraku akan kupanggil kembali pulang ke duniaku," terangnya panjang lebar.
   "Kenapa harus aku?" gumamku.
   "Karena kamu telah memikat hatiku," ia menjawab pelan.
   "Maksud Kakak?" wajahku langsung panas mendengar ucapannya.
   "Sudahlah, jangan banyak bertanya. Segera lakukan apa yang aku katakan tadi. Ingat!  antarkan sendiri. Jangan bawa siapapun. Aku akan menunggu di ujung hutan Uwentira, janji kamu harus datang jika ingin temanmu selamat. Janji?" jari tangannya menjawiil hidungku.
    "Ya, aku janji," jawabku pasti. Ada rona bahagia tersirat di wajah tampannya. Ia kemudian menggendong tubuhku dan mengepakkan sayapnya kencang.
     Aku sempat tersentak takut dan refleks melingkarkan tanganku di lehernya hingga wajah kami sangat dekat.
     "Jangan takut, aku akan menjagamu," bisiknya merdu tepat di telingaku.
     Kepakan sayap semakin kencang, perlahan kaki Bima semakin terangkat dan mengambang. Ia terbang! ya, pemuda tampan itu terbang. Ia melesat di udara membawaku bersamanya.
    
     Aku semakin mempererat peganganku hingga wajah kami semakin dekat. Aku merunduk dan kepalaku kini berada di dada Bima. Kurasakan kulit dadanya amat halus dan tubuhnya amat wangi.
     Sekarang kami terbang melintasi danau yang amat jernih dan meninggalkan padang ilalang dan bukit penuh bunga warna-warni.
      Bima membawaku terbang ke atas bukit yang penuh pepohonan pinus dan cemara.  Dengan hati-hati ia menurunkan tubuhku dan menarik tanganku pelan.
      "Mau kemana kita, Kak?" lirihku.
      "Kamu lihat di ujung sana, Indri?" Ia menunjuk seberkas cahaya yang amat terang. Aku mengangguk dan berjalan bersamanya menuju cahaya itu.
     "Itu gerbang antara duniaku dan duniamu. Sekarang kamu pulang dan ingat semua kata-kataku, jangan di tunda dan aku akan menunggu kedatanganmu," ucapnya lemah lembut.
    "Masuklah, dan jangan lupa janjimu ," ia menyuruhku masuk. Aku sempat ragu, tapi ia memaksaku.
     Cahaya itu amat silau. Perlahan aku masuk ke sana dan cahayanya menyakiti mataku hingga  ...
***
     Kringgg! Kringgg!
     Suara ponsel yang berdering yang berada tepat di pinggir ranjangku menyentak tidurku . Aku terpaksa bangun dan membuka mata.
     Mataku terbelalak. Di kamar? aku sekarang di dalam kamar? terus tadi? apakah itu cuma mimpi.
    Kringgg! Kringgg!
     Lagi. Ponsel itu berdering kembali. Segera kuraih benda pipih itu, melihat nama siapa yang tertera di layar ponselku . Sri. Ternyata Sri yang menelfonku berkali-kali.
    [Ya, Sri. Ada apa?]
   [Rena, In.Rena]
   [Kenapa Rena?]
    [Rena ...]
     Cepat kerumah Rena, In. Penting]
     Tut-tut-tut!
     Tanpa menunggu lama aku segera bangkit dari kasur dan bersiap kerumah Rena.Ibu sempat heran melihatku yang amat bergegas tanpa memperdulikan Ibu yang sedang menonton TV.
     "Mau kemana, In?" tanya Ibu ketika aku hendak melangkahkan kaki keluar pintu.
    "Ada keperluan sebentar, Ibu. Indri harus bergegas," Aku menghentikan langkahnya sejenak seraya menatap Ibu yang tampak kebingungan. Ia menghela napas dalam.
   "Hati-hati, Nak," Ibu mengulas senyum simpul dan melambai padaku. Aku hanya mengangguk pelan dan mengayunkan langkahku menuju motor yang terparkir di teras rumah.
   Brummm!
  Motor kupacu secepat yang aku mampu. Rasa gusar menyelimuti diriku. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Rena?
   Ckiiiitttt!
   Jarak rumah Rena yang cukup jauh hanya ku tempuh selama lima belas menit saja. Aku segera turun dan berlari menuju rumah Rena, hampir saja aku tergelincir karena jalanan yang basah sehabis di guyur air hujan.
   Langkahku terhenti seketika, napasku memburu, lidahku seolah kaku begitu melihat banyak orang sudah berkerumun di ruang tengah rumah Rena. Aku segera masuk dan menyibak barisan orang yang menghalangiku.
    "Rena!" teriakku. Berpasang mata melihat tajam ke arahku.
    Tangisan keluarga pecah begitu melihat kedatanganku, begitu juga Sri yang sudah berada di tempat. Ia menangis pilu di kaki Rena, sahabat kami. Suasana terasa amat menyanyat hati.
    Rena bak mayat hidup. Mata nya melotot dengan mulut yang menganga, dari ujung kelopak matanya mengalir bulir bening. Tubuh nya kaku dan terkadang bergetar hebat, seperti seseorang yang sedang mengalami siksaan yang teramat berat. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Rena yang biru pucat.
    "Rena ...," Ibunya terisak hingga semua orang yang berada di tempat ikut menangis haru.
    "Ibu ... saya butuh bicara," seketika aku teringat pada mimpi yang baru saja aku alami.
   Ibunya menatapku sendu. Ia mengangguk dan ikut bersamaku ke sudut ruangan. Aku dan ibunya Rena duduk berbarengan.
    "Bu ... apa Ibu melihat ada yang aneh dengan barang bawaan Rena?"
   "Maksudmu, apa?" Ibu balik bertanya.
   "Barang yang bukan milik Rena. Tas barangkali," aku mencoba menebak. Jika benar apa yang aku pikirkan, sudah pasti ada maksud yang terkandung di balik mimpi siang bolongku itu.
    "Ya, benar. Ibu sempat melihat tas mahal di kamar Rena. Ibu pun tak tahu tas siapa yang di bawa Rena," sahut Ibu pelan.
    Ya, tepat sekali. Inilah berarti maksud mimpi barusan . Dan, aku? aku yang harus mengantarnya ke tempat yang di maksud Bima. Sendiri. Aku tak punya banyak waktu. Nyawa Rena kini terancam.
     "Cepat Ibu bungkus tas itu dan berikan padaku, Ibu, jika Ibu ingin Rena selamat. Kita tak punya banyak waktu. Nyawa Rena dalam bahaya!" desakku. Tanpa banyak bertanya Ibu langsung menuju kamarnya dan membungkus tas yang aku minta. Tak sampai lima menit bungkusan hitam itu sudah ia serahkan padaku.
      Aku segera mengambilnya dan beranjak. Kakiku melangkah cepat untuk memburu waktu. Uwentira, kota yang di sebutkan Bima barusan bukanlah kota, melainkan hutan yang terbelah oleh jalan aspal dan itu jaraknya cukup jauh dari kediaman Rena.
    "Indri! kamu mau kemana!"
    Suara Sri menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya dan ia segera mendekatiku. Tatapan wajahnya penuh tanda tanya.
    "Tolong jaga Rena, Sri. Aku harus segera pergi. Doakan usahaku ini berhasil, jika aku lama tak kembali, jagalah dan hibur keluargaku," aku menatapnya penuh harap.
    "Msksudmu apa, In? jangan macam-macam, kamu," Sri mencengkeram lenganku. Ia terisak menahan langkahku.
    "Aku harus segera pergi, Sri. Tolong jangan buang waktuku. Aku harus cepat jika ingin nyawa Rena selamat," aku melepaskan tangan Sri. Seluas senyum ku berikan untuknya sebagai janji jika aku bisa pulang dengan selamat.
      Walaupun sebenarnya aku tak yakin dengan hatiku. Siapa yang tak tahu Uwentira? seluruh rakyat Sulawesi sudah amat mengenal kota itu. Kota gaib yang hanya orang-orang tertentu dan punya kekuatan khusus yang bisa melihatnya. Jika sudah masuk ke sana, jarang bisa pulang kembali .
      Apa mungkin Bima adalah penghuni dari kota Uwentira?
     Ah,pikiranku bercabang. Yang terpenting saat ini Rena selamat. Motor melaju amat kencang hingga tak kuhiraukan ketika di persimpangan ada lampu merah, tetap ku lajukan motor maticku dengan kencang. Beruntung Tuhan sepertinya masih mempercayakan nyawanya untukku. Aku masih selamat walau beberapa kali hampir bersenggolan dengan pengendara lain.
***
     Aku menepikan motor di samping jalan. Hutan Uwentira nampak amat mencekam di ujung sore, di mana langit berubah jingga dan gelap hampir saja menyelimuti dunia.
     Riuh suara dedaunan yang di tiup angin menyurutkan langkahku untuk maju dan masuk ke dalam hutan yang penuh pepohonan rindang dan gelap karena cahaya tertutup rimbunnya daun.
    Pepohonan tinggi menjulang tak beraturan menambah kesan angker, di tambah sunyi hanya aku yang berada dan berjalan sendirian di dalam hutan selebat ini. Kakiku gemetar. Benarkah yang aku lakukan ini?
   Samar dari kejauhan ku dengar derap langkah kaki kuda mendekati ku, aku semakin takut. Peluh mengucur deras sebesar biji jagung. Dengan kuat aku mencengkram bungkusan hitam di dadaku .
    Drap-drap-drap!
    Perlahan nampak jelas sosok kuda beserta seorang lelaki sedang menungganginya. Seketika hatiku merasa tenang saat melihat siapa yang datang. Mungkinkah itu jemputanku?
****
   

Book Comment (200)

  • avatar
    Gustriana

    cerita nya bagus

    05/07

      0
  • avatar
    MontokDurian

    ag suka sangat menyenangkan

    11/05

      0
  • avatar
    Satria Dewi Zllu Ada

    Benar2 bagus..jadi ngehalu pengen sangat pengen brtemu dengan pemuda uwentira😍

    04/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters