logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Makan Malam

Hayu memakai dress itu dengan terpaksa. Sebenarnya, dia kurang suka dengan model pakaian seperti ini. Mamanya yang membelikan di butik tadi siang. Katanya, ada kenalan papa yang akan datang makan malam di rumah mereka.
Setelah mematut diri di depan cermin berulang kali, akhirnya Hayu menatap sang mama dengan lekat. Done, dia memang cantik.
Sarah tersenyum senang melihat penampilan putrinya. Sedari tadi dia sibuk mendandani dengan berbagai macam kosmetik. Hayu harus tampil paripurna malam ini, karena tamu yang datang sangat spesial.
"Ini buat apa sih, Ma?" tanya wanita itu ketika sang mama menambahkan eye liner agar penampilannya lebih memesona.
"Biar makin cantik, Sayang," jawab Sarah.
Sebenarnya, Hayu merasa risih. Mengapa untuk menyambut kedatangan seorang tamu, dia harus berdandan layaknya pergi ke pesta. Siapa sih yang bakalan datang? Apa Bapak Gubernur?
Papa memang memegang jabatan penting di kantor, tetapi apa iya seorang Gubernur mau berkunjung ke rumah mereka? Biasanya juga mengadakan open house di rumah pribadi.
"Yuk, turun sekarang. Tamunya udah datang," ajak Sarah sembari menggandeng lengan putrinya.
Hayu memang menguasai seluruh bagian lantai atas. Kamar Sarah dan Danu berada di bawah, karena mereka sudah tidak kuat harus naik turun tangga.
Saat memasuki ruang makan, Hayu terkejut saat melihat siapa yang duduk di sebelah kanan papanya. Aksa, bocah tengil itu.
"Hayu, duduk sini." Danu menepuk kursi di sebelah kirinya.
Dengan berat Hayu melangkah. Wajahnya seketika menjadi murung. Melihat itu, Sarah menyenggol lengan putrinya agar menyapa tamu mereka.
"Malam Om. Tante. Aksa." Hayu melengkungkan bibir dan mengulas senyum manis. Memang tidak sopan rasanya jika ada tamu berkunjung dan sambutan yang dia berikan kurang baik.
Melihat sang pujaan hati yang tampil berbeda malam ini, wajah Aksa menjadi cerah. Matanya melirik tiada henti. Hayu menjadi geram dan ingin mencocol mata laki-laki itu dengan sambal yang terhidang di meja.
"Cantiknya Hayu," puji Rani.
Sementara itu Setya hanya membalas sapaan itu dengan senyuman.
"Bisa aja Tante ini," jawabnya malu.
"Ayo, langsung makan!"
Sarah sibuk membuka sajian. Harum aroma masakan sungguh menggugah selera. Wanita paruh baya itu memang pintar memasak. Ibu rumah tangga sejati yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada keluarga, sekalipun suaminya seorang pejabat.
Hayu sendiri belum bisa seperti mamanya. Dia lebih suka berkarir untuk menggapai cita-cita. Wanita itu menyukai kebebasan dan berpergian ke mana saja. Tidak bisa dia bayangkan jika berada seharian di rumah, menghabiskan waktu dengan memasak atau pekerjaan rumah yang lain.
Suasana menjadi hening karena semua orang fokus dengan makan malamnya masing-masing.
"Aksa sekarang kerja di kantor papa, ya?" tanya Danu membuka pembicaran sembari menyuap.
"Iya, Om," jawab laki-laki itu dengan mulut penuh. Makannya lahap sekali, sampai Hayu ingin bertanya, itu memang dasarnya rakus atau kelaparan?
"Kuliahnya gimana?" lanjut Danu.
"Sedikit lagi, Om. Perkiraan mungkin masih dua tahun lagi," jawabnya santai.
"Kerja sambil kuliah? Hebat, dong! Tumben, dulu katanya gak mau ikut sama papa. Ya, kan?" Danu melirik Setya.
Semua orang di keluarga mereka juga tahu kalau sejak dulu Aksa tidak mau mengikuti jejak papanya menjadi notaris. Laki-laki itu memilih menjadi arsitek. Padahal, jika mau, dia bisa mengambil jurusan hukum dan meneruskan usaha orang tuanya.
"Ya, sekarang harus mau demi cita-cita," jawabnya serius.
"Cita-cita apa?" pancing Danu.
"Melamar sang pujaan hati," ucapnya sembari melirik Hayu.
Semua orang tertawa geli lalu melanjutkan makan. Para kaum hawa hanya menyimak apa mereka bicarakan. Hayu sendiri malas menanggapi dan kembali sibuk dengan makan malamnya. Para mama malah asyik bergosip. Sepertinya, hanya dia sendiri yang jadi patung malam ini.
Aksa meletakkan sendok dan garpu, mengambil tisusue kemudian membersihkan mulutnya. Segelas air dia teguk dengan cepat hingga tak bersisa. Hayu menjadi ilfeel melihatnya.
"Om, Tante. Aku mau ngobrol berdua sama Hayu, boleh gak?" pinta Aksa.
Hayu meletakkan sendok dengan kasar, lalu berkata, "Gak boleh!"
Aksa terkejut melihatnya. Sementara Danu dan Setya saling berpandangan, lalu tertawa geli.
"Nak, jangan begitu," tegur Sarah halus karena merasa tak enak hati dengan Rani.
Hayu melihat semua orang secara bergantian. Tampaknya tidak ada yang keberatan akan permintaan Aksa, kecuali dirinya. Wanita itu akhirnya menyerah dan pasrah saat melihat papanya memberi kode dengan anggukan.
"Cuma ngobrol, kan?"
"Iya, Sayang," jawab Aksa dengan percaya diri.
Hayu mendelik sembari berucap dalam hati. Kalau sampai bocah itu berbuat sesuatu, maka dia akan menamparnya lagi. 
"Bentar aja, yuk."
Aksa berdiri lalu meraih lengan sang pujaan hati. Hayu menepisnya dengan kasar. Dia tak sudi disentuh sebelum halal. Apalagi oleh orang yang pernah melecehkannya.
Mereka berjalan menuju teras depan. Sayup-sayup terdengar suara riuh dari dalam. Para orang tua terlihat saat senang, walaupun tidak terlalu jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
"Duduk sini," kata Aksa sembari menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Hayu menggeleng, takut jika diterkam oleh bocah itu. Umur Aksa memang masih muda, tapi sikapnya cukup berani dan memalukan.
"Kamu mau ngomong apaan? Cepetan, deh," tanya Hayu seraya melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut kesal, lalu membuang pandangan. 
"Kamu ini jutek banget. Gak boleh galak-galak sama calon suami," bisik laki-laki itu mesra.
Sikap Aksa membuat Hayu merasa geli. Siapa juga yang mau jadi istrinya, rutuk Hayu dalam hati. 
"Terserah kamu!" jawabnya jutek.
"Aku serius, Mbak. Dalam waktu dekat kita bakalan nikah," ucap Aksa meyakinkan. Dia sudah merencanakan semua dengan matang dan menunggu saat itu tiba.
Hayu melotot tak terima. Wanita itu mendengkus dan tersenyum mengejek. Nikah sama bocah itu? Jangan mimpi!
"Ini maksud apa? Pake' makan malam segala?" tanya Hayu blak-blakan.
Aksa menarik napas panjang, lalu memikirkan baik-baik apa yang akan dia ucapkan. Calon istrinya ini ternyata sulit sekali untuk ditaklukkan.
"Ya kenalan, lah. Apa kamu mau kita tunangan dulu? Kalau aku sih, pengennya kita langsung nikah aja."
Hayu kembali mendelik. Apa dia tidak salah dengar? Siapa juga yang mau? Apa jangan-jangan mereka sudah merencanakan semua? Mama sama papanya juga? Kalau memang iya, itu sungguh keterlaluan.
"Maaf ini ya, Dek Aksa. Mbak sama sekali gak tertarik dengan tawaran kamu. Jadi, lebih baik sadar diri. Mending selesaikan dulu kuliahnya. Adek masih kecil."
Hayu sengaja menekankan kata-kata 'Dek' agar Aksa sadar dengan posisinya. Usia mereka terpaut jauh. Sekalipun masih single, dia sama sekali tidak tertarik dengan laki-laki yang berusia lebih muda.
Raut wajah Aksa berubah. Laki-laki itu tersenyum pahit, lalu membuang pandangan sembari meremas rambut karena kesal. Hatinya sakit saat ditolak mentah-mentah.
Hayu bersorak dalam hati melihat respons Aksa atas ucapannya tadi. Dalam hatinya berdoa, semoga laki-laki itu menjadi urung dan membatalkan niatnya.
"Aku sayang sama kamu, Mbak. Kita nikah, yuk!" ajak Aksa dengan wajah memelas. Nada suaranya diucapkan dengan lembut dan pelan untuk merayu wanita itu.
Hayu terkesima, tak menyangka jika akan dilamar seperti ini. Ya Tuhan, mimpi apa dia semalam. Wanita itu menarik napas dalam, berusaha untuk menahan emosi. Dalam keadaan seperti ini, dia harus bersikap apa?
"Aksa. Kamu sama aku itu beda. Kamu ngerti?" Akhirnya kata-kata itu yang keluar dari bibir seksinya.
"Tapi kalau cinta gak masalah, kan? Nabi sama Khadijah pun beda usia. Jauh banget malahan. Kita cuma selisih beberapa tahun," jawab Aksa bijak.
Hayu kembali membuang pandangan, bingung harus dengan cara apalagi menjelaskan. Aksa tidak mengerti kalau dia tidak cinta dan tidak mau menjadi istrinya.
"Mbak, aku serius. Perasaan ini udah ada sejak dulu." Aksa meraih jemari Hayu kemudian menggenggamnya erat.
"Sorry, aku ke dalam dulu," ucapnya sembari melepaskan genggaman itu dengan cepat.
Hayu bergegas ke dalam dan meninggalkan Aksa begitu saja. Dia bahkan tak memerdulikan sapaan sang mama.
Bersamaan dengan langkahnya yang menaiki tangga, saat itu juga keluarga Aksa berpamitan pulang. Wanita itu masuk ke kamar dan membanting pintu karena kesal.
Ternyata orang tuanya sudah merencanakan pertemuan ini. Pantas saja penampilannya harus berbeda. Mamanya juga memesan beberapa menu di katering untuk sajian tadi.
Hayu berbaring di tempat tidur saat terdengar ketukan di pintu.
"Nak, turun dulu. Keluarga Aksa mau pamitan," bujuk Sarah. Dia tak bisa masuk karena pintu dikunci oleh putrinya.
Hayu tak mau menjawab dan berpura-pura tidur. Biar saja dia dibilang kekanakan. Hatinya kecewa karena sikap orang tuanya. Saat ini dia hanya perlu waspada. Aksa pasti akan melakukan berbagai cara untuk memuluskan niatnya.
"Tuhan, cobaan apa lagi ini?" Hayu menarik bantal agar suara mamanya tak terdengar sama sekali.

Book Comment (165)

  • avatar
    RayyanKharis

    ceritanya menarik 👍

    21/08/2022

      0
  • avatar
    DITAPUSPAADYTIA

    eleh authour akhirnya tamat terharu sama perjuangan aksa dia lelaki idaman untung akhir nya bersama dan gak ada pelakor kirain sed ending gara2 muncul si tama itu ternyata gak.lega bahagia. permasalah dapat di selesaikan bersama best 😭 cuman gak da adegan dewasa yg lebih wah doang nih kaya cerita lain 😍

    15/08/2022

      4
  • avatar
    uj4N6nY4_ikon

    sumpah bacaannya ringan dan gak bikin bosen,konfliknya juga gak berat-berat amat,bikin baper pembaca,gregetan pokoknya.Untung gak ada pelakor yang bisa memisahkan Hayu&Aksa.Mungkin karena mereka bisa memegang teguh komitmen mereka dan memupuk rasa cinta diantara mereka. POKOKNYA WAJIB BACA!!

    14/02/2022

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters