logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Sakitnya tuh di sini

~~~***~~~
Leuwi Jurig, kota kecil yang berada di wilayah Jawa Barat ini terkenal sebagai kota angin. Perbukitan, persawahan dan pepohonan yang masih banyak membuat suhu angin senantiasa bertiup kencang. Seperti sore yang teduh ini, angin bertiup kencang memberi hawa segar bagi insan yang berada di luar rumah.
Di salah satu tanggul pesawahan yang sejuk karena terdapat pohon mangga besar yang rimbun, seorang gadis berparas ayu sedang duduk seorang diri sambil memandang hamparan padi yang menguning di depannya. Rambut panjangnya yang legam berkibar tertiup angin yang berhembus.
Sebenarnya, Ayu sudah keluar dari rumah sejak pagi hari karena lara yang menderanya. Bagaimana ia tidak berduka bila Desi dengan sengaja lewat bolak-balik depan rumahnya sambil tertawa-tawa dan memanggil Aa pada seseorang di telpon sana, yang ia yakini aa itu adalah Irfan, dengan manja. Seakan ingin menunjukan betapa Irfan mencintainya.
Bukan hanya itu saja yang membuat dadanya sesak. Tapi ramainya para pekerja memasang tenda biru di halaman rumah Desi. Lalu tetangganya sendiri berbondong-bondong menghampiri rumah Desi untuk membantu pekerjaan dapur. Tradisi paguyuban alias gotong royong di sini masih sangat kuat. Sehingga bila ada yang mengadakan acara, mereka akan saling membantu dengan senang hati.
Ayu kira ia kuat menghadapi ini semua, nyatanya ia tak mampu. Ia kesakitan, terpuruk dan merasa terbuang. Ia sudah bertekad akan pergi sejauh mungkin ke rumah temannya, tak peduli temannya yang berada di pelosok desa sekali pun, asal tidak di rumah. Ia tak tahan melihat euphoria kebahagiaan di rumah Desi.
Gadis cantik itu sudah bersiap-siap untuk pergi ketika emaknya berpesan memintanya segera pulang karena ia sudah membuat nasi kuning dan gembos goreng kesukaannya. Mau tak mau Ayu mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia tahu Emaknya takkan berhenti, dan akan terus menerornya dengan segala cara hanya agar ia segera pulang. Jadi daripada pusing, Ayu pun akhirnya memutuskan untuk pulang saja.
Ayu turun dari tanggul besar itu saat mentari sudah condong ke timur, menaiki motor maticnya dan menutup wajahnya dengan helm fullface, supaya tak ada yang melihat kegusaran hatinya. Sayangnya, kegusarannya kembali datang saat motornya melintasi rumah Desi yang semakin ramai dengan para ibu-ibu yang membantu memasak. Beberapa ibu-ibu itu ada yang meliriknya dan menggosipkan entah apa. Tapi Ayu yakin mereka sedang membicarakan betapa ngenes nasibnya ditinggal pacar nikah. Mana nikahnya sama sahabat dekatnya sendiri. Hiikss ...
Ayu buru-buru pergi sebelum tatapan ibu-ibu itu berubah semakin mengenaskan. Tapi naas baginya saat ia hendak membelokkan motornya di tikungan gang ke rumahnya, ia menabrak sebuah mobil carry. Untungnya mobil itu melaju perlahan, sehingga Ayu dan motornya hanya terjatuh pelan. Tapi tetap saja sakit.
"Adaawww..." suara rintihanya berbarengan dengan pintu mobil yang terbuka.
"Neng!" Teriak Irfan terkejut, saat menyadari kalau yang ia tabrak adalah Ayu. Ia bermaksud turun dari mobil untuk membangunkan Ayu, tapi pelototan dari kedua orangtuanya membuatnya urung melakukannya.
Ayu hanya bisa meringis ngilu, tertatih ia mencoba bangun dari jatuhnya. Kenapa juga mereka harus bertemu? Percuma saja ia menghindar dari pagi kalau akhirnya bertemu juga. Oh Ayu lupa, sore ini Irfan mesti mengantarkan sayuran untuk keluarga Desi. Sudah menjadi tradisi di kampungnya, selain memberikan seserahan, dari keluarga calon lelaki juga mengirimkan sayuran untuk calon keluarga perempuan sehari sebelum pernikahan untuk di masak di hari pernikahan.
"Ada yang mau aku obrolin sama Ayu dulu!" Irfan tiba-tiba turun dari mobil, mengabaikan peringatan orangtuanya dan membantu Ayu berdiri tegak, begitu juga motornya. Ia membawa motor itu ke tepi, lantas meraih lengan Ayu untuk mengikutinya. Irfan melirik orangtuanya yang sedang melotot mengawasi sikapnya. "Sebentar," katanya tanpa suara, menenangkan kedua orangtuanya.
Irfan menarik Ayu ke bawah pohon tempat dulu dirinya selalu parkir menunggu Ayu berdandan. Ayu berusaha menarik tangannya tapi genggaman Irfan malah semakin kencang membuat debaran jantungnya menggila. Genggaman ini sama seperti saat mereka masih berhubungan dulu. Hangat dan menenangkan. Ayu merutuki hatinya yang selalu bertolak belakang dengan logikanya. Semenit lalu ia bilang benci, tapi sekarang ia merasa bahagia hanya karena bergenggaman seperti ini. Bahkan diam-diam ia membalas genggaman tangan Irfan, rindu. Oh, dia memang munafik.
Ayu tertegun begitu pula Irfan saat mereka berhenti di bawah pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Irfan membukakan helmnya pelan. Helm pemberian Irfan itu masih setia menutupi kepalanya membuat hati Irfan hangat menyadari bahwa Ayu masih belum melupakannya. Ayu memandang Irfan sendu sedang Irfan menatapnya penuh makna saat helm itu seutuhnya terbuka. Kenangan saat Irfan selalu memakaikan Ayu helm pun melintas di benak mereka.
Flashback on.
Irfan sedang asyik membalas chat pembeli yang mau membeli kambingnya ketika Ayu datang tergopoh-gopoh menghampirinya. Raut wajahnya terlihat pucat.
"Aa ... ayok cepetan pergi. Bentar lagi bapak keluar. Kayaknya dia tahu Neng kabur," Ayu datang-datang langsung memakai helm khusus miliknya yang tergantung di stir motor.
"Gak papa, Neng. Biar Aa ijin sekalian ke bapak mau ngajak Neng jalan," jawab Irfan tenang. Ia menarik Ayu mendekat dan membukakan kembali helm winnie kesukaannya dengan lembut. Seketika pipi gadis cantik itu merona karena perlakuan yang manis itu. Terlihat sepele hanya membukakan helm, tapi kenapa jantungnya menari-nari tak karuan seperti kesurupan.
"Sabar ya, Neng. Tunggu bentar aja, biar Aa ngomong dulu sama Bapak,"
Ayu melotot gemas," Aa ini gimana, sih? Nanti bapak datang, malah gak bolehin kita main!"
Benar saja, tak lama bapak Ayu datang tergesa-gesa dengan mata merah menyala. Bukannya pergi, justru Irfan turun dari motornya dan tersenyum menanti bapak Ayu menghampiri. Meski ia tahu, ia sedang menaruh pedang di lehernya sendiri.
"Mau kamu bawa ke mana anak saya?"
"Mau diajak jajan baso beranak. Boleh gak, Pak?" Ijin Irfan membuat Ayu tersedak.
Cari mati. Kenapa jelasinnya sedetail itu. Alamat gagal makan baso beranak ini mah. Batin Ayu kesal.
"Gak bisa, sarepna. Anak perempuan gak boleh ngayap malem-malem."
"Baru juga lewat ashar, belum sarepna. Nanti pulangnya saya bawain bakso beranak yang paling gede. Gimana?" Irfan coba bernegosiasi. Masih terlihat tenang meski wajah lelaki di hadapannya merah padam seperti orang habis makan cabe sekilo.
Ayu melongo. Ia tak salah dengar? Irfan tidak takut menghadapi bapaknya tapi malah bernegosiasi? Ini teh bener pacar Neng? Makasih ya Allah.
Bapak Ayu tampak bimbang memikirkan tawaran baso beranak gratis yang sedang booming ini. Selama ini ia selalu sayang mengeluarkan uang banyak hanya untuk membeli baso. Daripada beli baso, mending beli obat si Asep supaya makin kuat.
"Basonya yang level super pedas," kata Maman akhirnya. Kesempatan tidak bakal datang dua kali. Selagi ada, nikmatin aja.
"Siap, Pak !"
"Dan jangan pulang malam. Udah lapar nih,"
Irfan mengangguk, bibirnya tersenyum manis kepada Ayu, seolah ingin mengatakan kalau ia sudah berhasil meminta ijin pada bapaknya. Masa lalu yang indah. Sayang, sekarang semua tinggal kenangan!
Flash back off
Ayu menekan dadanya yang terasa sesak. Kenapa setelah putus, justru yang ia ingat malah kenangan manisnya saja. Membuatnya sesak menahan rindu. Padahal mereka pun kerap bertengkar. Sayang, moment buruk itu seakan menghilang begitu saja. Entah mengapa ia kesulitan memunculkan memori pahit itu ke permukaan.
"Kita sudah tidak punya urusan. Kalau calon istrimu tahu, bisa-bisa kalian batal menikah."
"Baguslah batal, biar Aa bisa ajak kamu kawin lari."
Ayu menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, asal tidak memandang Irfan karena membuatnya konsentrasinya buyar. Debaran itu masih terasa, entah bagaimana ia harus menghentikannya.
Tiba-tiba Ayu menyadari kalau jemari mereka masih saling bergenggaman. Antara enggan lepas dan malu, dengan berat hati ia melepas genggaman itu membuat Irfan kecewa.
"Jangan begini Aa, Neng mohon. Terimalah takdir yang sudah digariskan untuk kita. Kita memang tidak berjodoh."
"Kamu yakin Aa bukan jodoh kamu?"
Ayu terkesiap. Irfan menyeringai.
"Kamu gak bisa bohong sama Aa? Kamu masih cinta sama Aa."
"Aa, kita sudah pernah membahas ini. Hubungan kita sudah berakhir."
Irfan mendengkus sebal." Trus kenapa Neng ngelabrak Desi di alun tadi? Malah ngancem mau gagalin pernikahan Aa sama Desi. Kalau bukan karena kamu masih mencintai Aa, apa maksudmu melabrak Desi?" sembur Irfan marah.
Ayu melongo, bingung." Kapan Neng ngomong gitu?"
"Jangan kura-kura dalam perahu, jangan pura-pura tak tahu." Irfan menghimpit tubuh Ayu ke pohon di belakangnya. Sontak Ayu mendorong Irfan. Dasar cowok gila. Apa ia tidak merasakan kedua bola mata orangtuanya nyaris keluar melihat aksi nekadnya.
"Trus Aa percaya, Neng gitu?"
"Ya, Aa percaya. Buktinya kamu masih mencari perkara tepat sehari sebelum Aa menikah besok."
Ayu menggeleng. Air matanya hampir saja tumpah. Dadanya kembali berdenyut nyeri menyadari kekasihnya akan menikah besok. Sejenak ia melirik kedua orangtua Irfan yang masih mengawasi mereka dari dalam mobil. Dihembuskannya nafasnya pelan.
"Itu akal-akalan Desi aja. Neng mah ikhlas Aa nikah sama Desi."
Irfan menyugar rambutnya gusar. Jawaban yang ia tunggu dari bibir manis yang sering ia kecup itu, tidak pernah sesuai dengan hatinya.
"Neng mah munafik. Aa mesti nikah sama Desi tapi Neng nangis terus. Kalau begini, Aa jadi bingung mesti gimana. Kalau gak mau Aa tinggal nikah, ya udah ayok, Neng yang nikah sama Aa."
Ayu menghapus air matanya yang mendadak menetes tanpa bisa ia bendung lagi sambil tersenyum." Neng janji gak bakal nangis lagi. Ini yang terakhir. Neng ikhlas Aa nikah sama Desi."
Irfan mendengus, sebal." Final ya? Kamu loh yang pengen Aa nikah sama Desi? Aa gak bakal mundur lagi."
Lain di mulut lain di hati. Irfan mengutuk lisannya yang begitu mudah mengeluarkan kata-kata itu. Sejujurnya ia tak sanggup menikahi Desi. Hanya karena desakan orangtua saja ia terpaksa menerimanya.
Ayu mengangguk mantap," iya. Neng janji !"
Irfan kecewa. Sungguh ia tak menyangka Ayu melepasnya semudah itu." Ya udah. Awas nangis lagi. Aa pergi dulu," Irfan hendak berbalik pergi ketika Ayu memanggilnya.
"Boleh Neng tahu, apa selama kita berpacaran, Aa selingkuh dengan Desi? Apa Aa menganggap hubungan kita waktu itu main-main?" Tanya Ayu parau.
Irfan melotot tak percaya," bisa-bisanya Neng mikir Aa selingkuh, bahkan berpikir Aa mempermainkan Neng? Emang belum cukup semua yang Aa lakukan sama Neng, sebagai bukti cinta Aa sama Neng? Berapa puluh kali sejak kita pacaran, Aa ngajakin kamu nikah." Irfan menyipitkan matanya. Ia menatap Ayu menyelidik," apa ada yang mempengaruhimu lagi? Ayo jawab!"
Ayu tersentak, ia mulai panik." ga ada yang mempengaruhi Neng."
"Aa khatam semua sifat kamu. Neng itu gampang dipengaruhin. Sekarang Aa tanya sekali lagi sebelum Aa kirim serahan sayuran ini ke rumah Desi. Neng mau nikah sama Aa gak?" Irfan menatap Ayu lembut, membuat Ayu merona. Tatapan yang membuat Ayu rela melakukan apapun untuknya. Meski itu artinya ia yang menikah dengan Irfan dan melawan kedua orangtua mereka.
Tinn ... tinn ... suara klakson mobil terdengar.
Ayu terhenyak mendengar suara klakson. Sudut matanya menangkap kebencian orangtua Irfan padanya dari balik mobil. Itulah kenyataannya. Orangtua Irfan tidak akan pernah menyetujui hubungan mereka sampai kapan pun.
Ayu menggigit bibirnya yang terasa pahit, seraya menggeleng." Tidak..!" Jawabnya tegas.
"Bahkan sebelum pernikahan Aa saja, Aa masih minta kamu buat nikah sama Aa. Tapi kamu selalu bilang tidak. Ok, kalau ini maumu. Aa akan menikah dengan Desi dan kita tak perlu bertemu lagi." Irfan berteriak marah. Ia kesal karena Ayu masih menolaknya di detik terakhir ia memintanya. Kenapa Ayu tak takut kehilangannya?
Dibantingnya helm berwarna pink yang dulu ia belikan saat helm Ayu hilang dengan kasar. Kemudian bergegas pergi. Namun kakinya terpaku saat mendengar suara merdu itu berbisik lirih.
"Selamat tinggal. Semoga kamu bahagia!" gumam Ayu pelan.
Irfan tercekat. Namun kemarahannya lebih besar pada perempuan yang sudah ia perjuangkan mati-matian selama ini. Ia menaiki mobil carrynya di mana orangtuanya sudah menunggunya dengan sorot mata puas karena tahu Irfan berhasil melukai Ayu. Itu terlihat dari wajah pias dan air mata Ayu yang mengalir di pipinya.
"Yang kamu lakuin sudah bener, Fan. Mamah dukung kamu."
Irfan tak mendengar ucapan orangtuanya. Di pikirannya hanya Ayu seorang. Dipukulnya dadanya yang terasa sesak. Apa sih kurangnya dia sampai Ayu berkali-kali menolaknya? Padahal urusan restu orangtua mah gampang. Argh...
"Kenapa dadanya dipukul-pukul? Masih cinta sama si Ayu? Percuma, Emak sama Bapak gak bakal restuin sampai kapan pun. Keluarganya orang gak bener, matre. Bisa abis harta kita diporotin mereka." Ujar bapaknya sambil nyinyir.
"Kalau kamu sayang ke orangtua, dengerin apa kata orangtua. Masih banyak cewek cantik selain si Ayu! Lagian nikah jangan liat cantik aja, tapi babat bibit bobotnya juga." Timpal mamahnya pula.
"Lagipula si Desi calon istri yang sempurna buat kamu. Pintar memasak, ramah dan baik. Seiring waktu, kamu pasti bisa melupakan Ayu."
Irfan melengos tak peduli. Itu tidak akan pernah terjadi!
~~~***~~~

Book Comment (6)

  • avatar
    RahmawatiFitri

    keren ka ceritanya minta lanjutin

    01/08

      0
  • avatar
    MiftaMifta

    keren banget

    09/02

      0
  • avatar
    FitrianiWina

    ceritanya kerennn😍

    12/03/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters