logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Dituduh Fitnah

“Maaf, Ma. Dewi gak bisa ninggalin Azfar lama-lama di rumah. Dia sedang sakit dan sendirian,” jawabku. 
Lagipula, bukankah kemarin Citra sudah mencuci piring dan gelas bekas mertuanya itu sampai kelelahan? Itu kan alasan Citra tak mau membuka pintu tadi malam, ketika Mas Bambang minta tolong? Berarti Citra bohong, dong. Emang dasar dia gak peka aja gak mau nolong orang lain yang sedang membutuhkan! 
“Tolongin Citra, dong. Masa kamu gak mau nolong saudaramu sendiri?” bujuk Ibu Mertua. 
Lah dia kira aku pembantu, apa? Masalah kecil begitu aja sampai minta tolong, di mana dia waktu anakku kejang-kejang dan butuh motornya untuk pergi ke puskesmas? Haduh, mendidih darahku dibuatnya! 
“Ya sudah, baik. Akan Dewi cucikan piring dan gelas itu. Tapi Dewi juga mau minta tolong sama Citra, tungguin Azfar di rumah. Kasihan kalau dia bangun dan gak ada siapa-siapa di sana,” jawabku. 
Ayah mertua mengangguk pada Citra, menyuruhnya agar mau menuruti permintaanku. Namun Citra menunjukkan rasa malasnya, ia bergelayut manja di lengan Ibu Mertua. Seolah minta pengertian. 
“Citra mau tidur siang, dia harus istirahat,” kata Ibu Mertua sambil mengantar Citra ke kamar. Sempat kulihat Ibu Mertua mendelik sinis padaku. 
Ya Alloh, hanya karena aku minta tolong pada anaknya, Ibu Mertua sinis padaku. 
Akhirnya aku mengalah, kucuci tumpukan piring dan gelas kotor ini walau sebenarnya aku pun malas dan enggan. Keberadaanku di rumah adik ipar sudah bagaikan pembantu. Aku menghela napas panjang, dan mengembuskannya dengan kasar. 
“Sabar … sabar …,” batinku. 
Tiga puluh menit kemudian, semua cucian ini beres. Saking banyaknya hingga menghabiskan waktu selama itu. Selain piring dan gelas, banyak juga panci, wajan, dan peralatan masak yang kotor. Minyak goreng berceceran di lantai dan kompor, jorok sekali. Sepertinya Citra tak pernah membersihkannya. Perutku mual berada di dapur yang jorok dan bau. 
Aku segera pulang ke rumah. Sudah jam satu siang, Mas Bambang pasti sudah pulang dari ladang. Gawat juga karena aku belum memasak capcay kuah pesanannya. Aku pun pamit pada Ayah Mertua yang masih duduk di sofa. Sementara Ibu Mertua dan Citra sedang beristiraht di kamar. Enak sekali jadi mereka! 
Dengan langkah terburu-buru, aku masuk rumah lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Aku melihat cangkul Mas Bambang tergeletak di depan pintu—dekat sumur. Dia sudah pulang, dan aku belum sempat masak. Hatiku sudah tak karuan, suamiku pasti akan marah karena tak ada makanan saat ia lelah pulang bekerja. 
Saat memasuki pintu, aku mendengar suara Azfar menangis. Disusul suara Mas Bambang yang menenangkan Azfar. 
Segera kuletakkan paper bag—yang tadi diberikan Ayah Mertua—di bawah rak piring. Paper bag ini berukuran besar dan isinya sangat penuh, Ayah Mertua menutup ujungnya dengan lem sehingga aku tak dapat mengintip isinya. 
“Dari mana saja kamu?” bentak Mas Bambang ketika aku tiba di kamar Azfar. “Belum masak, belum cuci baju, belum cuci piring, malah ninggalin anak yang lagi sakit sendirian di rumah!” 
Bentakan itu membuatku tersentak. Azfar langsung turun dari kasur dan menghamburku sambil menangis. 
“Ibu dari mana? Aku tadi ketakutan di rumah sendirian. Untung ada Bapak pulang …,” tangis Azfar. 
Aku mengusap punggung Azfar, “maafkan Ibu, Nak. Tadi ada Kakek dan nenekmu datang ke rumah Tante Citra. Ibu menemui mereka di sana,” bisikku pada Azfar. 
Kemudian aku beralih ke Mas Bambang yang tengah menunggu jawabnku sedari tadi. Ia menunjukkan kemarahannya padaku. 
“Aku dari rumah Citra, Mas. Ada Mama dan Ayah datang ingin menengok Azfar, tapi yang mereka datangi malah rumah Citra. Dan aku disuruh datang ke sana, karena Mama ingin bertemu anak kita tapi gak mau menginjakkan kaki di rumah kita,” jawabku, menceritakan semuanya pada Mas Bambang. 
“Jangan bohong! Mana mungkin orangtuaku bersikap seperti itu? Palingan kamu ngarang-ngarang aja!” ucap Mas Bambang yang tak percaya dengan ceritaku. 
Sungguh, makin mangkel hatiku! 
Untuk menghindari ribut dengan Mas Bambang, aku mengajak Azfar ke ruang tengah. Kunyalakan TV tabung berukuran 14 inch pemberian ibuku di kampung, agar anakku mendapat sedikit hiburan. Keningnya mengeluarkan keringat kecil, panasnya juga mereda, hanya sisa hangat ketika menyentuh keningnya dengan punggung tangan. 
“Aku lapar, Bu,” keluh Azfar. 
Aku segera membuatkannya capcay kuah. Irisan sayur dan bumbu yang tadi sudah kuolah tinggal dimasukkan saja dalam wajan dan diberi bumbu tambahan seperti garam, gula, dan penyedap rasa. Kutambahkan juga sebutir telur untuk menambah gizi anakku. 
Sambil mengungkab wajan agar capcayku cepat matang dan empuk, aku menyapu dapur agar terlihat lebih bersih, kubuka pintu belakang lebar-lebar agar asap dari tungku menuju keluar rumah. Memasak pakai kayu bakar memang harus hati-hati, jangan sampai asapnya terhirup kalau tak ingin saluran pernapasan kita terganggu. 
Sementara itu, Mas Bambang mengambilkanku kayu bakar dan kalari (daun kelapa kering), ia menyimpannya di dapur—di belakang pintu. Di belakang rumahku memang ada saung kecil tempat menyimpan stok kayu bakar dan kalari.
“Maafin Mas, Dewi. Mas lagi banyak beban pikiran, jadi marah-marah sama kamu,” ucapnya dari arah belakangku. Aku sedang memasak, dan dia duduk di dipan. 
Tak kujawab ucapannya. Aku pura-pura tak mendengar dan lanjut menuang capcay yang sudah matang ke mangkuk besar. 
“Mas cuma tak ingin kamu membicarakan kejelekan saudara kita, apalagi orangtua. Gak baik,” lanjutnya. “Mas tahu kamu diam di rumah aja selama ini pasti jenuh, jadinya sering berhalusinasi kan? Makanya kamu bilang Citra begini-begitu, orangtuaku begini-begitu … itu halusinasimu saja. Kamu baper, padahal maksud mereka gak seperti yang kamu pikirkan.”
Ingin rasanya kusiramkan capcay kuah panas ini ke Mas Bambang! Bagaimana bisa dia bilang aku berhalusinasi? Kenapa dia tak percaya juga padaku, sih? 
Karena kesal, kuabaikan suamiku dan menghampiri Azfar di ruang tengah. Menyuapinya kemudian memberinya obat. 
“Bu, di depan rumah Tante Citra ada mobil Nenek!” tunjuk Azfar ke luar jendela. 
“Iya, nenekmu datang tadi pagi,” kataku. 
“Kenapa Nenek tak nengokin aku, Bu?” 
“Mungkin nenekmu lelah baru datang. Biarkan saja, nanti juga kalau dia mau ketemu pasti datang ke sini,” jawabku. 
Wajah Azfar berubah murung. Aku bisa merasakan kesedihannya. Aku yakin, sebenarnya Azfar mengerti kenapa neneknya tak mau mengunjungi kami di sini. 
“Tapi dari dulu juga Nenek tak pernah datang ke rumah kita. Ke rumah Tante Citra terus datangnya,” keluh Azfar. 
Mas Bambang nimbrung, dia mendengar kata-kata Azfar yang terakhir. 
“Dengar kan, Mas? Anak kecil aja peka, “ kataku sinis pada Mas Bambang. Ia hanya terdiam. 
*
Sepeti biasa, menjelang sore aku menyapu halaman rumah. Kali ini Mas Bambang membantuku membakar sampah dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon mangga dan pohon jambu. 
“Bambang!”
Kudengar Ibu Mertua memanggil suamiku dari depan rumah Citra sambil melambaikan tangan, menyuruh Mas Bambang menghampirinya. Saat itu juga suamiku langsung mendekat ke ibunya. 
“Tadinya Mama mau mampir ke rumahmu. Tapi Dewi keburu datang mengunjungi Mama dan Ayah ke rumah Citra. Begitu dia lihat mobil Mama, dia langsung menghampiri kami. Jadinya kami berkumpul di rumah Citra tadi siang. Istrimu itu memang sopan sekali sama kami, mertuanya,” lapor Ibu Mertua pada suamiku. Yang dikatakannya itu seratus persen bohong! 

Book Comment (45)

  • avatar
    LesmanaGalih

    seru juga ceritanya

    2d

      0
  • avatar
    HafilahAzkia

    goodjob

    12/12

      0
  • avatar

    mantap

    06/01/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters