logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Romantisme.

TAK MAU DIMADU
BAB. 5
***
"Ketemu Bu Minto nggak, Mas?" Pertanyaan ulang dari Ina membuatku kesusahan menelan saliva. Salah tingkah. Padahal aku nggak tahu apa yang istri tetangga sebelah itu katakan padanya, tapi rasanya seperti kepergok selingkuh. Ada was-was yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh.
"Nggak, Dek. Kenapa?"Aku mengangkat wajah, melihatnya dengan kening berkerut dalam. Semoga dia tidak menyadari kegugupan yang mendera.
"Tadi, aku ke rumah Bu Minto, terus dia tanya 'kemarin suamimu cerita sesuatu nggak' gitu Mas." Hampir saja tawaku pecah melihatnya menirukan gaya bicara Bu Minto. Lucu, bibirnya miring-miring persis tokoh tukang nyinyir di sinetron yang biasa Ina tonton.
Aku geleng-geleng kepala sambil mengambil dada ayam, lalu menuju sambal. Sambal yang dibuat istriku benar-benar menggiurkan, air liurku seperti ingin keluar dari tempatnya.
"Memangnya ada apa, Mas?"
Aku terbatuk-batuk mendengar pertanyaan yang terus terlontar dari bibir tipis itu. Tersedak. Sambal yang Ina buat lebih pedas dari biasanya.
"Lo-loh, cerita apa sih, Dek?" tanyaku gelagapan terburu-buru menenggak minuman di sebelah piring hingga habis tak tersisa. Mendingan, tapi bibir masih megap-megap, hidung dan netra mengeluarkan air beningnya. Dahsyatnya sambal terasi ini.
"Entahlah, Mas, Bu Minto nggak cerita apa-apa." Wajahnya lesu, lalu mendudukan diri di kursi depanku. Mulai menyendok nasi beserta lauknya.
Aku tak tahu apa yang istrinya Pak Minto katakan pada wanitaku, tapi melihat raut wajahnya yang terlipat, sepertinya itu cukup mengganggu benaknya.
Aku membuang napas panjang, memintanya untuk bergegas menghabiskan makanan dalam piringnya. Sinetron yang biasa ditonton sebentar lagi mulai. Benar saja, dia kembali cerah, senyum pun terkembang di sana. Begitulah istriku, suasana hatinya mudah berubah-ubah.
Seusai makan, aku langsung menuju kamar, membiarkan Ina membereskan meja seorang diri. Tidak biasanya aku begini. Entahlah, badan rasanya letih sekali, tulang remuk, padahal aku tidak melakukan banyak hal kemarin. Sepertinya staminaku menurun akhir-akhir ini karena jarang olahraga, atau usia yang semakin menua membuatku tak bisa melakukan banyak hal?
***
"Mas, bangun, waktunya salat ashar."
Seketika aku membuka mata, melihat wanita pemilik suara merdu itu tengah duduk di depan meja riasnya sambil menyisir rambut hitam legam sepunggung. Buliran air menetes dari ujung-ujungnya.
"Jam berapa, Dek?" tanyaku sudah duduk dipinggiran ranjang. Netra ini masih berat, padahal setelah salat Dzuhur tadi aku terlelap lagi. Panggilan untuk makan siang pun hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Dan baru bangun di sore harinya. Entah apa yang merasukiku, rasa kantuk terus-terusan menggantung di pelupuk mata.
"Jam empat, Mas," jawabnya masih sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju kamar mandi dengan handuk melilit leher.
Tidak memakan waktu lama, aku sudah selesai membersihkan diri. Tergesa-gesa meraih perlengkapan salat di atas karpet pojok kamar, sebelah jendela, tak ingin kehilangan waktu salat empat rakaat yang hanya tersisa sedikit. Memakainya, dan mulai menghadap Ilahi.
Setelahnya, aku menuju dapur. Berjam-jam tidur nyatanya tidak membuat perut terus-terusan merasa kenyang. Aku kelaparan, perut pun sudah mengumandangkan protes meminta jatah makanan untuk dicerna.
"Masak apa, Dek?" Aku melingkarkan tangan pada pinggang istriku yang tengah berdiri di depan kompor.
Dia terlonjak kaget, tak berselang lama terkekeh pelan. "Kamu itu, Mas, sukanya ngagetin." Sebuah tepukan mendarat di tanganku. "sayur capcay," katanya sambil mengaduk-aduk campuran berbagai sayuran dalam wajan menggunakan spatula.
"Minggir, Mas, aku susah nih. Nanti tangan kamu kena kuping wajan," pintanya saat aku urung melepas pelukan.
Aku tersenyum, malah semakin mengeratkan lingkaran tanganku di sana. Tak ingin menyia-nyiakan keromantisan yang tercipta tanpa sengaja.
Ina menggeliat saat wajah ini semakin dekat dengan ceruk lehernya, menghirup aromanya dalam-dalam. Aku rindu wangi ini. Bukan hanya itu, aku pun rindu keintiman ini. Baru satu Minggu tidak menjamah, rasanya seperti berbulan-bulan tidak memberinya nafkah.
Kapan haid-nya selesai? Aku sudah tak sabar ingin mereguk madu bersamanya.
Ina manarik napas panjang, lalu berbalik menghadapku. Aku membeku saat dia memberikan kecupan singkat di bibir ini. Jujur apa yang dilakukannya menantang sisi kelelakianku.
Aku mau lagi, lebih lama dan hangat dari pada ini.
"Mas …," panggilnya membuatku mengerjapkan mata. Suara merdunya selalu saja membuatku terlena.
"Mas!" pekiknya tertahan seraya berpaling saat aku memajukan wajah. Ditolak, membuat hati ini mencelos seketika. Tidak biasanya dia begini, atau malahan aku yang terlalu digelapkan nafsu?
Wanita berdaster biru tua itu berdehem, lalu membelakangiku. Mematikan kompor.
"Sudah matang, Mas. Kita makan dulu, ya. Kamu pasti sudah lapar."
Melihatnya salah tingkah dengan pipi bersemu merah, aku tahu dia juga menginginkan lebih. Akan tetapi, kenapa dia menolak saat aku semakin mendekat? Tak ingin berprasangka buruk, tapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba membuatku takut kebosanan telah melanda.
Aku terus mengamati wanita yang telah membersamaiku lima tahun ini saat menyajikan menu ke meja. Mimpi buruk itu perlahan-lahan merubahnya. Aku bisa pastikan, tidak ada wanita lain dalam hati ini, tapi bagaimana caraku meyakinkannya. Sungguh, aku tak ingin kehilangannya.
"Mas Ilham," panggilan Ina membawaku kembali dari lamunan. Kaki berderap menujunya. Lantas duduk di bangku biasanya, dia pun sama.
Wanita itu meraih piringku, mengisinya dengan nasi. Makan malam kali ini menunya sama dengan sarapan tadi. Bertambahnya capcay sebagai pelengkap sayur. Aku bukan pemilih makanan, apapun yang disajikan istriku selalu kusantap tanpa banyak penawaran. Namun, sore ini berbeda.
"Maaf, Mas, menunya sama seperti sarapan," katanya membuatku berhenti menyuap. Ini bukan pertama kalinya menu yang dihidangkan sama, tapi ini pertama kalinya Ina kehilangan kepercayaan dirinya.
Wanita berwajah teduh itu menunduk dalam, memainkan nasi dalam piringnya. Selera makanku hilang seketika, rasa lapar pun pergi entah ke mana. Entahlah, hati ini mendadak hampa.
"Kamu kenapa? Ada masalah? Mas ada salah ya?" tanyaku hati-hati, menggeser piring yang masih penuh isinya ke samping.
Saat terangkat wajahnya langsung memucat. "Mas Ilham mau makan pakai apa? Telur atau mi? Adek buatkan ya," katanya gugup.
Aku turut bangkit saat Ina beranjak dari duduknya. "Kamu kenapa, Dek? Kalau mas salah, mas minta maaf, ya." Aku menarik tangannya, mencegahnya pergi.
"Ak-aku baik-baik aja, Mas. Dan, kamu nggak salah apa-apa." Senyumnya lebar. Senyuman palsu.
"Aku nggak mau menu lain. Aku mau yang ada aja." Aku kembali duduk di kursiku. Menarik piring tadi ke tempatnya. Menyantapnya lagi meskipun hati merasa enggan.
Istriku pun mengikuti. Makan bersama yang penuh keheningan, dan prasangka dalam benak.
***
"Kamu sudah salat, Dek?" tanyaku bersandar di bingkai pintu kamar, pulang dari salat Maghrib yang dilanjutkan sampai isya di masjid tak jauh dari rumah.
.
Netraku terpaku pada wanita yang tengah membuka mukena yang dipakainya. Semburat senyum malu-malu terlukis jelas di wajah itu.
"Iya, Mas," jawabnya sambil melipat kain putih itu, dan memasukkannya ke dalam sajadah.
Dengan senyum terkembang, kudekati wanita yang selama ini menjadi teman tidurku. Hasrat yang sudah satu minggu ini tertahan mendadak timbul dan ingin segera tersalurkan.
Kudekap erat badan berisinya, membelai mesra rambut panjangnya yang tergerai bebas. Aku tak mampu membendung lonjakan gairah dalam dada.
"Mas, ini baru jam delapan malam."
Tidak kuhiraukan ucapannya. Fantasi manisnya madu yang bakal kusesap telah merasuki otak. Kuciumi lembut ceruk lehernya, cukup lama aku bermain disana hingga napas berubah semakin memburu dan meninggalkan beberapa tanda kepemilikan. Dia milikku, selamanya akan terus seperti itu.
Ciumanku merambat sampai telinga. Membisikan Syair cinta diiringi hembusan napas yang kian tak beraturan, menerpanya syahdu. Membuat si empunya melenguh, meremas kasar rambut ini. Hasrat ini sudah memuncak hingga ubun-ubun.
Kutuntun wanita itu hingga tepian ranjang. Merebahkannya di atas peraduan, lalu menguncinya dalam kukungan.
"Aku mencintaimu." Kecupanku mendarat di seluruh wajahnya. Gejolak yang membubung ini benar-benar membuatku kelabakan.
Bersyukurnya, aku tidak lupa melantunkan doa sebelum akal sehat ini hilang sepenuhnya dari diriku. Meminta berkat kepada Allah agar syaitan tidak ikut andil dalam hubungan ini. Kelak, jika kami mendapatkan titipan bakal menjadi anak yang sholeh dan shalihah.
Ina memejamkan netranya saat hembusan napasku menyapu puncak kepalanya.
"Aku mencintaimu, Dek," ulangku lirih, diakhiri dengan kecupan dalam pada keningnya.
Bismillahirrahmanirrahim.

Book Comment (115)

  • avatar
    ShaariMuadzhar

    good

    2d

      0
  • avatar
    Syaipul Amri Nst

    aku sangat suka

    14d

      0
  • avatar
    greatkindness

    okay

    10/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters