logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 28 Minta Restu

Minta Restu
Selamat Membaca
Miska tak henti memandangi sebuah flyer iklan ajang pencarian bakat, gambar mikrofon emas dengan latar belakang bintang tampak begitu indah di matanya. Sesekali ia tersenyum dan menutup wajahnya yang cantik. Ia memeluk kertas itu dan menari-nari di dalam kamar.
Miska berangan-angan, inilah saatnya mewujudkan mimpi. Jika dulu, mimpi tersebut terhalang karena masih berstatus pelajar di sebuah sekolah negeri terbaik di kota. Sekarang, tak ada aral untuk mewujudkan mimpi itu.
Gadis berkulit putih itu mematut diri di depan kaca dengan memegang sisir yang digunakan sebagai pengganti mikrofon. Miska terpejam membayangkan menjadi bintang pentas. ia mulai bernyanyi di atas panggung besar, orkestra pengiring juga mengalun seirama.
Miska begitu menyukai lagu dangdut lawas. Ia kagum dengan suara penyanyi dangdut yang merdu di telinga. Ia menirukan gaya dari artis idolanya yaitu Rita Sugiarto. Meski tak lagi muda, suaranya begitu indah. Miska masih berlenggok menyanyikan lirik lagu kesukaannya dan tak mendengar panggilan dari mamanya.
Hingga akhir penampilan, ia mengucapkan terima kasih lalu sedikit menunduk. Tepukan ramai dari penonton mengakhiri khayalan yang begitu manis. Miska tertawa dan menempatkan diri ke kasur empuknya. Puas baginya walau hanya sekedar bermimpi. Kertas itu kembali dipandangi dan tersenyum, bagai membaca surat dari sang kekasih. Semenjak pulang sekolah tadi sampai selesai salat magrib. Kertas itu menyita perhatiannya.
“Miska, Ayo makan!” panggilan Mamanya begitu mengejutkan, sontak ia menyimpan kertas flyer di balik punggung. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu terdiam sesaat. Meskipun penasaran, Santi memilih pura-pura tidak melihat. Ia takut jika anak sambungnya itu tersinggung dan merasa terlalu ikut campur.
“Kamu sudah shalat, Miz?”
“I ... iya, barusan saja.” Miska masih gugup, ia ragu apakah harus memberitahu kertas flyer itu.
“Makan, yuk. Mama sudah masakin pindang ikan gabus kesukaan Mizka.”
“Sebentar lagi, Miska menyusul, Ma. Mau beresin itu,” tunjuk Miska pada tumpukan mukena yang masih berserakan di lantai.”
“Oke. Ge Pe El, yah,” ucap santi sambil berlalu. Melihat kondisi sudah cukup aman, Miska segera menyimpan flyer itu di laci meja belajar kemudian segera menyusul ke dapur.
Aroma makanan khas Palembang itu begitu menggoda selera. Santi begitu lihai memasak, tak heran jika Pak Akbar memilih Santi menjadi ibu sambung untuk Miska sejak sebelas tahun yang lalu.
“Gimana masakan mama, enak?” ucap Santi membuka obrolan.
“Lemak nian,” jawab Miska dengan logat kental bahasa Palembang.
“Oh ya, katanya hari ini ada kelulusan sekolah. Gimana, lulus nggak?”
Miska menepuk pelan keningnya dan tersenyum.” Ya ampun, Miska sampe lupa ngasih tau kalo Miska lulus.”
“Alhamdulillah, Ayah harus tau kabar baik ini.”
“Kapan Ayah pulang, Ma?”
“Katanya tadi, kurang lebih dua atau tiga hari lagi pulang.”
Miska hanya mengangguk dan menyelesaikan makan malamnya lalu kembali ke kamar. Ia butuh dukungan besar kali ini. Apa salahnya meminta dukungan juga dari Tante Endah, adik dari mendiang ibunda pikirnya.
Miska mengetik nama Tante Endah di tombol telepon genggamnya, menunggu hingga sambungan telepon terhubung.
“Assalamualaikum, cantik. Lama banget gak ngasih kabar sama tante.”
“Waalaikumsalam, Tante. Iya, maaf lagi sibuk sedikit soalnya,” jawab Miska cengengesan.
“Kapan nginep di rumah tante?”
“Iya nanti, Miska main ke rumah. Tan, hari ini aku lulus sekolah loh.”
“Wah, Alhamdulillah. Selamat ya, sayang. Ayo ke rumah tante biar kita bikin acara syukuran.”
“Nanti aja acara syukurannya, setelah Miska ikut audisi menyanyi.”
“Sudah buka pendaftaran lagi, ya?”
“Iya, tanggal lima belas nanti.”
“Pokoknya Tante mendukung apa saja yang Miska lakukan. Banyak latihan, ya!”
“Siap, Tante.”
Banyak nasihat yang diberikan Tante Endah. Setelah lama berbincang di telepon, Miska menutup panggilan tersebut. Dukungan dan doa dari orang-orang terdekat sangat dibutuhkan saat ini.
Miska melirik hp nya, dari tadi dentingan notifikasi dari Whatsapp berbunyi.
[Miz, lagi ngapain? Dah tidur?]
[Belum ngantuk, nih]
[Udah malem, anak gadis gak boleh begadang]
[Gayamu, dah kayak Ayahku aja]
[Iya dong, aku kan' bakal calon menantunya]
[Pede banget]
Pesan itu terkirim dan sudah dibaca oleh Galang tetapi tak kunjung mendapat balasan, apakah Faqih tersinggung. Miska menggigit ujung jarinya dan menyesali ketikan chat terakhir. Namun, pesan sudah tidak bisa ditarik lagi.
Tak lama, panggilan telepon menghalau kegelisahannya, gadis itu menyambut dengan perasaan was-was. Menyiapkan kata-kata terbaik supaya Faqih tidak tersinggung. Belum sempat menyapa, suara petikan gitar dari ujung telepon membuai telinganya.
Pernah kita lalui semua
Jerit tangis, canda tawa
Kini hanya untaian kata
Hanya itulah yang aku punya
Tidurlah, selamat malam.
Lupakan sajalah aku
Mimpilah dalam tidurmu
Bersama bintang
“Miz... hallo?”
“Hmm...”
“Ketiduran ya?”
“Iya, suaramu bikin aku ngantuk. Makasih ya."
“Ya udah, syukur deh. Met istirahat, ya.”
Hening tak ada balasan dari Miska. Mungkin, gadis itu sudah terlelap jauh ke alam mimpi. Galang mematikan sambungan telepon setelah memastikan gadis pujaannya tertidur.
Faqih dan Miska bergabung dengan teman-teman menyumbangkan beberapa baju yang masih layak pakai ke panti asuhan. Setiap jumat, kegiatan itu rutin mereka lakukan. Tak hanya pakaian, makanan atau bahan pangan dari para donatur juga mereka salurkan. Sore hari, Miska dikejutkan dengan kedatangan sang ayah.
Kebersamaan itu selalu langka terjadi, karena ayah yang jarang pulang ke rumah. Di Ruang keluarga ini terasa begitu hangat. Secangkir kopi cappucino, beberapa cangkir teh hangat dan pisang goreng dihidangkan di atas meja. Ruangan yang cukup besar dengan dinding berwarna putih ditambah sofa berwarna merah tempat mereka saling bertukar cerita, menyusun rencana dan target masa depan.
“Ayah, aku ada kabar gembira,” kata Miska.
“Oh ya?”
Miska menyerahkan selembar kertas flyer. ”Ayah tahu ‘kan, aku pingin jadi artis terkenal. Nah, inilah saatnya kesempatan mewujudkan mimpi setelah selesai sekolah.”
“Hmm, terus?”
“Jadi, aku mau ikut audisi nyanyi ya, Yah?”
“Audisi apa?”
“Audisi KDI. Ih, Ayah kok nanya lagi?”
Lelaki itu menaruh kembali flyer ke atas meja. Ia pergi ke kamar lalu membawa kertas brosur. Ia menyandingkan keduanya dan menyuruh Miska memilih.
“Di antara kedua kertas ini, mana yang terbaik.”
“Yang ini dong.” Tunjuk Miska pada selembar Flyer.
“Tidak ada yang salah dengan mimpimu, tetapi harus mempunyai tujuan yang jelas. Seperti brosur ini, baca.”
“Program Studi Diploma Tiga Kebidanan?”
“Miska harus melanjutkan pendidikan supaya masa depanmu tertata lebih baik.”
“Jadi artis juga pasti terjamin masa depan. Lagian, aku benci sama darah.”
“Jangan jadikan alasan, seiring berjalan waktu. Kau akan mencintai pekerjaanmu.”
“Enggak, Yah. Ngapain capek-capek kuliah, mending langsung jadi artis. Banyak duit, terkenal .... "
“Ayah gak suka kamu jadi artis titik.” Terlihat jelas kilatan amarah yang terpancar dari mata ayahnya.
“Tapi, Yah .... ”
“Gak ada tapi, pokoknya besok ayah temani daftar kuliah.”
“Jangan,” cegah Miska. Namun, terlambat. Ayah sudah meremuk flyer itu dan melemparnya ke sudut rumah.
Miska terdiam, ia merajuk dan membawa selembar kertas yang telah diremukkan oleh ayah ke dalam kamar. Miska hanya nurut dan tak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu hanya menangis membawa perihnya luka di dalam hati.
Bersambung...

Book Comment (42)

  • avatar
    EdiCarlos simbolon

    bgs

    6d

      0
  • avatar
    ElepJumani

    saya suka

    30/05/2022

      0
  • avatar
    Muhammad R

    asd

    15/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters