logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7. Sandal Aruna

"Sial!"
Kulempar ponsel ke sisi ranjang.
Sepertinya, nasib baik belum berpihak padaku, bahkan ketika aku ingin membaca pesan Raka pun, ponsel itu langsung mati.
Sepertinya, aku akan sulit mencari jejak keberadaan Aruna tanpa ponsel itu. Haruskah aku langsung menghubungi Raka, dan menanyakan padanya, tentang pesan yang dia kirim untuk Aruna.
Tapi, akan terlihat konyol jika tiba-tiba aku mendatanginya dan menanyakan tentang Aruna, sementara selama ini yang dia ketahui, hubunganku dengan Aruna baik-baik saja.
Kuacak rambut kasar, dan kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Semua ini benar-benar membuatku frustasi.
Tunggu dulu, bukankah pemilik warung itu cukup akrab dengan Aruna? Karena dia sering belanja di sana. Tidak ada salahnya, jika kucoba ke sana lagi dan menanyakan sesuatu padanya, siapa tahu ada informasi yang bisa kudapat darinya.
Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas mengambil ponsel yang sedang mengisi daya, dan memasukkan ke dalam saku celana. Lalu, mengganti dengan ponsel Aruna, karena aku masih penasaran dengan isi pesan tersebut dan harus mengetahuinya. Karena Raka tidak pernah memberitahukan padaku, tentang hubungan mereka, selain sebatas teman dan tetangga di kampung. Mungin, aku akan mencari tahu hubungan keduanya setelah semua ini selesai.
--
"Mas Juna, tumben ke warung? Mbak Aruna apa tidak masak hari ini?" tanya pemilik warung begitu melihatku datang.
"Itu, Bu, Aruna sedikit ga enak badan, mungkin bawaan bayi" jawabku sedikit berbasa-basi.
"Oh, iya, pasti karena bawaan bayi. Biasa itu, Mas ...." ujar pemilik warung sambil tersenyum, mengiyakan ucapanku.
Aku mengambil duduk di sebelah bapak tua yang sedang menikmati kopi hitamnya, sambil berpikir, apa yang harus kutanyakan pada pemilik warung tentang Aruna. Terlebih saat ini, ada beberapa pembeli. Aku tidak ingin membuat mereka curiga dengan pertanyaanku nantinya. Hingga akhirnya, para tetangga mengetahui kalau ternyata Aruna menghilang dari rumah.
"Nah, kebetulan ada Mas Arjuna di sini, tadi saya ke rumah, tutup. Besok RT kita akan ada kerja bakti, membersihkan selokan dan saluran air. Biasa, antisipasi banjir, Mas. Kan sekarang sedang musim hujan," ucap seseorang yang tidak lain adalah ketua RT.
Pak RT yang baru datang, langsung duduk di sebuah bangku panjang yang ada sebelahku.
"Iya, Pak. Besok saya datang," jawabku sopan.
Aku terpaksa menyanggupi, karena, aku jarang sekali ikut kegiatan di komplek tempat tinggalku, karena kesibukan, dan lebih memilih mengganti dengan uang atau makanan. Biasanya Aruna lah, yang menyiapkan cemilan atau makanan untuk tetangga yang ikut kerja bakti. Ah, hampir saja aku lupa, tujuanku ke sini.
"Bu ... kalau boleh tahu, biasanya istri saya kalau ke sini, pesan makanan apa, ya?" tanyaku ragu.
"Mbak Aruna? Kalau Mbak Aruna, sukanya nasi campur pake telur. Tapi ini sudah lumayan lama ga belanja ke sini," jawab pemilik warung alisnya bertautan.
"Memang, biasanya berapa hari sekali Aruna belanja, Bu?" tanyaku lagi.
Pemilik warung menatapku penuh selidik, buru-buru aku berkata kembali, agar si ibu tidak menaruh curiga padaku.
"Maaf banyak nanya, karena kesibukan saya, jadi kurang memperhatikannya akhir-akhir ini, dan kurang tahu makanan yang selalu dibelinya," ucapku lagi.
"Oh, kalau itu saya juga tahu. Mbak Aruna pernah cerita, kalau Mas Juna sibuk," seloroh ibu pemilik warung.
Aku terdiam, entah harus berkata apa. Aruna bahkan tidak pernah menyalahkanku atas sikap abaiku selama ini, dan lebih memilih memberi alasan sibuk jika ada tetangga yang bertanya tentangku. Tenggorokan seperti tercekat saat mengetahui hal itu, hingga sulit bagiku untuk sekedar menelan ludah.
Aku bahkan tidak mendapat informasi apapun tentang Aruna, seperti yang kuharapkan.
Dengan sedikit kecewa, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Nasi yang tadi kubeli, kuletakkan begitu saja di atas meja, tanpa ada keinginan untuk memakannya.
Mataku menatap ponsel milik Aruna yang sedang mengisi daya.
Sudah terisi 30 persen, cukup untuk membaca pesan dari Raka.
Kuraih dan segera kunyalakan ponsel tersebut dengan cepat.
Setelah beberapa saat, tanganku sudah berselancar ke aplikasi pesan untuk mencari pesan dari Raka.
"Bersabarlah, Aruna. Kamu wanita yang kuat, aku yakin kamu bisa melaluinya."
Tulis Raka dalam pesannya.
Aku semakin penasaran, terlebih, hanya itu pesan yang bisa kutemukan. Apa sebenarnya yang sedang mereka bahas, apakah Aruna menceritakan perlakuanku padanya selama ini pada Raka. Kurang ajar sekali, beraninya dia bercerita pada orang lain.
Aku kembali mencari pesan lain yang bisa kujadikan sebagai petunjjuk, namun nihil. Tidak ada pesan selain pesan dari Raka. Apakah Aruna tidak mempunyai teman atau keluarga yang lain di kota ini?
Ah, entahlah. Memikirkan Aruna, benar-benar membuatku sakit kepala. Karena, selama kami menikah, belum pernah aku berkenalan dengan teman atau keluarganya yang lain, selain orang tua di kampung dan Raka.
---
Minggu pagi, seperti yang dikatakan pak RT kemarin, aku sudah bersiap-siap di depan rumah menunggu warga yang lain muncul untuk kerja bakti. Sambil menunggu warga berkumpul, aku sesekali berbincang dengan warga yang ada di sana. Agak canggung memang, karena aku tidak terbiasa ngobrol ngalor-ngidul. Terlebih, kami jarang berkomunikasi.
Tidak begitu lama, beberapa warga datang, termasuk pak RT.
"Wah, Mas Juna sudah siap," ucap pak RT ramah begitu melihatku ada di antara warga.
"Iya, Pak," jawabku singkat sambil tersenyum.
"Ya sudah, kita mulai dari sini saja, kebetulan, kan, rumah mas Juna berada paling ujung," ujar pak RT.
Dengan menggunakan sekop, aku berusaha mengeruk lumpur dan sampah yang memenuhi selokan, begitupun dengan tetangga yang lain.
"Wah ... orang-orang ini memang bandel, sudah tahu musim hujan, malah membuang sampah di selokan," gerutu seorang warga sambil menaikkan sampah dari selokan ke atas.
Mataku tertuju pada salah satu benda yang ikut terangkat, sandal wanita berwarna coklat itu begitu aku kenal. Itu sandal milik Aruna, baru saja beli beberapa waktu yang lalu, dan aku yang membelikannya untuknya.
"Tunggu, Pak. Itu sandal milik istri saya, mungkin terbawa air dan masuk ke dalam selokan," ucapku sambil memungut sandal yang hanya sebelah itu.
"Wah, beberapa hari yang lalu, istri saya juga menemukan sebelah sandal di depan rumah, dan mirip sama yang ini. Jangan-jangan, gandengannya," timpal pak Surya, tetangga yang berjarak dua rumah dari rumahku.
"Benarkah, Pak?" tanyaku.
"Iya, nanti biar diantar sama anak saya yang sebelahnya, kebetulan belum dibuang sama istri saya," jawab pak Surya.
"Wah, jadi merepotkan jadinya," ucapku.
"Tidak apa-apa, Pak Juna," jawab pak Surya ramah.
Kenapa sandal Aruna bisa tercecer di luar rumah? Benarkah terbawa air hujan? Tapi, kenapa yang sebelah berada di depan rumah pak Surya?
---

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    3d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters