logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6. Jepit Rambut

Pagi ini, aku bangun lebih awal. Teringat dengan mobil yang kutinggalkan di rumah, dan berencana untuk membersihkannya dan mengecek, apakah ada kerusakan selain noda tersebut. Saat menuju meja makan, aroma nasi goreng membuat perutku menjadi lapar. Benar saja, sepiring nasi goreng dengan telur ceplok, telah tersedia di atas meja. Mungkin Moza yang menyiapkan sarapan ini.
Kusuap pelan nasi goreng yang sudah hampir dingin, ketika Moza datang menghampiri dan menarik sebuah kursi di depanku.
Dia mengenakan baju tidur tipis, hingga lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas, serta rambut yang dibalut handuk.
Andai saja saat ini aku tidak sedang dalam masalah, mungkin akan kubopong tubuhnya kembali ke kamar tidur.
Kugelengkan kepalaku beberapa kali, untuk menghalau keinginan yang mulai berseliweran memenuhi kepala .
"Mas ... tumben sudah bangun, biasanya hari libur, selalu bangun siang," ucap Moza begitu dia duduk, kedua tangannya memainkan sendok dan garpu.
"Iya. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di rumah, hari ini. Aku harus membawa mobil ke bengkel. Kamu lihat, kan? Aku ke sini bawa motor semalam?" jawabku.
"Sayang sekali, padahal aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Sudah lama sekali kita tidak liburan," rengek Moza. Dia mulai mendekatkan kursinya ke arahku, dan memegang lenganku manja.
Kuletakkan sendok di atas piring, nafsu makanku menjadi hilang, begitu mendengar Moza ingin jalan-jalan, dan membuatku ingin cepat-cepat keluar dari rumah. Bukan karena tidak ingin menuruti permintaannya, hanya saja, waktunya kurang tepat. Toh, aku selalu menuruti semua permintaannya selama ini.
"Tapi, tidak apa-apa, deh, aku bisa belanja sendiri. Tapi ... Mas bisa, kan, mengantarku sampai depan sana?" ucap Moza kemudian.
"Tapi, aku bawa motor, Za." Kucoba mengingatkan Moza, kalau aku tidak membawa mobil.
"Iya, aku tahu. Aku cuma minta dianterin sampe depan saja. Setelah itu, aku akan naik taksi," ujarnya, hingga aku tidak dapat menolak keinginanya.
Aku mengehela napas dalam, lalu berkata, "Baiklah. Cepat ganti baju, tapi jangan lama-lama, karena aku buru-buru," jawabku. Toh hanya mengantar Moza sampai ke halte depan saja.
Moza bergegas masuk ke dalam kamar.
Sambil menunggu Moza, aku mengutak-atik ponsel dan membuka galeri foto. Ah, ternyata selama ini, aku suka sekali berfoto setiap kali ada kesempatan.
Banyak sekali foto Moza tersimpan dalam ponselku, dan aku baru menyadari, kalau hampir semua foto yang aku simpan, adalah foto Moza dan tidak kutemukan satupun foto Aruna.
Padahal aku ingat, beberapa kali mengambil fotonya, namun, kenapa tidak satupun foto Aruna yang tersimpan. Apakah Moza menghapus semua fotonya?
"Aku siap."
Moza muncul dan membuyarkan lamunan. Dan dia terlihat sangat cantik dengan dress selutut warna hijau melon.
Mumpung aku ingat, akan kutanyakan pada Moza, apakah dia yang telah menghapus foto-foto Aruna dari galeri ponselku.
"Moza, apakah kamu telah menghapus foto ...."
Aku menggantung kalimat, ketika melihat jepit rambut yang dipakai Moza. Sepertinya aku pernah melihatnya belum lama ini, tapi, aku lupa di mana.
"Foto apa, Mas?" tanya Moza. Tangannya sibuk merapikan baju dan sesekali menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Membuatku dengan jelas melihat jepit yang dia pakai.
Aku sangat yakin, pernah melihat jepit itu, tapi di mana? Haruskah kutanyakan padanya tentang jepit rambut itu juga?
"Kok malah bengong?" Moza meraih tanganku, membuyarkan lamunan.
"Kamu beli jepit rambut baru?" selidikku.
"Iya Mas, bagus, kan? Ini dari swarovsky, lho. Tapi sayang, yang satu hilang," ucapnya sambil menekuk wajah. Dia terlihat sedih, mungkin karena kehilangan jepit rambut itu.
Dadaku bertalu, berdetak kencang ketika Moza mengatakan ada dua jepit rambut, membuatku semakin yakin pernah melihat jepit itu sebelumnya. Tuhan ... kenapa aku bisa lupa, kapan dan di mana aku melihat jepit rambut itu sebelumnya?
"Kok, bisa hilang? Terus, hilangnya di mana?" selidikku.
"Oh, itu ... aku lupa nyimpannya, atau mungkin terjatuh ketika aku memakainya," jawab Moza gugup.
Moza memalingkan wajah, seolah menghindari tatapan mataku. Dia juga terlihat gugup, setiap kali matanya bersirobok denganju. Apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Atau hanya perasaanku saja? Entahlah.
---
Setelah menurunkan Moza di halte, kupacu motor matic. Motor ini sepertinya tidak bisa melaju kencang, mungkin karena ini memang motor tua. Tapi, belum pernah sekalipun Aruna mengeluh tentang motor ini, tidak sekalipun. Bahkan, dia tidak pernah memintaku untuk dibelikan mobil atau sekedar diantar menggunakan mobil.
Motor inilah, satu-satunya kendaraan yang selalu dibawa ke manapun dia pergi. Bahkan ketika sesekali dia bertemu dengan teman-temannya, motor inilah yang dipakainya.
Hal itu sangat berbeda sekali dengan Moza, yang selalu menuntutku dibelikan ini dan itu. Bahkan dia juga meminta dibelikan mobil baru, hanya karena teman arisannya pakai mobil baru. Baginya, barang mewah adalah sebuah identitas. Entah dari mana dia mendapatkan pemikiran seperti itu, namun, tetap saja, aku tidak bisa atau menyuruhnya untuk merubah cara pikir tersebut.
Tapi, tunggu dulu ... kenapa dia memilih naik taksi, kemana mobilnya? Apakah mobilnya rusak?
Ah, aku sampai tidak memperhatikan hal itu tadi, saking sibuknya memikirkan untuk segera pulang dan melihat keadaan mobil di garasi.
Kutuntun motor memasuki halaman, karena tepat di depan gerbang, ternyata bensinnya habis. Beruntung sekali tidak kehabisan bensin di tengah jalan. Daun-daun kering berserakan di mana-mana, hal ini sangat jelas kulihat saat siang hari begini, membuat halaman depan terlihat begitu kotor.
Aku langsung menuju garasi, dan memasukkan motor sekaligus hendak mengeluarkan mobil dan mencucinya.
Akan tetapi ....
Hey ... mobil ini bersih, tidak ada bercak atau noda apa pun. Hanya sedikit kotoran yang diakibatkan cipratan air hujan.
Aku mengucek mata beberapa kali, memastikan kalau aku tidak salah lihat. Namun tetap saja, tidak kutemui noda darah seperti yang kulihat kemarin. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, dan sekali lagi melihat ke mobil. Tidak ada noda apa pun.
Benar-benar aneh, gumamku.
Karena tidak menemukan sesuatu yang aneh di mobil, bergegas aku masuk ke dalam rumah.
Baterai ponsel sudah hampir habis, dan aku harus mengisi daya.
Kubaringkan tubuh ke atas tempat tidur, sambil mengingat tempat atau saudara Aruna, yang akrab dengannya. Bagaimana pun, aku harus menemukan keberadaannya.
Kuletakkan tangan di atas kepala, karena mengantuk, tanganku terkulai dan jatuh. Saat itulah, tanganku menyentuh sesuatu di dekat bantal.
Aku mengambil sesuatu tersebut, yang ternyata adalah ponsel milik Aruna yang kutemukan beberapa hari yang lalu dan hampir saja aku lupa.
Penasaran, aku membuka ponsel itu, berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaannya.
Jariku menelusuri aplikasi pesan miliknya.
Tidak ada pesan yang masuk ke sana, selain pesan dariku, namun ada satu pesan yang rupanya belum sempat dibaca oleh Aruna.
Mataku membulat, ketika melihat nama pengirimnya, Raka.
Raka? Kenapa dia mengirim pesan pada Aruna?
Dengan cepat, aku membuka pesan tersebut. Namun, belum sempat aku membaca isi pesan tersebut, tiba-tiba ponsel Aruna mati, karena baterainya habis.
"Sial!" umpatku sambil melempar ponsel tersebut ke sisi tempat tidur.
---

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    3d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters