logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

FLASHBACK JESSICA

BAB 7
FLASHBACK JESSICA
Hari itu aku pulang kuliah dengan diantar Marchel. Sebenarnya hari ini aku bolos sih, soalnya Marchel ngajakin check in di hotel. Kami memang sudah sering melakukannya, terkadang di hotel seperti hari ini, kadang juga di mobil atau di apartemen yang ditinggali Marchel. 
Marchel seorang pemain yang lihai. Dia selalu bisa membuatnya melayang berkali-kali. Selain itu, setelah berhubungan, dia selalu mengirimkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk uang jajan, terkadang aku juga diajak belanja, ini bagian yang paling aku suka.
Hanya dari Marchel aku bisa membeli barang mewah dan memiliki uang jajan yang melimpah. Aku tidak ragu lagi saat teman-temanku mengajak nongkrong di cafe karena memiliki rekening yang gendut. Dulu, sebelum kenal dengan dia, aku harus super hemat karena ayah memberikan uang jajan yang terbatas. Meskipun kadang ibu diam-diam memberi uang lebih, namun itu nilainya tidak seberapa disbanding dengan yang diberikan oleh Marchel.
Saat hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Perlahan, pandangannya mulai kabur, hingga akhirnya aku terjatuh dan tak ingat apa-apa lagi.
“Jessica!” Samar, dia mendengar seseorang menyebut namanya, sebelum akhirnya kesadarannya benar-benar hilang.
Saat tersadar, aku sudah berada di atas tempat tidur. Melihat wajahku yang pucat dan tubuhku yang terlihat lemas, ibu memaksa untuk membawa kerumah sakit. Awalnya aku menolak, namun ibu tetap keukeuh dan memaksakan kehendaknya. Akhirnya aku tidak bisa berbuat aa-apa dan hanya bisa menurut saja.
Sesampainya di rumah sakit, ibu segera melakukan pendaftaran ke bagian loket. Setelah menunggu hampir satu jam, namaku pun sudah dipanggil.
“Saudara Jessica?”panggil seorang perawat.
“Saya, sus!” sahut Linda.
“Silahkan masuk!” ujar perawat itu ramah. Aku dan Ibu pun segera memasuki ruangan. 
“Silahkan duduk! Apa keluhannya?” tanya sang dokter.
“Akhir-akhir ini saya sering mual, Dok! Badan juga rasanya gak enak!” sahutku.
“Baik silahkan naik! Saya akan memeriksanya!” ujar sang dokter. 
Aku pun segera naik ke atas brankar dan berbaring.
“Kapan terakhir Anda datang bulan?” tanya sang dokter. Aku mencoba mengingat-ingat dan mencerna arah pertanyaan dokter tersebut.
“Sepertinya sebulan yang lalu, Dok!” sahutku. Mengapa dokter menanyakan hal privasi seperti itu? Apa ada hubungannya dengan sakitku? Batinku.
“Apa datang bulan Anda terlambat bulan ini?” tanya dokter itu setelah kembali ke tempat duduknya.
“Iya, dok! Sudah dua minggu!” 
“Kenapa dokter menanyakan datang bulan segala? Anak saya belum menikah!” sahut ibu sewot.
Dokter itu mengulas sebuah senyuman.
“Saya hanya memprediksi, Bu! ini saya beri surat rujukan! Silahkan datang ke poli kandungan!” ujar sang dokter. Aku dan ibu sama-samaterkejut.
“Poli kandungan?” sahut kami bersamaan, lalu saling berpandangan.
“Dok, apa anda pikir putri saya hamil? Dia ini belum menikah!” bentak Ibu.
“Mohon maaf, Bu! Rujukan ini untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!” sahut sang dokter.
“Tapi tetap saja, ini namanyaAnda menghina putri saya!” ujar ibu lagi. 
“Terserah jika Ibu tidak bisa terima, tapi memang itulah diagnosa saya! Jika Ibu tidak percaya, Ibu bisa preriksa ke tempat lain!” sahut Dokter itu.
“Saya akan buktikan jika prediksi dokter salah!” ujar ibu emosi, lalu segera membawaku keluar dari ruangan dokter tersebut.
“Kita mau kemana, Bu?” tanyaku..
“Kita ke poli kandungan. Ibu mau melemparkan hasil pemeriksaan ke muka dokter itu. Seenaknya saja dia menuduh kamu hamil!”
Aku terdiam. Pikirannya kembali menerawang. Aku takut jika prediksi dokter itu benar. Aku sudah sering melakukannya dengan Marchel. Selama ini, Marchel tidak pernah mau menggunakan pengaman dengan alasan tidak nyaman. Jadi, aku memilih mengalah dengan mengonsumsi pil KB. Namun, beberapa kali aku lupa meminumnya. Marchel suka tiba-tiba muncul dan mengajaknya check in saat dia belum meminumnya. Aku pun tak berani menolak Marchel, karena menolaknya berarti dia akan kehilangan uang jajan plus mendapatkan amarah darinya.
“Hei, melamun saja! Tuh, nama kamu sudah dipanggil! Ayo!” ajak sang Ibu. Dengan lemas, aku mengikuti langkah sang Ibu menuju ruang pemeriksaan. Dokter pun meminta Jessica berbaring ke atas brankar yang telah disediakan. Dokter memeriksa perut Jessica menggunakan alat yang sebelumnya telah diolesi gel.
“Selamat ya, Bu! usia kandungannya enam minggu! Itu janinnya masih sangat kecil!” ujar sang dokter mengakhiri pemeriksaannya. 
“Apa, dok? Putri saya hamil?” tanya ibu tak percaya. 
“Iya, Bu! selamat ya!” ujar sang Dokter. Ibu menatapku dengan tajam. Aku hanya mampu menunduk tanpa berani membalas tatapan Ibu. 
“Ini saya resepkan vitamin! Dijaga, ya, kandungannya!” ujar sang dokter sambil memberikan resepnya. Setelah menerimanya, Ibu segera membawaku keluar dari ruangan sang dokter. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, kami melangkah meninggalkan rumah sakit. Bahkan, hingga tiba di rumah, ibu tetap tak bersuara. Aku pun tak berani bertanya kepada Ibu.
“Duduk!” perintah Ibu saat mereka sudah di ruang tengah. Aku pun segera duduk tanpa berani membantah.
“Sekarang katakan sama Ibu, dengan siapa kamu melakukannya?” tanya ibu. 
“Kenapa diam saja? Cepat katakan? Siapa ayah dari bayi itu? Marchel?” tanya ibu lagi.
Aku pun menganggukkan kepala.
“Telepon dia! Minta dia bertanggungjawab!” perintah Ibu.
“Bagaimana kalau dia tidak mau?” tanyaku lirih.
“Harus mau. Dia sudah berani melakukannya. Jadi, dia juga harus mau bertanggungjawab. Cepat, telepon dia!” 
Aku pun segera meraih ponselnya. Aku mencoba menghubungi Marchel. Sekali, tak dijawab. Dua kali, masih tidak dijawab. Baru yang ketiga kalinya, panggilanku diangkat.
“Halo, ngapain sih? Gangguin saja!” omel Marchel dari ujung sana.
“Sayang, kamu bisa kesini sekarang gak? Ada yang mau aku omongin!” ujarku.
“Ngomong apaan? Disini saja! Aku lagi sibuk!” sahut Marchel. Samar-samar, aku mendengar suara desahan wanita di dekat Marchel.
“Sayang, kamu dimana? Sama siapa?” tanyaku panik.
“Kamu gak perlu tahu. Sudah, aku lagi sibuk.” Klik. Panggilan diputus sepihak. Aku mencoba menghubungi ponsel kekasihnya kembali, namun hanya dijawab operator.
“Bagaimana?” tanya Ibu.
“Dia sedang sibuk, Bu!” sahutku lirih.
“Secepatnya, kamu harus beritahu dia sebelum ayahmu tahu yang sebenarnya!” ujar Ibu.
“Iya, Bu!” sahutku. Ibu meninggalkan aku seorang diri dan memilih menuju ke kamarnya dan berbaring. Kepalanya benar-benar terasa pusing.
Aku segera memesan taksi online dan menuju apartemen Marchel. Semoga dia ada dia apartemennya, harapku. Aku juga harus memastikan kecurigaanku. Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh menit, Aku telah tiba di area apartemen Marchel. Aku pun segera menuju lift dan ke lantai tujuh, dimana apartemen Marchel berada.
Ting tong ....
Ting tong ....
Ting tong ....
Setelah memencet bel sebanyak tiga kali, barulah pintu dibuka. Aku menghembuskan nafas lega karena kekasihku ternyata ada di apartemen.
“Sayang, kenapa tadi—“ Belum selesai aku dengan ucapanku, aku terpaksa menghentikannya saat mendengar sebuah suara dari dalam. 
“Siapa, sayang?” tanya seorang wanita dari dalam apartemen. Aku pun melongokkan kepalanya ke dalam. Tampak disana, seorang wanita yang membalut tubuhnya hanya menggunakan selimut. Aku menatap Marchel tak percaya.
“Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku?” bentakku tak percaya.
“Apa sih? Gak usah drama deh!” ujar Marchel santai.
“Apa kamu bilang? Drama?” sahutku tak percaya.
“Kamu siapa?” tanya wanita itu. Aku menabrak tubuh Marchel dan merangsek masuk.
“Seharusnya aku yang tanya, kamu siapa? Aku kekasihnya!” bentakku kepada wanita itu.
“Dasar wanita jalang! Pasti kamu yang menggoda kekasihku!” teriakku sembari menyerang wanita itu. 
“Aw ... sakit!” teriak wanita itu. 
“Jessica, lepaskan!”bentak Marchel. Namun aku tak mengindahkan panggilan dari Marchel. Aku semakin mengeratkan cengkeraman tangannya di rambut wanita itu. Sekuat tenaga, Marchel emncoba melepaskan cengkeraman itu dan membawaku menjauhi wanita itu.
“Lepaskan aku! Biarkan aku menghabisi wanita jalang itu!” teriakku tak terima. Marchel adalah kekasihku dan dia pelakor yang sudha merebutnya. Aku tidak mungkin bisa diam saja.
Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku sangat terkejut dan mengusap pipiku yang terasa panas sambil menatap Marchel tak percaya.
“Kamu tampar aku? Kamu menampar aku demi membela wanita jalang itu?” ujarku tak percaya.
“Dia bukan wanita jalang, dia kekasihku!” sahut Marchel. 
“Apa? Lalu aku?” 
“Aku sudah bosan sama kamu. Kamu itu terlalu posesif. Lebih baik kita putus,” sahut Marchel santai.
“Apa? Jangan bercanda kamu? Setelah kamu puas menikamti tubuhku, kamu putusin aku begitu saja?” 
“Memangnya kenapa? Toh, kita melakukannya suka sama suka. Lagian, semua itu kan tidak gratis. Aku sudah membayar kamu. Kamu hitung saja, berapa uang yang sudah kuberikan untuk kamu,” ujar Marchel.
Aku menggelengkan kepalanya tak percaya. Semudah itu kekasihnya mengucapkan kata putus.
“Kamu gak bisa mutusin aku begitu saja, Chel!” ujarku lagi.
“Kenapa gak bisa? Toh, sekarang aku sudah dapat penggantimu yang jauh lebih cantik dan menggairahkan,” ujar Machel sambil merangkul pundak Eveline, kekasihnya yang baru. Eveline pun menyandarkan kepalanya di dada Marchel dengan manja seolah sedang mengejekku. Aku menatapnya penuh rasa cemburu.
“Chel, aku hamil,” ujarku.
“Trus memangnya kenapa?” sahut Marchel cuek.
“Kamu harus bertanggungjawab!” Marchel terkekeh geli mendengarnya.
“Yakin itu anakku?” tanya Marchel.
“Apa maksudmu? Aku melakukannya hanya sama kamu!” ujarku tak percaya. Berani sekali dia meragukan anak dalam kandunganku. Selama ini aku melakukannya hanya dengan dia, tidak pernah dengan pria lain.
“Siapa tahu, bisa saja kan? Bukankah saat pertama kali kita melakukannya, kamu sudah tidak perawan?”ejek Marchel. Aku menganga tak percaya Marchel bisa mengatakan hal itu.
“Memang yang kamu katakan itu benar. Tapi itu dulu, sudah lama sekali! Sekarang ini, aku hanya melakukannya sama kamu,” sahutku lagi. Aku tidak menyangka kesalahan yang kulakukan saat sekolah dulu dijadikan senjata oleh Marchel untuk menjatuhkan aku.
“Bagaimana aku bisa percaya kalau sebelumnya kamu pernah melakukannya dengan orang lain?” ejek Marchel.
“Jangan menghinaku! Aku tidak serendah itu dengan mengobral tubuhku ke sembarang orang!” 
“Bukankah kamu memang rendah? Bahkan, kamu menyerahkan tubuhmu dengan suka rela!” ujar Marchel lagi.
“Marchel! Dasar b*jing*n kamu!” ujarku sembari berusaha menyerang Marchel. Namun, Marchel lebih sigap. Spontan, dia menangkap kedua lenganku dan mencengkeramnya erat.
“Pergi! Aku sudah tidak butuh kamu lagi! Aku tidak peduli dengan bayi dalam kandunganmu yang entah anak siapa itu! Lebih baik gugurkan saja!” ujar Marchel, lalu menyeret tubuh Jessica menuju pintu.
“Pergi dan jangan pernah muncul lagi dihadapanku!” ujar Marchel sembari menghempaskan tubuhku hingga dia terjatuh di lantai. 
Sakit. Tubuhku membentur lantai dengan kuat. Namun, hatiku terasa lebih sakit karena hinaan Marchel dan penghianatannya. Perlahan aku bangkit dan berdiri kembali di depan pintu.
Dor dor dor ....
Aku berulang kali menggedor pintu apatemen Marchel, namun tak ditanggapi.
“Marchel, kita belum selesai bicara! Buka pintunya!” teriakku.
“Marchel!” teriakku lagi. Sayangnya, hingga suaraku habis dan kelelahan, Marchel tak mau membuka pintunya. Akhirnya, dengan gontai aku meninggalkan apartemen tersebut.
“Dari mana kamu?” tanya Ibu saat mendapati aku baru sajamasuk ke dalam rumah. Aku tak menaggapi. Aku terus melangkah dan duduk di sofa ruang tamu.
“Ditanya kok diam saja sih? Dari mana kamu?” tanya Ibu.
 “Menemui Marchel, Bu!” 
“Trus, bagaimana hasilnya?” tanya Ibu penasaran.
“Dia tidak mau bertanggungjawab, Bu! dia nyuruh aku gugurin kandungan saja!” sahutkulirih.
“Bagaimana bisa? Bukankah kamu bilang dia itu cinta mati sama kamu?” tanya Ibu heran. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Untuk beberapa lama, kami sama-sama terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing.
“Jessica, cukup! Buat kamu menangis? Kamu seperti ini pun tidak akan bia mengembalikan Marchel sama kamu!” ujar ibu.
“Aku harus bagaimana, Bu? Aku gak mau hamil. Aku gak mau menikah. Apa kata teman-temanku kalau mereka tahu aku hamil diluar nikah?” ujarku sembari terisak.
Ibu tampak berpikir keras. Namun, tak lama kemudian, dia sudah mengambil keputusan.
“Lebih baik, gugurkan saja kandunganmu! Mumpung masih kecil. Kalau sudah terlanjur besar, akan semakin sulit!” ujar ibu.
“Apa itu tidak berbahaya, Bu?”
“Itu resiko. Kalau sampai ayahmu tahu, kita berdua bisa sama-sama mati. Kamu tenang saja, Ibu akan carikan obat peluruh kandungan!” ujar ibu.
“Iya, Bu!” sahutku pasrah. Aku rasa memang inilah keputusan yang terbaik.

Book Comment (80)

  • avatar
    MardianaDina

    cerita nya bagus saya suka baca nya

    29/07

      0
  • avatar
    kayukuiki

    aku mau diamond gratis soal nya diamond ku jadi nol karena diambil orang yang tidak dikenal karena dia mempu nyai diamond dia jadi sultan

    29/07

      0
  • avatar
    Alfaijin Ramadhan

    100

    28/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters