logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Mengapa Berkelit dengan Sakitmu, Mas?

Kulihat Ibuk memasuki bangsal dengan membawa termos dan rantang. Juga beberapa bungkusan. Mataku basah.
Maafkan aku, Bu! Belum bisa berbakti. Meski Engkau bukan ibu kandungku sendiri, tapi kasih sayangmu melebihi kasih sayang ibu kandungku sendiri.
“Ci, Lina mana?”
“Lina baru kerja, shif pagi Bu. Katanya mau izin nganter Suci pulang kalo ada yang bisa menggantikannya sebentar.”
“Maaf ya Ci. Jono ndak bisa bantu. Soalnya vertigonya kambuh. Tahu sendiri kan kalo vertigo kambuh itu seperti apa. Mungkin masih kaget tiba-tiba di-PHK. Padahal dia karyawan yang sering melebihi target penjualan tiap bulannya, Tapi kok ya tidak dipertahankan atasannya.”
Aku hanya tersenyum masam. Sungkan untuk menanggapi cerita Ibuk. Toh sebernarnya ibu juga sudah tahu sifat Mas Jono dari sejak kecil.
“Ya udah Ci, Ibuk pamit dulu. Kasihan Jono, tadi kutinggal masih tidur. Kalo bangun pasti butuh Ibuk karena belum bisa bangun dari tempat tidur, katanya kepalanya terasa berputar-putar.”
“Iya, Buk. Suci paham. Hati-hati di jalan. Makasih ya Buk?”
Kucium tangannya. Ibuk membalas dengan pelukan erat. Ada basah di kedua matanya.
Aku percaya vertigo itu bisa membuat orang pusing berputar-putar atau merasa berada dalam sebuah pusaran yang bergoyang. Namun, mas Jono sering menggunakan sakitnya itu untuk sesuatu yang kurang baik.
Setiap pada kesulitan atau masalah yang berat, mas Jono selalu menghindar dan berasalan kambuh vertigonya. Sebaliknya, kalo ada masalah yang rumit, aku selalu dipaksanya untuk memilih atau mengatasinya.
Tekanan yang dilakukan mas Jono membuatku depresi dan mengalami vertigo. Masih selalu kuingat ketika kambuh vertigoku mas Jono ketus mengomentari keluhanku.
“Ah cuma serangan beberapa menit saja. Entar kalo dah lewat kan ya sehat to? Udah nggak usah manja dan alasan vertigo terus!”
Kini Allah menegurmu mas. kamu pun mengalami apa yang kualami. Dan mungkin lebih parah, tapi mengapa sakit yang seharusnya menyadarkanmu, justru kau gunakan untuk berkelit dan berpura-pura sakit?”
****
Kelumpuhan Rara menjadi ujian tersendiri bagiku. Aku tak mau menganggapnya beban hidup. Bukankah di luar sana banyak perempuan yang mendambakan hadirnya seorang anak?
Keadaan Rara yang lumpuh ternyata juga mengubah perangainya. Rara jadi mudah tersinggung. Telat sedikit marah.
Seminggu aku mencoba bertahan di rumah. Tanpa pernah sedikit pun ingin menghubungi mas Jono.
Bagiku ada dan tiadanya mas Jono tidak berpengaruh lagi.
Justru ketika mas Jono tidak ada hatiku menjadi lebih tenang. Pengeluaran harian pun dapat kutekan. Aku harus berhemat.
Hari ini adalah jadwal kontrol Rara ke fisioterapi. Aku terpaksa harus menggendong Rara di punggungku.
Sebenarnya, Lina menyarankan untuk pindah jadwal saja sambil nunggu dapat kursi roda.
Sudah seharian Lina mencarikan kursi roda seken di pasar loak. Tapi belum dapat juga.
Alhamdulillah tadi malam Lina datang ke rumah memberitahukan sudah dapat kursi roda dari temannya di luar kota. Kursi rodanya baru sampai dua hari lagi karena dikirim lewat jasa kurir.
Dengan halus aku menolak saran Lina. Aku juga menolak batuannya untuk memesan taksi online. Aku nggak enak merepoti Lina terus.
Rencananya aku berangkat naik angkutan kota. Aku berpikir jika ditunda kasihan Rara. Aku berangkat pukul 07.30 untuk menghindari barengan dengan anak sekolah.
Aku menunggu di pinggir jalan.
Setengah jam berlalu. Tak satu pun angkot mau berhenti. Mungkin sudah sepuluh kali lebih aku menyetop angkot, tapi sopir seakan tak mau menghentikan laju mobilnya. Padahal ada beberapa kursi masih kosong kulihat.
Terasa pegal punggung dan pundakku. Berdiri menggendong Rara seberat 18 kg. Tak ada halte yang dekat dengan tempatku berdiri. Bila terus menunggu aku bisa kesiangan.
Kuputuskan berjalan sekuat tenagaku, meskipun terasa pegal kaki ini melangkah. Aku hanya berharap Rara tetap diam tidak rewel agar diriku tidak panik menenangkan Rara.
Pertama melangkah, kakiku kuat. Namun lama-lama kakiku terasa pegal. Badanku juga berkeringat banyak. Mungkin karena aku jarang berjalan sambil membawa beban berat.
Lama-lama kakiku terasa goyah. Tenagaku seakan habis. Kudengar beberapa kali suara klakson mobil mengingatkanku untuk tetap di pinggir jalan. Tetiba ada mobil sedan berhenti tepat di depanku. Aku berhenti sebentar, lalu hendak melangkah ketika ada suara yang memanggil namaku.
“Bu Suci ya? Ayo Buk ikut naik mobil!”
Aku melihat sekilas orang yang duduk di depan kemudi. Aku rasa tidak mengenalnya. Wajahnya tertutup kaca mata warna coklat dan masker kesehatan.
“Maaf, saya ....”
“Udah Buk, masuk! Lupa ya? Saya Himawan. Dokter yang merawat Rara kemarin.”
Dokter itu lalu keluar dari mobilnya. Dilepasnya kaca mata dan maskernya. Senyumnya pun mengembang. Santun mempersilakan saya untuk masuk mobilnya lagi.
Beliau buka pintu belakang dan berusaha melepas gendonganku.
Aku heran dengan Rara. Mengapa Rara tidak berontak digendong dokter Himawan?
Beberapa menit aku masih terdiam dalam heran.
“Loh, kok malah melamun, ayo Bu Suci!”
“Eh … iya Dok. Maafkan saya. Makasih Dok.”
Aku terpaksa menuruti ajakan dokter Himawan karena sungkan. Lagian, Rara juga sudah di dalam mobil. Rara sepertinya senang duduk di dalam mobil mewah itu.
Mobil yang bersih dan wangi.
Aku jadi teringat, terakhir kali Rara naik mobil saat pulang menjenguk panti asuhan dulu. Sudah tiga tahun lebih Rara tidak pernah keluar rumah pergi jalan-jalan bertamasya.
Sejujurnya, sebenarnya aku juga merasa bersyukur bisa naik mobil. Rasanya sudah tidak kuat berjalan sambil menggendong Rara.
Beberapa saat suasana hening. Hanya beberapa pandanganku dengan dokter Himawan bersitatap. Aku gugup.
Tapi Dokter Himawan justru tersenyum manis. Aku sadar dengan diriku. Kucoba menahan halu yang tetiba merasuki pikiranku.
“Sudah tahu ruang fisioterapinya Bu Suci?”
“Belum Dok.”
“Ruangnya ada di lantai 4. Bisa naik lif atau eskalator. Tapi lebih aman naik lif. Nanti bareng saja naik Lif khusus, lebih sepi dan tidak antri."
“Tapi, Dok?
“Gapapa Bu Suci. Hari ini saya tidak ada jadwal poli, hanya ada rapat sebentar dengan direktur. Insya Allah sebelum dhuhur selesai.”
“Apa sampai siang Dok terapinya?”
“Biasanya kalo hari senin pasien pasti banyak. Antrian nomor bisa lebih 50-an."
“Wah, lama juga ya Dok.”
“Ya begitulah. Nanti kalo sudah tahu jadwal hari yang kosong bisa ganti jadwal kok”
Makasih Dok, atas bantuannya.”
Aku merasa lega dapat mengobrol dengan dokter Himawan. Rasanya seperti plong. Dan entah mengapa saat dokter Himawan meminta nomor ponselku, aku tak kuasa untuk menolaknya.
Sesampainya di rumah sakit aku melihat Lina. Rupanya Lina sudah menunggu dengan kursi roda dari rumah sakit yang bisa digunakan pasien selama periksa.
Aku melambaikan tangan. Tapi Lina tidak melihatku, pandangannya fokus ke mobil yang berhenti di titik yang sudah ditentukan.
“Kamu kenal Lina?”
“Eh, iya Dok. Lina sudah saya anggap adik sendiri. Dulu saya pernah hidup bareng dalam panti asuhan al Huda.”
Sebenarnya saya ingin menanyakan kok dokter Himawan bisa kenal Lina. Tapi sepertinya tidak sopan. Bukankah dulu yang ngurus Rara saat diriku pingsan juga Lina. Mungkin waktu itu dokter Himawan tahu Lina. Tapi mengapa dulu ketika visit seakan dokter Himawan tidak mengenali Lina ya?

Book Comment (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    28d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters