logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Aku Juga Merasa Berat.

TAK MAU DIMADU
BAB. 6A
***
"Mas ...."
Mataku yang baru terpejam seketika terbuka saat panggilan terdengar.
"Hem …," sahutku. "kenapa, Dek?" Tanganku semakin mengeratkan pelukan di bahu Ina yang hanya tertutup selembar selimut tebal.
"Kalau …," ucapnya mengambang.
"Kenapa?" Aku penasaran.
"Kalau aku nggak bisa hamil gimana, Mas?" katanya parau. "aku … takut …." Wanita itu menenggelamkan wajahnya pada dadaku yang lebar.
Aku diam, helaan napas pun keluar dari mulut tanpa sadar. Mencari jawaban tepat yang dapat menenangkan hatinya itu tidaklah mudah. Aku mengerti perasaannya, kami sama-sama berjuang menanti sebuah keajaiban.
Bagaimana caraku mengalihkan pembicaraan? Jika Ina sudah membahas masalah ini, dia pasti akan menangis semalaman. Dan, aku tak ingin wanitaku terus-terusan dilanda kegalauan.
Inikah penyebab seharian ini dia berubah sensitif? Ah, betapa tak pekanya aku. Bukannya menghibur, malah memintanya melayani hasrat lelakiku. Bodoh.
Bila boleh jujur, ini juga berat bagiku. Aku pun mendambakan sosok malaikat kecil yang menjadi motivasi tambahan untuk mencari nafkah.
Terkadang, aku memimpikan lelahnya sepulang bekerja hilang saat bocah bertubuh mungil menyambut kedatanganku di pintu dengan tawanya yang riang.
Saat kami diberikan kepercayaan untuk memiliki rejeki luar biasa itu nantinya, kira-kira bakal mirip siapa, ya? Aku, atau lebih dominan pada ibunya? Apapun itu, aku tidak akan mempermasalahkannya, justru itu lebih baik.
Membayangkannya saja sudah membuat dadaku berdebar hebat. Aku harap, penantian ini akan berbuah manis, dan tidak akan bertambah lama. Tidak ingin menyerah, tapi rasa lelah kadang menghantui, membuat kami berhenti dan menepi di tepian lembah.
Iri muncul saat rekan-rekan sekantorku bercerita banyak tentang anak-anak mereka. Aku rasa itu wajar. Semua rekanku yang seumuran sudah memiliki momongan. Anton pun yang menikah dua tahun lalu, istrinya sedang hamil tujuh bulan, dua bulan lagi menuju proses persalinan. Betapa bahagia dan beruntungnya dia.
Segala ikhtiar sudah kami jalani, konsultasi ke dokter, menjalani serangkaian pemeriksaan, obat herbal, pengobatan alternatif, Sampai pijat untuk menyuburkan peranakan pun sudah kita lakukan dan hasilnya bagus, siap untuk membuahi. Namun, sampai saat ini belum juga muncul tanda-tanda hasil pembuahan.
Apa yang salah dari kami? Bukan. Apakah ini salahku? Mungkinkah ini serangkaian karma atas kekhilafan masalaluku?
Kenapa aku jadi gampang menyerah begini, sih? Mau sekeras apapun kami berusaha, jika Allah belum mengijinkan, semuanya tidak akan terjadi. Lebih baik pasrah menerima segala kondisi, dari pada banyak bertanya dan berujung berprasangka buruk pada-Nya.
"Sabar, Dek, Allah pasti siapkan yang terbalik untuk kita." Hanya itu yang mampu aku katakan sekarang.
"Tapi kapan, Mas?" Wanitaku mulai terisak.
Netraku melihat langit-langit kamar, menerawang sebuah jawaban penenang kegundahan hati, tapi percuma, manusia, siapapun itu tidak akan ada yang tahu rahasia dari Sang Pencipta.
"Allah tahu perjuangan kita, Dek." Kuusap puncak kepalanya. "InsyaAllah, kalau kita ikhlas menjalani cobaan ini, akan ada kebahagiaan berlimpah di kemudian hari." Lalu meninggalkan kecupan di sana.
Aku yakin apapun yang aku katakan tidak akan mampu membuatnya berhenti menangis, akan tetapi paling tidak bisa membuatnya sadar bahwa dia tidak sendirian. Ada aku, suami yang selalu ada di sampingnya. Lelaki perhatian yang bisa diandalkan. Pria yang bisa memberikannya pelukan dan curahan kasih sayang.
"Tidur, Mas. Katanya besok ada meeting dan harus bangun pagi, 'kan," katanya setelah menangis cukup lama. Waktu pun sudah menunjuk hampir tengah malam.
"Iya, Dek, ini juga sudah ngantuk, ternyata menafkahi istri menguras banyak tenaga, tapi bikin nagih, ini aja pengin nambah," selorohku sambil tersenyum lebar. Berharap dapat membuatnya tertawa.
Dia mendongak, sepasang netranya mengunciku. "Kamu, Mas!" Sebuah cubitan mendarat di perutku. Lumayan sakit, tapi itu membuatku senang karena berhasil membuat wanita dalam dekapan tersenyum lebar.
***
"Dek, jam berapa ini?" Mataku mengerjap beberapa kali, susah payah menahan perih yang menusuk indera penglihatan.
"Setengah enam, Mas," ucap istriku santai.
Seketika mataku terbuka lebar. "Astaghfirullah, aku kesiangan, Dek." Langsung saja aku berlari menuju kamar mandi. Salat dua rakaat pun belum terlaksana.
"Sudah aku bangunin dari setengah lima loh, tapi, Mas Ilham hanya melek kucek-kucek mata, lalu merem lagi." Terdengar tawa riuh istriku di luar sana.
Suami lagi panik malah diketawain, dasar istriku itu terkadang suka nyebelin, tapi tak jarang ngegemesin juga sih. Tuh 'kan jadi ngga bisa marah.
"Nggak sarapan dulu, Mas," pekik Ina saat aku keluar rumah dengan tergesa. Aku menoleh sekilas, wanita itu sedang berjalan menujuku dari arah dapur.
"Sudah telat aku, Dek. Nanti dimarahin Bu Retno. Haduh," kataku sambil mengeluarkan motor dari garasi.
Jam bulat di tanganku sudah menunjuk angka enam pagi, jarak waktu dari rumah sampai kantor cukup lima belas menit. Beruntungnya berangkat pagi tak pernah terjebak macet.
Biarpun rapat di mulai jam tujuh pagi, tapi bahan-bahan untuk meeting belum dilengkapi. Alhamdulillah hanya tinggal print sih, tapi harus buru-buru juga biar bisa bernapas lega. Harus ngebut juga.
"Aku berangkat, Dek. Assalamualaikum," teriakku dari halaman, lalu melajukan motor keluar pagar perumahan. Tersenyum sekilas pada wanita yang tengah melihatku dari ambang pintu.
"Lah, aku belum cium tangan kok sudah bablas aja kamu, Mas. Ini bekalmu ketinggalan," pekau Ina dari teras. Aku bisa mendengarnya tapi sengaja tak kuhiraukan. Hanya membalasnya dengan lambaian tangan.
"Wa'alaikumsallam, Mas." Meskipun samar, tapi aku masih mendengar dia membalas salamku.
***
"Alhamdulillah meeting berjalan dengan lancar," kataku mengelus dada, lega sekali rasanya. Bersyukur tidak ada kesalahan, meskipun dipersiapkan dengan tergesa-gesa.
"Mas Ilham." Terdengar suara wanita yang ingin sekali kuhindari di kantor ini memanggil. Asisten barunya Bu Retno. Siapa lagi kalau bukan Monita.
Aku berbalik dengan malas. "Iya, Bu Nita, ada apa ya?" tanyaku sambil menatap matanya dengan alis saling bertaut.
"Kok, ibu sih, aku masih sendiri loh, Mas," terangnya seraya mengerlingkan sebelah mata.
Aku nggak tanya!
"Terlepas dari status, Bu Nita di luar kantor, tetap saja di dalam lingkungan kantor ini, Bu Nita adalah atasan saya. Sudah sewajarnya saya menghormati, Anda dengan memanggil Ibu," kataku tegas.
"Tapi, di luar kantor panggil Nita aja ya, Mas," pintanya, tanpa segan merangkul lenganku. Tante dan ponakan sama saja, ganjen.
"Insya Allah, jika tanpa sengaja kita bertemu di luar kantor!" Aku kembali menegaskan. Namun, aku harus bisa menghindari momen ketidaksengajaan itu.
"Maaf, saya harus pergi." Menepis tangannya yang merangkul lengan. Ingin sekali mengakhiri percakapan tidak berguna ini.
"Permisi," pamitku, lalu berjalan menuju ruanganku.
Tanpa kuduga sama sekali, wanita itu mengikuti ke mana langkahku pergi.
"Gimana, Mas? Sudah dipertimbangkan penawaranku di Bandung kemarin?" Aku tertegun, seketika menghentikan langkah saat wanita dengan kemeja merah muda itu mengajukan pertanyaan yang mustahil aku jawab.
Ya Allah kuatkan lah pondasi rumah tanggaku.

Book Comment (115)

  • avatar
    ShaariMuadzhar

    good

    2d

      0
  • avatar
    Syaipul Amri Nst

    aku sangat suka

    14d

      0
  • avatar
    greatkindness

    okay

    10/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters