logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Tiga

Tiga
"Nama dia Stefan Anjano," ucap Pak Harsono setelah membiarkan aku beberapa saat menatap foto itu dengan seksama. Aku berdehem sebentar dan mengembalikan foto tersebut.
"Apa dia orang yang harus aku lindungi?" tanyaku.
Pak Harsono mengangguk.
"Meski dia terlihat seperti orang biasa, tetapi dia adalah seorang profesor muda yang berbakat. Baru-baru ini, dia menciptakan sebuah obat untuk menangani penyakit kanker. Masalahnya obat tersebut berubah menjadi virus berbahaya saat terpapar oleh tubuh orang yang sehat. Kini obat itu tengah diperebutkan. Para penjahat dan teroris menghalalkan segala cara untuk mendapatkan obat tersebut," tuturnya panjang-lebar.
Aku menggeleng. Semula aku mengira pria muda bernama Stefan itu seorang artis atau model yang sedang dikejar penggemar gila hingga meminta bantuan polisi. Atau anak manja kaya yang gemar terlibat narkoba. Ternyata dia memang terlibat masalah. Masalah yang sangat besar dan tidak kubayangkan akan terjadi pada orang sepertinya.
"Dia pasti meminta perlindungan polisi, bukan? Jadi apa kalian tidak bisa menangani masalah yang dia timbulkan?"
Wajah Pak Harsono berubah muram. Dia kemudian mengangguk.
"Stefan sendiri bukanlah orang yang mudah ditangani. Ia keras kepala dan merasa tidak butuh dilindungi. Meski begitu, aku sudah mengutus dua orang untuk melindungi dia, tetapi justru mereka berdua ...."
Pak Harsono menggeleng. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang teramat sangat. Aku menduga dua orang itu mungkin orang terbaiknya dan dekat dengan beliau. Kemudian, tragedi menimpa mereka.
"Baiklah, aku tahu apa yang harus aku lakukan," jawabku. Aku kemudian pamit undur diri untuk bersiap-siap.
***
Aku sedang mengemas pakaian dan beberapa senjata ketika Vano datang. Ia semakin berani saja, bahkan masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk lebih dulu.
"Aku sudah mendengar semua dari Pak Yan. Aku tidak suka kau pergi menemui pria lain. Batalkan misi kali ini atau biar aku yang menggantikannya," ucapnya pelan.
"Aku sudah setuju untuk menjalankan misi ini, jadi aku tidak akan mundur. Satu hal lagi, aku tidak akan pernah melempar misi pada orang lain," sahutku sambil menutup koper yang berisi pakaian.
"Tetap saja, aku tidak ingin melihatmu dengan pria lain."
"Dia tidak berbeda denganmu atau orang lain. Aku bukan gadis bodoh yang akan jatuh cinta padanya. Aku tidak akan tertarik padanya sama seperti aku tidak tertarik padamu. Saat ini hanya misi yang terpenting bagiku. Baik kau maupun dia, kalian sama sekali tidak penting!"
Vano diam mengangguk. Perlahan tangan kanannya terulur dan mengacak rambutku.
"Baiklah, aku mengerti, tapi jaga dirimu. Aku tidak ingin kau berada dalam bahaya."
"Vano," panggil Risa. Sama sepertiku, Risa juga adalah gadis pembunuh yang tinggal di sini, hanya saja tingkat dan kemampuannya lebih rendah dariku. Ia lebih sering mengejar-ngejar Vano daripada berlatih dengan serius.
Aku tersenyum saat melihat Vano yang dengan risih berusaha melepaskan tangan Risa yang menggelayut mesra padanya. Cinta benar-benar membuat seseorang menjadi bodoh. Orang bahkan dengan mudah mengalahkan Risa dengan kemampuannya yang amatiran itu.
"Nila, tunggu!" panggil Vano saat aku bergegas melangkah.
"Kau hanya salah-paham. Aku tidak ada apa-apa dengan Risa!"
Aku berbalik dan melepas kaca mata hitam yang kukenakan.
"Apa aku terlihat peduli?" sahutku sambil mengangkat bahu. Aku lalu kembali melangkah menuju mobil yang telah menunggu.
***
Pohon-pohon tinggi dengan daun-daun lebat menaungi perjalanan kami menuju ke kediaman Stefan. Di ufuk, terlihat awan mulai berubah jingga. Kunikmati semua itu bersama semilir embus angin yang bertiup melalui jendela yang terbuka. Bagiku keindahan mereka dan kesejukan yang kurasakan jauh lebih menyenangkan dari apa pun, karena mereka tidak menipu. Tidak seperti manusia yang pandai bersiasat.
Bahkan aku juga seperti itu, ucapku dalam hati sambil tersenyum miris.
Bangunan rumah Stefan tampak anggun dan klasik. Tembok-tembok marmer berwarna gading menghias dinding. Lantai keramik putih berkilat. Tidak nampak setitik debupun di sana. Berbagai lukisan serta pajangan antik menghias bagian dalam rumah. Di antaranya, terdapat juga foto-foto Stefan sedang menerima penghargaan. Bahkan ada potongan artikel terpajang pula di sana.
Rumah ini seperti istana dan kehidupan Stefan tampak seperti seorang pangeran yang bersembunyi, tetapi tetap bergelimang kemewahan, pikirku.
Netraku terhenti saat menatap sosok pria itu berjalan menuruni tangga. Berbeda dari penampilannya di foto yang terlihat ceria, sosok Stefan tampak muram. Matanya juga terlihat sayu. Janggut tipisnya yang tumbuh menunjukkan bahwa dia mungkin sudah tidak bercukur selama beberapa hari. Rambut hitamnya yang agak ikal juga terlihat kusut masai.
Aku meneguk ludah tanpa sadar. Meski kata cinta adalah sesuatu yang haram bagiku, tetap saja, aku tidak bisa menyangkal bahwa penampilan cowok bertubuh atletis itu begitu memikat. Entah mengapa, mendadak aku merasa gugup. Jantungku bahkan berdetak lebih cepat dari biasa hanya karena dia juga membalas tatapanku.
"Stefan, maaf sudah mengganggumu, tapi orang yang kujanjikan untuk melindungimu sudah ada di sini," ujar Pak Harsono.
Stefan hanya mengangguk. Mata hitamnya masih tetap menatapku lekat. Aku jadi merasa semakin salah tingkah.
Pak Harsono berdehem sesaat. Stefan seolah tersadar dan mengalihkan tatapan padanya sambil tersenyum. Lesung pipi muncul di wajahnya, membuatku mati-matian berusaha untuk tetap tenang.
Berpikirlah sehat, Nila. Dia orang yang harus kaujaga, bukan calon kekasihmu. Lagipula, apa yang salah dengan dirimu? Kau adalah Snow Queen yang tidak terjamah oleh cinta. Jangan sampai seorang pria yang baru kaukenal membuat pertahananmu runtuh! tegurku pada diri sendiri. Sekuat tenaga aku berusaha menenangkan diri.
Lelaki muda di hadapanku tersebut mengalihkan tatapan pada pria yang berdiri di samping Pak Harsono. Mungkin dia menduga lelaki bertubuh gempal itulah yang akan melindungi dia.
"Apa dia bisa diandalkan? Aku tidak mau peristiwa yang sama terjadi lagi. Itu sangat mengerikan," ucapnya sambil mengendikkan kepala ke arah pria tersebut.
Pak Harsono tersenyum mendengar itu.
"Kalau dia, aku tidak yakin dia akan bisa menjagamu karena dia hanya sopirku."
Tatapan mata Stefan terlihat bingung. Perlahan ia mengalihkan pandangan padaku.
"Dia ...?" ucapnya sambil menunjuk ke arahku.
Pak Harsono mengangguk.
"Benar. Dia Nila Fariska. Dialah yang akan menjaga dan memastikan keamananmu."
Ucapan beliau membuat suasana berubah hening. Stefan kemudian melihatku dari atas ke bawah dan sebaliknya. Ia tampak tidak percaya. Tidak lama kemudian justru tawanya meledak.
"Apa Anda sedang bercanda, Pak Harsono?" ucapnya sambil mengusap air mata yang mengalir keluar.
"Mana bisa gadis sekecil dia melindungiku? Ia bahkan tidak akan bisa menang melawanku."
Perasaanku berubah geram. Hilang sudah semua rasa kagum yang kutujukan padanya. Aku paling tidak suka ada orang yang meremehkanku hanya karena aku seorang gadis bertubuh mungil dengan penampilan menurut orang-orang terbilang cantik.
"Apa kau menantangku?" desisku.
"Jika aku bisa mengalahkanmu, apa kau akan menerimaku menjadi pengawal pribadimu?"

Book Comment (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters