logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Siapa Dia, Mas?

TAK MAU DIMADU
BAB. 7
***
Sekarang sudah pukul sebelas siang, aku memutuskan untuk datang ke kantor Mas Ilham, mengantarkan bekal makan siang yang tak sempat dibawa pagi tadi.
Gamis longgar biru tua tanpa motif menjadi pilihanku siang ini, satu set dengan jilbab yang menutup dada berwarna senada. Hiasan rempel di bagian pergelangan tangan, dan bawahan rok, terlihat cantik dan nyaman dikenakan.
"Mas, istrimu yang baik ini sengaja mengantarkan makan siang untukmu. Menunya spesial kesukaanmu," kataku sambil tersenyum di depan cermin meja rias kamar.
Membayangkan wajah terkejut sekaligus senangnya dia saat melihat istrinya datang dengan rantang bekal makanan, membuatku terkekeh geli. Wajahnya pasti lucu sekaligus menggemaskan.
Notifikasi pesan masuk terdengar membuat ponsel di meja berpendar. Langsung saja aku meraihnya, lalu membaca pesan yang tertulis dari pengemudi ojek online yang kupesan.
[Mba, saya sudah sampai.]
[Oke, saya keluar,] balasku seraya beranjak dari duduk. Langkah lebar membawaku ke luar rumah, tak lupa mengunci pintu dan pagar terlebih dahulu.
"Mba Ina?" sapa pria paruh baya samping badan motor matik yang terparkir di depan pagar.
"Betul, Pak." Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Pakai helmnya, Mba." Bapak berjaket hijau menyodorkan helm padaku. Kuraih dan langsung mengenakannya.
"Ayo, Pak. Sesuai aplikasi ya, Pak," kataku setelah menaiki motor matik bapak ojol.
Selama perjalanan aku terus mencoba menghubungi nomor ponsel Mas Ilham, tapi selalu suara operator yang terdengar. Katanya, nomor yang dituju sedang tak aktif. Jengkel? Jelas. Niat hati mau membuat kejutan, malah kekesalan yang didapat.
'Kemana kamu sih, Mas, kok ga aktif nomornya? Aku datang membawa makan siang untukmu!' Batinku meradang. Rasa kesal sekaligus khawatir benar-benar menyesakkan dada.
Apa Mas Ilham sedang makan siang? Tapi ini baru jam sebelas lewat. Atau jam makannya di majukan? Itu lebih tidak masuk akal. Pertanyaan demi pertanyaan negatif selalu berkelebat dalam benak. Aku takut, apa yang aku lakukan akan menjadi sebuah kesia-siaan.
"Mba, sudah sampai." Tanpa sadar motor yang membawaku telah sampai tujuan.
"Iya, Pak, maaf aku melamun." Perasaan kalut karena Mas Ilham tak kunjung bisa dihubungi membuatku kehilangan konsentrasi.
Aku turun dari jok belakang. "Ini, Pak. Terima kasih," kataku menyodorkan beberapa lembar uang sesuai tarif yang tertera di aplikasi.
"Sama sama, Mba." Pengemudi ojek itu pun pergi, meninggalkanku yang sedang dirundung gundah.
Aku celingukan, mencari sosok yang mungkin dikenal atau mengenalku. Benar saja, tak berselang lama wajah familiar muncul dari pintu kaca gedung depanku.
"Mas Andi." Lelaki itu adalah rekan kerja Mas Ilham. Tanganku melambai saat lelaki berbadan besar itu menoleh.
"Raina!" teriaknya semangat seraya membalas lambaian tanganku, lalu setengah berlari menujuku.
"Apa kabar, Na?" ucapnya menyodorkan tangan kanan, hendak bersalaman.
"Alhamdulillah baik, Mas." Aku mengatupkan tangan didepan dada. Bukannya mau sok suci, menolak tangan yang hendak bersalaman, tapi aku tahu sedikit aturannya, Mas Andi lelaki bukan mahram.
"Maaf." Mas Andi menarik canggung tangannya. Lalu berdehem, mengurai kecanggungan. "nyari Ilham ya, Na?" Lelaki depanku menggaruk tengkuk, terlihat sungkan.
"Iya, Mas. Dari tadi nomornya nggak aktif, apa masih meeting ya?" tebakku menghalau kecemasan.
"Pertemuannya sudah selesai dari jam sepuluh tadi kok, mungkin dia lupa HP-nya nggak diaktifkan lagi. Tapi, memang dari sehabis meeting aku belum ketemu lagi sama Ilham. Mejanya kosong. Entah pergi ke mana, nggak ada omongan apa-apa. Mungkin makan siang," ujar pria berperawakan tambun itu.
"Ohh gitu ya, Mas. Ya sudah, makasih, maaf mengganggu," kataku sambil membungkukkan sedikit badan.
"Iya, santai aja."
Aku hampir membalik badan, tapi Mas Andi mencegahnya.
"Tunggu."
"Iya, Mas, ada apa?" Keningku berkerut dalam.
"Oh iya, kenapa kemarin kamu gak ikut ke Bandung? Istriku nanyain kamu terus, loh, katanya udah lama nggak ketemu," tanya Mas Andi sambil memiringkan kepala.
Ya, memang sudah lama aku tidak bertegur sapa langsung dengan Mba Indri, hanya lewat pesan WhatsApp, itu pun jarang. Terakhir sewaktu lebaran tahun kemarin.
"Mba Indri ikut ke Lembang, Mas?" tanyaku balik. Mas Ilham Memnag sudah mengajak, tapi aku yang enggan ikut.
"Lah iya, Na. Hitung-hiung liburan sekeluarga gratis dibayarin kantor. Kemarin emang begitu konsepnya. Family gathering gitu. Pertemuannya hanya sebentar, bahas visi-misi baru kantor, selanjutnya mengecek beberapa proyek ongoing yang ada di sana.
Sisanya ya waktunya bersama keluarga, dan mempererat kekeluargaan bersama-sama karyawan lain beserta keluarganya," terang Mas Andi panjang lebar.
Selama Mas Ilham bekerja di sini --enam tahun lamanya-- belum pernah yang namanya dinas diperbolehkan membawa keluarga. Memang aku menolak ajakan Mas Ilham waktu itu, karena kukira akan menambah pengeluaran karena dibebankan pribadi. Ternyata, gratis?
Aku hanya tersenyum, bingung jawaban apa yang bisa kukatakan pada pria di hadapan.
"Kamu sudah sehat, Na? Kemarin, kata Ilham kamu sakit makanya nggak ikut."
Sakit datang bulan yang sudah mereda, tapi kujadikan alasan untuk menolak. Dan sekarang, aku menyesalinya.
"Iy-iya, Mas, kemarin sempat sakit perut, tapi sekarang sudah enggak," jawabku.
Mungkin, Mas Ilham sengaja nggak cerita karena melihatku masih lemas waktu itu, takut aku akan memaksa diri. Jelas saja, istri yang tidak menyia-nyiakan kata gratis sepertiku, walau badai datang tetap akan diterjang.
Aku terus memberikan sugesti positif pada otak, rasanya tidak adil buat Mas Ilham kalau aku terus terusan berpikiran negatif tentangnya seperti beberapa hari ini.
"Itu Ilham, Ina," katanya. Kuikuti kemana arah telunjuknya mengarah. Dua pasang manusia baru saja keluar dari mobil yang terparkir di halaman gedung. Netraku memicing, pria itu memang seperti Mas Ilham. Aku ingat betul warna kemeja yang dikenakannya pagi tadi, biru langit.
"Ilham!" Aku tersentak saat Mas Andi tiba-tiba berteriak memanggil nama suamiku. "ini, dicariin istrimu!" Telunjuknya kini mengarah padaku.
"Iya, sepertinya itu ...." Suaraku tersekat di tenggorokan, bibir mandadak kelu.
"Ilham!" Lagi, Mas Andi berteriak membuat lelaki itu menoleh ke arah kami.
"Mas Il-ham …." panggilku dengan suara lirih, nyaris seperti gumaman saat melihat wanita yang bersama suamiku. Sekilas, wanita dengan kemeja merah muda itu mirip seperti siluet dalam mimpi burukku waktu itu.
Adegan selanjutnya membuatku tak mampu lagi berkata-kata. Kala tangan wanita tinggi semampai itu bergelayut di lengan Mas Ilham.
Aku menoleh pada Mas Andi, dia pun sama terkejutnya denganku saat melihat pemandangan aneh di sana.
Wanita yang berdiri begitu dekat di samping itu, siapa mas?
"An-anu aku pamit dulu ya, Na, keburu waktu makan siang habis." Mas Andi terbata, tersenyum canggung ke arahku. Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu sudah melangkah pergi dengan cepat.
Pandanganku kini tertuju lagi pada sejoli di sana. Sekilas, netraku menangkap Mas Ilham menepis paksa tangan wanita itu dari dirinya, mendorongnya hingga wanita itu mundur beberapa langkah.
Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas telunjuk wanita itu mengarah ke wajah suamiku, terlihat kesal. Selanjutkan wanita berbadan aduhai itu menghentak kaki kanannya ke lantai, lalu berjalan masuk ke dalam gedung. Gedung yang sama tempat suamiku bekerja. Mereka pasti satu kantor.
Setelahnya, Mas Ilham berlari menujuku, lalu memeluk erat, erat sekali sampai dada ini sesak. Kesulitan mengambil napas.
Tanpa sadar air mataku jatuh dari peraduannya. Tidak ingin berpikiran macam-macam, tapi yang aku lihat barusan sangatlah menyakitkan. Tidak peduli pada fakta yang sebenarnya terjadi, hatiku sudah terlanjur nyeri.
Kubenamkan wajah di dada yang terbalut kemeja dengan warna kesukaan lelakiku. Menekannya dalam-dalam, agar tak ada orang lain yang tahu bahwa aku sedang menangis.
"Percaya padaku. Aku akan menjelaskan semuanya. Tolong, percayalah. Percayamu kekuatanku, Dek. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan wanita itu," katanya lirih sambil mengusap punggungku.
Aku lemas, rasanya ingin menghilangkan saja kesadaran ini.
Brak!
Sengaja kujatuhkan rantang di tangan, biarkan saja isinya berhamburan di jalan. Untuk apa mempertahankan, lagi pula aku dan Mas Ilham tidak akan memakannya saat suasana hati diterpa topan.
Aku harus apa? Mas Ilham bilang tidak ada hubungan apa-apa dengannya, tetapi hatiku tidak berkata demikian. Kenapa aku selalu berprasangka buruk dengan suamiku?

Book Comment (115)

  • avatar
    ShaariMuadzhar

    good

    1d

      0
  • avatar
    Syaipul Amri Nst

    aku sangat suka

    14d

      0
  • avatar
    greatkindness

    okay

    10/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters