logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Keluarga Baru

Seseorang pernah berkata, bahwa cinta kasih yang tulus akan selalu menebarkan suka cita. Ternyata itu benar adanya. Terlihat dari ketulusan Ares padaku. Dia mengembalikan duniaku yang sebelumnya porak poranda. Ares mengembalikan tawaku yang sempat sirna. Tanpa pernah terbesit untuk meminta imbalan sedikitpun.
Ares melengkapi banyak ruang kosong di hatiku. Menggantikannya dengan berbagai kenangan manis yang membahagiakan. Dan aku berharap semua puzzle itu terpatri mati di sana.
Kebahagiaanku seakan bertambah karena beberapa waktu lalu kak Pandu mengabariku bahwa dia akan segera menikah. Dia menyuruhku pulang untuk menyaksikan pernikahan sakral yang akan dia adakan dalam waktu dekat.
Meskipun aku belum pernah mengenal calon istrinya, tapi aku yakin bahwa dia akan melengkapi kebahagiaan di keluarga kecil kami.
Jangan heran. Aku dan kak Pandu memang tidak sedekat itu. Kami saling sayang sebenarnya, tapi tidak akrab. Hanya mengobrol intens sesekali jika memang ada hal penting. Makanya aku tidak pernah tau siapa pasangannya.Aku juga tidak mau terlalu ikut campur dengan masalah pribadinya. Karena bagiku, kami sudah dewasa untuk mengatur kehidupan kami masing masing. Jadi ya harus bertanggung jawab atas diri sendiri.
"Besok ikut aku pulang ya?". Ajakku pada Ares.
"Tumben? Ada apa?". Ares menoleh ke arahku sebentar. Kemudian menyeruput kopinya lagi.
"Kak Pandu mau nikah". Aku kegirangan saat menyampaikan kabar bahagia itu.
"Kok mendadak?". Ares keheranan. Sementara aku hanya mengendikkan bahu karena memang tidak tau kenapa kak Pandu membuat keputusan secepat itu.
"Iya besok aku temenin ya. Sekalian mampir ke rumah yuk. Mama aku udah lama enggak liat kamu kan?". Lanjut Ares.
"Eh iya ya. Udah lama banget enggak ketemu". Aku berpikir sejenak. Kemudian menyambar kopi di tangan Ares. Tanpa pikir panjang langsung ku teguk beberapa kali.
"Hmm paittt". Ku julurkan lidahku setelah cairan hitam itu masuk ke dalam perut.
"Bukan gitu cara minumnyaaa". Ares memarahiku dengan gemas. Beberapa kali tangannya mengacak rambutku asal.
"Kebiasaan! Berantakan tauu". Ku manyunkan bibir dengan sengaja. Agak kesal dengan kebiasaan nakalnya yang sering membuat rambutku tak karuan
"Galak banget". Ares terkekeh melihat tingkahku.
"Biarin. Wleekk". Ejekku padanya.
Sementara Ares hanya bisa tertawa melihat polahku yang sering kekanakan. Ada rasa bahagia yang tersorot dari bintik matanya. Mungkin orang lain akan menganggapku berlebihan karena sedang dimabuk cinta. Tapi aku selalu bersyukur karena memilikinya. Kalau kata orang cinta itu buta. Sepertinya iya. Hanya ada Ares di mataku. Rasanya aku memang sedang tergila gila padanya karena cinta.
***
Akhirnya hari yang kami nantikan datang juga. Kak Pandu akan melangsungkan pernikahan hari ini. Bukan pernikahan yang besar dan mewah. Hanya pemberkatan sederhana di Gereja dengan suasana sakral.
Ares selalu menepati janjinya padaku. Dia menemaniku seperti yang dia ucapkan waktu itu. Dalam balutan jas warna hitam dipadu dengan kemeja putih dengan sederet gigi putih bersih, dia tersenyum menghampiriku. Lagi lagi aku terbius karenanya.
"Yuk". Ajaknya sembari mengulurkan tangan. Aku menyambutnya antusias.
Rasanya seperti kami yang akan menikah. Padahal kami hanya tamu saja. Kami sudah siap menyaksikan kedua mempelai mengucap janji sehidup sematinya. Aku berdiri di sebelah Ares dengan gugup. Jantungku benar benar bedegup kencang menantikan momen seperti ini.
Kali ini ku kenakan dress selutut dengan warna pastel. Sedikit ku pakai riasan agar tidak terlalu pucat. Dan tidak lupa ku padu dengan heels putih supaya lebih cocok dengan Ares.
"Besok kamu yang jadi pengantinku". Ares berbisik kepadaku di tengah acara sakral ini.
Ku pukul pelan lengannya dengan seulas senyum. Mengisyaratkan untuk jangan berisik. Takut mengganggu acara yang sakral ini. Sementara Ares hanya membalasku dengan senyum tipis.
Seperti yang tengah kami rasakan, aku berharap ayah dan ibu juga bisa tersenyum bahagia di surga.
Seusai acara, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Ares. Tidak sabar sekali bertemu dengan tante Andini. Terakhir kali kami bertemu mungkin sekitar tiga tahun lalu. Karena memang jarak rumahku dengan Ares cukup jauh, ditambah lagi orang tua Ares sangat sibuk. Maklum saja karena mereka memang memiliki bisnis sendiri dibidang makanan. Jadi sering meeting ketemu client. Kadang sehari bisa pindah pindah kota.
Tapi kata Ares sekarang mamanya sudah pensiun. Jadi tinggal kakak pertama Ares dan papanya yang masih menekuni bisnis mereka. Sementara tante Andini sekarang sibuk mengurus yayasan.
"Assalamualaikum". Aku memberi salam ketika sampai di rumah Ares.
"Waalaikumsalam. Eh Ve! Udah lama enggak main". Tante Andini menyambutku dengan ramah.
Jangan kaget. Aku dan Ares memang berbeda. Ada hangat toleransi yang menjembatani kami.
Tante Andini menerimaku dengan sangat baik. Bahkan beliau sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Karena memang beliau tidak memiliki anak perempuan. Untuk sesaat aku bisa merasakan kehadiran sosok ibu lagi.
Pembicaraan kami selalu nyambung. Dari hal kecil sampai berujung curhat dengan keadaanku saat ini. Beliau ikut kaget saat tau bahwa ayah dan ibu sudah tiada. Beberapa kali tante Andini memelukku dan memberikan berbagai macam kalimat penguatan.
Aku jadi mengerti. Ares memang persis seperti tante Andini. Terlihat dari bagaimana kehangatan itu terpancar secara alami dan membuat orang di sekitarnya merasa nyaman.
***
Malamnya aku pamit untuk pulang. Ares yang mengantarkanku. Aku melarangnya untuk mampir. Karena sudah cukup larut. Khawatir kena angin malam. Aku tidak mau dia sakit.
Di dalam rumah masih ada beberapa kerabat yang menginap. Rencananya besok mereka baru pulang. Rumah jadi ramai sekali. Seperti dejavu. Seperti ini rasanya dulu ketika ayah dan ibu masih ada. Selalu ada pembicaraan seru yang terjadi saat makan bersama.
Suasana itu.. Aku rindu. Lebih tepatnya aku merindukan keluargaku. Aku merindukan ayah dan ibu.
"Ve udah makan?". Kak Helen yang saat ini sah berstatus sebagai kakak iparku membuka suara.
"Eh.. Iya udah kak". Lamunanku buyar seketika.
"Ve mau mandi dulu ya udah malem". Sambungku masih agak canggung. Kemudian aku beralih ke kamar dan mulai bebersih.
Ku hapus riasan yang sedari tadi menempel di wajahku. Kemudian ku perhatikan pantulan wajahku sendiri di kaca. Berbeda sekali.
Lantas terbesit pertanyaan kenapa orang orang suka sekali menjudge orang lain hanya dari penampilannya saja. Aku setuju bahwa penampilan mencerminkan sifat orangnya. Bahwa jika penampilannya rapi, berarti orangnya pun juga sama. Yang tidak bisa aku pahami adalah, kenapa orang selalu menomor satukan mereka yang memiliki paras cantik dan menarik.
Maksudku, hey bukankah itu hanya rupa saja. Bisa dipoles loh dengan riasan. Di jaman se modern ini ada teknologi bernama make up dan skin care. Semua bisa di cover. Bisa ditipu dengan polesan. Kenapa tidak mencoba mengenal lebih dekat dulu sebelum menghakimi?
Lagipula untuk apa sih hanya terjebak pada penampilan kalau tidak punya kualitas diri? Untuk apa menarik kalau tidak baik? Yang penting itu hati. Karena hati nggak bisa membohongi.
Ternyata sudah hampir tengah malam. Langsung cepat cepat aku membersihkan diri dan beristirahat. Setidaknya aku harus mencegah munculnya bulatan hitam di bawah mataku karena kurang tidur.
***
Paginya kak Helen sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Agak malu aku menghampirinya. Seharusnya aku bangun lebih pagi untuk membantunya.
"Kok repot repot sih kak. Harusnya aku aja yang siapin". Masih setengah menguap ku bantu kak Helen menyiapkan piring.
"Enggak apa apa. Sana kumpulin nyawanya dulu. Masih setengah merem itu". Kak Helen meresponku dengan candaan. Mencairkan suasana yang tadinya masih kaku.
"Hehe yang penting udah melek dikit". Balasku.
Kak Pandu menyusul kami di dapur. Kemudian memeriksa pekerjaan kak Helen. Sembari memeluknya singkat dengan sebelah tangannya. Mereka sempat melirik ke arahku sebelum akhirnya saling berpandangan dan tertawa.
"Iya yang pengantin baruuu". Ejekku pada mereka.
"Jangan iriii". Kak Helen menyahut.
"Apa sih. Yuk sarapan. Aku panggil yang lain dulu". Kak Pandu sempat mengacak rambutku sebelum akhirnya pergi melewatiku.
Sarapan kali ini seru sekali. Sesekali dihiasi celoteh dari ponakan kami yang masih kecil. Menambah riuh keadaan. Begitu candu. Atau mungkin aku sudah merindukan momen seperti ini. Jadi tidak berniat untuk mengakhiri. Bahkan kalau bisa, aku ingin menghentikan waktu saja.

Book Comment (41)

  • avatar
    whana pullunknirwanawhana085co,id

    bagus sekali ceritax....

    30/06

      0
  • avatar
    GiyaiDebora

    Hai lagi apa ngapain perkenalkan nama saya Deborag

    09/06

      0
  • avatar
    hhImah

    bagus delali

    01/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters