logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB 3 Flashback (Ibunda Arin)

Aku sebetulnya tidak tega melepaskan Arin ke kota untuk tinggal bersama paman dan bibinya. Tapi aku bisa apa? Aku sendiri bingung harus bagaimana setelah kepergian bapaknya. Sebetulnya aku ingin Arin melanjutkan kuliah saja, tapi apa dayaku. Dua adiknya Arin saja aku tidak tahu bisa membiayainya sekolah apa tidak, soalnya bapaknya Arin juga tidak meninggalkan uang banyak.
Pesangon dan uang duka dari kantor jelas hanya cukup untuk beberapa bulan saja. Alangkah baiknya kalau itu aku gunakan untuk menambah modal daganganku saja, biar hasilnya lebih lumayan.
Masih bersyukur aku bisa menjahit, mesin dari ibu juga walaupun tua masih bisa digunakan. Biarlah aku akan bekerja lebih keras lagi supaya dua adik Arin bisa terus bersekolah. Besok Arin akan dijemput paman dan bibinya, semoga dia bisa hidup bahagia dapat pekerjaan yang layak di sana.
Aku sedih bila mengingat harus berpisah dengan Arin, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin akan lebih baik Arin tinggal di kota. Mudah-mudahan dengan ijazahnya yang hanya sampai Sekolah Menengah Kejuruan dia tetap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Aku sebagai orang tua hanya bisa mendukung dan mendoakan anak-anaknya agar mereka sukses, bahagia hidup di dunia dan akheratnya, lahir maupun batinnya.
Pagi menjelang, sinar matahari mulai menampakkan cahayanya. Aku dengar suara memberikan salam dan mengetuk pintu
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.’’
‘’Tok tok tok...ini Isah dan Mas Gun, Mba.’’suara itu terdengar jelas.
‘’Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, iya De...masuk saja pintu tidak dikunci, sebentar ya aku selesein masaknya dulu takut gosong.’’sahutku.
Kedua adikku masuk hingga sampai ke dapur. Tak terbayang rasa kangenku pada kedua adikku itu. Agak lama kami tidak bertemu, terakhir mereka ke sini ketika bapaknya anak-anak meninggal.
‘’Alhamdulillah kamu sudah sampai De, bagaimana kabar Sukadamai?’’sapaku sembari membersihkan tangan yang terciprat minyak saat kuselesaikan masakanku.
‘’Alhamdulillah baik, Mbak...syukur juga keluarga di sini baik-baik juga ya.’’
Akhirnya kami terlibat obrolan seru. Apa saja kami ceritakan sebagai pelepas rindu. Aku 4 bersaudara. Sebagai perempuan satu-satunya aku yang diminta orang tuaku untuk menemaninya sampai akhir hayatnya.
Adikku yang terdekat cuma satu, Didin namanya. Itupun dia tinggal bersama istrinya di lain desa. Sepeninggal kedua orang tua dan suamiku, aku hanya tinggal berempat dengan anak-anak. Setelah Arin nantinya ikut paman bibinya tinggal di kota, berarti aku hanya tinggal bertiga dengan Dani dan Dito aank kembarku. Tapi tidak apa-apa, yang penting masa depan anak-anakku nantinya jauh lebih baik dari aku sudah cukup bahagia.
Waktu 18 tahun ternyata begitu singkat kulalui. Nanti malam Arin akan pergi ke kota mengikuti paman dan bibinya. Semoga Arin bahagia dan sukses di sana. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya.
#####
Hari semakin sore, matahari mulai beranjak meninggalkan ufuk timur menuju ke barat untuk kembali keesokan hari bila Tuhan mengizinkan. Ketika kulihat Arin berkemas-kemas memasukkan beberapa helai baju dan perlengkapan lain ke tas nya entah kenapa seperti ada sesuatu yang akan hilang pergi meninggalkanku. Aku sedih bercampur haru.
Aku tahu, sepeninggalnya Arin nantinya aku akan lama tidak bertemu dengannya. Ini kali pertama perpisahan kami. Sebetulnya aku tidak tega melepasnya, pasti setelah ini aku baru lama bisa bertemu lagi dengannya. Karena tidak mungkin kan aku tiap hari ke Sukadamai. Jarak dari sini ke sana saja memerlukan perjalanan 4 jam lamanya. Tapi biarlah, ini demi masa depan anakku juga. Aku berusaha ikhlas melepasnya.
‘’Mba, kami pamit ya,’’kata adikku hampir serempak.
‘’Ini Arin kami bawa, tenang saja Mba, kami akan merawatnya dengan baik...tidak usah khawatir.’’kata adikku denga nada bercanda menghiburku.
‘’Titip Arin ya De,’’kataku terbata.
Kerongkonganku terasa tercekat. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya tatapan penuh haru dan doa yang mengiringi kepergiannya dari sisiku.
‘’Arin pamit Bu,doakan ya..”
‘’Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.’’
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.’’
‘’Dadah Mba Arin...’’lambai kedua adiknya sambil menyeka bulir-bulir air bening yang menetes di pipinya.
Arin kulihat hanya mengangguk sembari melambaikan tangan ke arah kedua adiknya.
Mereka yang sedari kecil tidak pernah berpisah, hari ini takdir membawa kakak perempuannya pergi untuk mengadu nasib di kota besar demi membantu perekonomian sepeninggal bapaknya.
Terlihat sekali mereka berat berpisah. Meski ketika berkumpul ada saja pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka, tapi menurutku itu wajar namanya juga mereka masih anak-anak.
Hari ini mereka berpisah. Tidak akan ada lagi tawa canda Arin yang kudengar meledek adik-adiknya. Aku tahu pasti Dani dan Dito begitu merasakan kehilangan sama sepertiku. Tapi mudah-mudahan mereka bisa menerima keadaan ini.
Aku harus ikhlaskan Arin merantau ke kota, toh di sana dia tidak benar-benar sendiri...ada adik-adikku yang pasti akan menjaganya sebaik anak kandungnya sendiri. Daripada Arin tetap di sini, aku tidak bisa menjamin masa depannya bisa lebih baik.
Aku benar-benar bersyukur, ketiga anakku sudah terbiasa terdidik hidup disiplin, setidaknya Insyaa Allah itu sangat berguna untuk Arin menghadapi kerasnya kehidupan di kota. Semoga pula dengan kecerdasannya dia bisa mendapatkan pekerjaan sesuai yang diinginkannya agar bisa pula untuk bekal hidup di masa depannya.
Aku sebagai ibu sekaligus bapaknya sekarang hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi ketiga anak-anakku.
****

Book Comment (147)

  • avatar
    AzisAbdul

    wow

    8d

      0
  • avatar
    FauziahNada

    menarik

    03/08

      0
  • avatar
    Ayam RacerKentut

    woow

    28/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters