logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3 Kebenaran Dari Sang Pujaan Hati

Happy reading❤
Bagas menatap kosong kepergian sang istri, yang meninggalkannya pergi dengan taksi.
Ia menarik napas. Berusaha melonggarkan tali tak kasat mata yang seolah membelit rongga dadanya hingga nyaris kesulitan menghirup udara. Sesak. Sangat. Selama beberapa detik. Beberapa detik yang singkat yang anehnya sungguh menyiksa.
Bagas kembali ke dalam rumah. Kemudian, menghampiri wanita berparas cantik berdarah Jawa Bali, pemilik nama Melati Ayuni, yang masih duduk di sofa bersama kedua orang tuanya.
"Istirahat dulu! Aku antar ke kamar, ya. Kamu pasti lelah."
Dengan memperhatikan mimik wajah Bagas yang berbeda, setelah kembalinya dari luar. Lebih dingin dan datar, tak seperti biasanya. Melati hanya menganggukan kepala mendengar perintah Bagas, hingga rambut hitam sebahunya bergoyang mengikuti gerakan kepala.
Mengikuti langkah pria itu dari belakang yang meninggalkan ruang keluarga. Sebelumnya, wanita itu menganggukan kepala pada kedua orang tua Bagas sebagai tanda ia ingin undur diri.
Bagas mengantar Melati menuju kamar tamu, yang ada di lantai satu, dekat dengan ruang keluarga. Kamar tersebut juga sebelumnya sudah dibersihkan oleh Bi Sumi selaku asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya, sedari pria itu berumur tujuh tahun tepatnya saat kelas satu sekolah dasar.
Pria itu memastikan agar Melati dapat beristirahat dengan nyaman, dengan menawarkan berbagai hal yang mungkin wanita itu inginkan. Seperti menawari minuman atau pun suhu pendingin ruangan yang sesuai keinginannya. Walau dengan masih mempertahankan wajah dingin dan datar.
"Makasih, Mas. Aku nggak mau apa-apa, ko. Aku ingin istirahat saja," ucap Melati menghentikan tindakan Bagas yang selalu menawarinya hal apa pun, sedari awal memasuki kamar.
"Oh, iya, Mas. Bagaimana dengan, Mbak Seruni? Mas nggak berniat susul dia? Kenapa, Mas membiarkannya pulang sendiri?"
Melati memberondong pertanyaan, sambil mencoba merebahkan tubuhnya di kasur berukuran besar nan sangat empuk, yang ada di kamar yang lumayan mewah ini. Dengan nuansa putih maroon menambah kenyamanan ruangan.
"Nanti aku akan pulang menemuinya," jawab Bagas yang kini duduk di sisi ranjang, sambil merapihkan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh Melati yang terbaring.
"Mas akan memberi tahu, Mbak Seruni?" Pelan suara Melati masih bisa didengar Bagas. Pria itu mengalihkan pandangan dari memperhatikan selimut, menuju wajah Melati yang menampakan kecemasan.
"Iya. Mas harus mengatakannya."
"Menurut, Mas bagaimana respon, Mbak seruni nanti?" tanya Melati pelan, sedikit takut-takut. Hingga suaranya terdengar seperti cicitan tikus-tikus kecil yang selalu mencuri makanan di dapur. "Mbak Runi pasti akan melakukan sesuatu, Mas. Mbak Seruni pasti mencari dan memarahiku habis-habisan." Panjang lebar Melati menjelaskan pada Bagas, kegundahan hatinya sedari ia sampai pagi tadi di kediaman orang tua si pria.
"Kamu nggak usah mikirin apapun. Biar, Mas yang mengatasinya." Bagas mengelus-ngelus tangan halus seperti bayi milik Melati, dengan harapan dapat menenangkan wanita pemilik senyum manis di depannya, yang kini terlihat sekali gelisah.
"Lagi pula, Seruni bukan wanita seperti itu. Dia berhati lembut. Ia tak akan melakukan tindakan macam-macam padamu. Mas sudah mengenalnya lama ... sekarang, lebih baik kamu tidur!" lanjut Bagas menasihati.
"Iya, Mas." Wanita itu pun mencoba memejamkan mata dengan tangan Bagas yang kini beralih mebelai rambutnya. Ada rasa cemburu di hati wanita cantik itu, saat pria di depannya membela Seruni. Sedikit sakit, tapi ia coba tampik.
Melihat Melati tidur, Bagas putuskan tuk keluar. Menutup pintu kamar hati-hati, agar tak mengganggu sang empunya kamar.
Mengayunkan kaki menuju ruangan yang tadi ditinggalkan, Bagas menemukan kedua orang tuanya masih duduk di sana, seperti menunggu kedatangannya.
"Bagas, kemari!"
Pak Santoso selaku Ayah Bagas memanggil sang anak untuk menghampirinya. Sengaja menunda pergi untuk beristirahat, hanya untuk mendapat penjelasan.
"Melati sudah istirahat?" tanya Pak Santoso pada Bagas yang sedang melangkahkan tungkainya dengan pelan, menghampiri orang tuanya yang berjarak beberapa meter lagi.
"Iya, Yah. Dia sudah tidur, barusan."
Bagas duduk di sofa yang berada di hadapan orang tuanya saat ini. Dengan kaki yang diselonjorkan, untuk meredakan sakit. Kakinya kram karena terlalu lama duduk di kursi kendaraan. Ditambah bokongnya yang terasa ngilu. Wajar, perjalanan menuju rumah orang tuanya sangatlah panjang. Membutuhkan waktu tiga belas jam dengan menggunakan kereta api.
Baru Bagas merilekskan tubuhnya beberapa detik, pertanyaan dari sang Ayah sudah membuat kepala pusing tujuh keliling.
"Mengapa kamu melakukan ini, Nak? Seruni pasti sakit hati. Ayah dan Ibu tak tega membayangkannya."
Sebenarnya ia ingin protes pada sang Ayah untuk tak membahas terlebih dulu masalah ini. Ia butuh sekali istirahat. Tubuhnya sudah tak bersahabat. Namun, ia tak berani untuk sekedar membela diri.
Kedua orang tua Bagas sangat menyayangi Seruni. Mereka sudah menganggap wanita itu seperti anak sendiri, tak ada jarak diantara mereka, karena memang sang menantu sangatlah baik hati. Pun mereka berteman lama dengan kedua orang tua Seruni. Dua puluh lima tahun lamanya pertemanan mereka terjalin. Dimulai dari saat masa putih abu.
"Lalu, apa yang harus Ibu katakan pada orang tua Seruni, jika mereka mengetahui hal ini. Pasti mereka akan kecewa," timpal Ibu Bagas dengan wajah kentara sangat sedih.
"Maaf. Bagas memang salah." Bagas menundukan kepala tanpa berani memandang kedua orang tuanya.
Ia memang mengaku salah, karena tindakannya membuat sedih kedua orang tuanya, terutama Seruni sang istri.
"Ibu nggak mau kehilangan Seruni. Ibu sayang padanya. Lebih-lebih istrimu sekarang sedang mengadung cucu Ibu."
Ibu Bagas berkata sambil menangis tersedu-sedu. Pak Santoso yang ada di sebelahnya berusaha menengahi dengan memeluk erak sang istri.
"Harusnya kamu bicarakan dulu pada kami sebagai orang tua. Jangan main asal membuat keputusan. Sekarang jadi begini, kan!" marah Pak Santoso.
Bagas tak bisa menjawab. Ia makin menundukan kepala. Pokus matanya memperhatikan ke bawah, pada jari-jari kakinya yang tak tertutup sandal rumah.
"Apa kamu tak menganggap kami sebagai orang tua lagi?" protes Pak Santoso akhirnya. Ia sangat kecewa pada sang anak. Dari dulu, ia tak pernah mengajarkan untuk menyakiti wanita.
"Bukan begitu, Yah," lilir Bagas merasa sangat bersalah. Harusnya ia tak gegabah dalam bertindak. Hingga memunculkan masalah yang begitu berat.
Pak Santoso memilih mengabaikan Bagas. Pergi bersama sang istri menuju kamar mereka berdua. Meninggalkan Bagas sendirian.
Bagas merenungkan kesalahannya seorang diri, di ruangan yang luas ini.
Kepalanya buntu untuk dipakai berpikir.
Bagas enggan pulang kerumahnya bersama Seruni. Bukannya tak ingin. Namun, ia tak sanggup melihat wajah sang istri. Melihat kekecewaannya, luka, kesedihan, apalagi tangis perempuan berhati baik itu. Ia sungguh tak sanggup.
Bagaimana cara menyampaikan kebenaran pada Seruni? Tanpa harus menyakiti. Memang tak mungkin, pasti sang istri akan tetap tersakiti.
Bersambung ....

Book Comment (215)

  • avatar
    Jupe New

    seru sekali

    12d

      0
  • avatar
    Dwi Erna

    bgus bgt

    15d

      0
  • avatar
    FebriyawanFeri

    good

    22d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters