logo
logo-text

Download this book within the app

Part 7

Tarno terbangun saat matahari sudah tinggi. Saat melihat ponselnya untuk mengecek waktu ternyata sudah pukul enam pagi. Dinda juga sudah tidak ada di sampingnya. Tarno segera keluar kamar dan berwudhu. Setelah Shalat subuh ia mencari putrinya yang ternyata sedang menonton televisi bersama Emak dan Ratih.
Begitu melihat Tarno, Dinda langsung tersenyum lebar. “Ayah sudah bangun?” tanya Dinda dengan bersemangat.
“Iya. Dinda sudah sarapan?” Tarno duduk di samping Ratih yang sedang makan keripik singkong.
“Sudah. Nenek masak soto ayam loh. Enak banget,” jawab Dinda sambil mengacungkan jempolnya.
“Makanlah. Emak masak soto ayam kesukaanmu,” kata Emak.
“Iya, Mak.” Tarno berlalu ke dapur untuk makan. Meskipun dia tidak berselera untuk makan namun perutnya tidak bisa dibohongi dan butuh diisi sekarang juga.
Melihat soto ayam buatan Emak, selera makannya langsung terbit. Segera diambilnya sepiring nasi dan irisan tauge serta kecambah mentah banyak-banyak. Lalu ditambahinya dengan irisan tipis daging ayam dan terakhir disiram dengan kuah kaldu yang masih panas. Tak perlu waktu lama bagi Tarno untuk menghabiskan sepiring penuh soto ayam buatan emak yang rasanya tidak berubah sejak Tarno kecil.
“Tambah lagi, No,” kata Emak yang ternyata ada di belakangnya saat melihat piring Tarno sudah kosong.
“Sudah, Mak. Aku sudah kenyang.” Tarno mengelus-elus perutnya dengan pelan.
“Istirahatlah. Kamu pasti masih lelah setelah perjalanan jauh,” kata emak yang sudah duduk di samping Tarno.
“Siang ini aku mau mengantar Dinda pulang ke rumah Ibunya. Sekalian ada hal penting yang ingin ia bicarakan,” kata Tarno.
“Kamu yakin akan bercerai dengan Susanti? Sudah dipikirkan dengan sungguh-sungguh dan tidak akan menyesal nanti?”
“Iya, Mak. Aku sudah yakin. Untuk apa mempertahankan wanita yang tidak setia. Lagi pula perceraian ini adalah permintaannya sendiri.”
“Baiklah. Emak percaya padamu. Emak hanya takut kalau kamu menyesal karena sudah mengambil keputusan tanpa berpikir panjang.” Emak menepuk pelan bahu Tarno, “Tidurlah lagi. Nanti Emak bangunkan. Jam berapa kamu berangkat?”
“Sekitar jam sebelas, Mak.”
“Tidurlah lagi. Nanti emak bangunkan jam setengah sebelas. Masih ada waktu dua jam lagi.”
Tarno hanya mengangguk dan berlalu menuju kamar. Dia segera merebahkan badannya ke kasur. Kali ini ia bisa langsung tertidur tanpa menunggu lama, tidak seperti semalam.

***

Emak membangunkan Tarno tepat pukul setengah sebelas. Setelah bangun, Tarno segera mandi dan bersiap-siap untuk mengantarkan Dinda pulang. Dinda terlihat bersedih saat diberitahu akan diantarkan pulang. Ia masih ingin menginap lebih lama dan bermain dengan Dio. Tarno mengatakan akan mengajaknya kesini lagi saat sekolahnya sudah libur. Dinda sangat senang saat mendengarnya dan segera melupakan kesedihannya.
Tarno segera berangkat dengan mengendarai motor milik Ratih. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam akhirnya ia tiba
Mendengar suara motor berhenti di depan rumah, Susanti segera keluar dan menyambut Dinda dengan tersenyum.
Tarno segera masuk ke rumah mengikuti Dinda dan Susanti. Wanita yang akan menjadi mantan istrinya itu menyuruh Dinda untuk makan dulu. Dinda menurut dan segera ke dapur untuk makan. Sementara Tarno dan Susanti di ruang tamu bersiap dengan pembicaraan mereka. Wajah keduanya tampak serius sekarang. Tidak ada senyum yang terlihat dari wajah keduanya.
“Aku ingin membahas masalah perceraian kita nanti. Agar prosesnya tidak terlalu lama kita harus membuat kesepakatan terlebih dahulu. Aku tidak ingin perutku sudah besar saat menikah nanti,” kata Susanti.
Tarno hanya mengangguk. Hatinya terlalu sakit mendengar pernyataan Susanti tentang pernikahannya dengan Joko.
“Baiklah. Pertama tentang anak-anak. Mereka akan ikut denganku. Aku ibunya dan yang pasti lebih tahu tentang mereka. Karena aku yang merawat dan membesarkan mereka sendiri sejak kecil.”
Tarno hanya diam. Menyanggah pun percuma. Dia hafal dengan watak Susanti yang keras dan selalu merasa paling benar sendiri. Dia akan mendengarkan semua perkataan Susanti terlebih dahulu sebelum menyatakan pendapatnya.
“Lalu masalah rumah ini. Aku yang akan menempatinya karena anak-anak akan ikut denganku. Jadi kita harus sepakat terlebih dahulu tentang itu. Bagaimana kamu setuju kan?” tanya Susanti.
Tarno bersiap untuk menyampaikan pendapatnya dan menarik nafas pelan sebelum mengatakannya.
“Masalah anak-anak mau ikut siapa kenapa kita tidak bertanya pada mereka langsung mau ikut dengan siapa. Kita tidak bisa memaksakan kehendak mereka harus ikut siapa, biar mereka memilih sendiri.”
“Halah kamu tahu apa soal anak-anak, Mas. Selama ini aku yang merawat mereka sejak kecil selama kamu di luar negeri. Jadi mereka pasti memilih Aku, ibunya. Lebih baik kita putuskan sejak awal daripada nanti kamu sakit hati karena anak-anak memilih ikut denganku,” ketus Susanti.
Tarno diam saja tidak menyahut. Dia paham jika membalas perkataannya, wanita itu akan membalasnya lagi dengan seribu perkataan yang lebih menyakitkan. Karena itu sejak dulu, Tarno lebih memilih untuk diam dan mengalah daripada berdebat yang tidak ada ujungnya karena Susanti tipe orang yang tidak pernah mau mengalah.
“Lalu masalah rumah tadi bagaimana? Kamu setuju kan kalau rumah ini akan kutempati bersama anak-anak?” tanya Susanti.
“Kita lihat nanti anak-anak akan memilih ikut siapa,” jawab Tarno singkat.
“Kamu itu kok ngeyel Mas. Anak-anak sudah pasti akan ikut denganku, Ibunya, karena selama ini Aku yang merawat dan membesarkan mereka,” jawab Susanti geram.
“Masalah rumah ini akan kita putuskan setelah mendengar jawaban dari anak-anak mau ikut siapa,” kata Tarno tegas. Ia berusaha menahan amarahnya agar tidak terpancing dengan perkataan pedas yang dilontarkan oleh Susanti dari tadi.
“Baiklah. Kita tanya anak-anak sekarang. Biar lebih cepat,” tantang Susanti.
Tarno mengangguk menyetujui. Ia tidak ingin lama-lama berdebat dengan Susanti karena wanita itu pasti tidak mau kalah. Jika diteruskan perdebatan ini akan berlangsung lama dan akhirnya kata-kata pedas dan kasar akan keluar dari mulutnya tanpa henti sebelum ia menang.
Susanti sangat yakin anak-anak akan memilih ikut dengannya karena selama ini dia yang merawat dan membesarkan mereka selama ditinggal Tarno ke luar negeri.
“Dinda, kemari Nak,” panggil Susanti.
Dinda yang baru saja selesai makan segera datang mendengar panggilan ibunya.
“Bangunkan Kak Dila di kamar dan ajak kesini sekarang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” perintah Susanti pada Dinda.
Dinda menurut dan segera berjalan menuju kamar kakaknya. Dibangunkannya Dila sesuai perintah ibunya.
“Kak, bangun. Dipanggil ibu ke ruang tamu. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan.” Dinda menggoyangkan tubuh kakaknya dengan pelan sambil berkata pelan agar kakaknya tidak kaget.
Dila menggerakkan tubuhnya perlahan saat dibangunkan oleh Dinda. Gadis kecil itu duduk termangu dan mengucek matanya sebagai upaya untuk menyadarkan diri. Matanya masih berat namun dipaksanya untuk bangun. Sementara Dinda dengan sabar menunggu kakaknya bangun disisinya.
Setelah beberapa saat, Dila sudah sadar lalu turun dari atas ranjang. Gadis kecil itu kini berjalan ke ruang tamu diikuti adiknya, Dinda yang berjalan di belakangnya. Begitu sampai di ruang tamu dan melihat ayahnya, Dila menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan ayahnya. Diciuminya tangan ayahnya dengan takzim saat ayahnya menyodorkan tangannya.
Tarno merasa trenyuh melihat tingkah laku putrinya yang bersikap sopan padanya dan menghormatinya. Ia mengakui, Susanti adalah seorang ibu yang baik karena telah berhasil mendidik kedua putrinya menjadi anak yang baik dan sopan terhadap orang tua. Sayang sekali ia telah mengkhianatinya dan berselingkuh dengan Joko, sahabatnya sendiri.
Setelah kedua putrinya duduk di kursi sofa, Susanti memulai pembicaraan. Tarno sengaja diam dan memberikan Susanti untuk menjelaskan masalah perceraian mereka kepada anak-anak. Bagaimana pun Susanti yang lebih dekat dengan kedua putrinya selama dia di luar negeri.
“Dila dan Dinda, ada hal penting yang harus Ibu beritahukan kepada kalian sekarang. Ini menyangkut masa depan kita bersama.” Susanti memandang kedua putrinya bergantian sebelum melanjutkan penjelasannya. “Jadi Ayah dan Ibu akan berpisah. Kami tidak akan tinggal bersama lagi setelah ini. Kalian bisa memilih mau ikut dengan Ayah atau Ibu.”
Susanti terdiam sejenak memandang kedua putrinya. “Jadi Ibu sekarang mau bertanya pada kalian. Apakah mau ikut dengan Ayah atau Ibu?”
Tarno cemas, menunggu jawaban kedua putrinya. Dia tidak mau berharap banyak anak-anak akan ikut dengannya. Daripada kecewa nantinya. Seperti kata Susanti, ia lebih dekat dengan anak-anak daripada dengannya. Jadi dia tidak mau berharap muluk-muluk. Bisa bertemu langsung minimal seminggu sekali sudah cukup baginya.

Book Comment (168)

  • avatar
    NufailAzlan

    enak banget ceritanya

    8d

      0
  • avatar
    SyaziraMohd

    👍🏻👍🏻👍🏻

    13/04

      0
  • avatar
    Dini Dwi Fatloviadoni

    GK aeru

    06/03/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters