logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

5. Apa yang Disembunyikan Moza?

"Aruna ...." panggilku lirih, pada Aruna yang berdiri di belakang Moza.
Aruna tersenyum, manis sekali. Hingga kedua lesung pipinya jelas terlihat. Lesung pipi, yang membuatku jatuh cinta dengannya pada pandangan pertama. Ada desir halus di dada saat melihat senyum itu.
"Mas, kamu mabuk?!" ucap Moza setengah berteriak.
Aku terhenyak dan hampir saja terjatuh, ketika Moza mendorong bahuku dengan kuat.
Berusaha menahan keseimbangan tubuh, agar tidak limbung. Kukucek mata dengan ujung jari, yang terlihat hanya wajah Moza, dengan tatapan penuh amarah. Kedua alisnya bertaut dan mulut yang mengerucut.
Ah, sepertinya, malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak lagi.
"Moza, aku lelah sekali," ucapku, lalu berjalan melewatinya yang masih berdiri di pintu.
Moza berlari mengejarku, seolah tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.
"Mas, kita harus bicara. Ini penting sekali!"
Aku menghentikan langkah, memutar tubuh dan menatap Moza yang berdiri di belakangku dengan tatapan yang menantang.
"Moza, please ... aku sangat lelah, biarkan aku istirahat sebentar," ucapku lirih, lebih tepatnya, mengiba.
Moza mendengkus, tidak puas dengan apa yang baru saja kukatakan, lalu kembali wanita yang berdiri di depanku ini berkata, "Mas, kamu berubah. Tiga hari kamu tidak pulang, dan kini, kamu mengabaikanku, bahkan salah memanggil namaku," oceh Moza yang berjalan di belakangku.
Aku sengaja berlalu begitu saja ketika dia berbicara. Karena, aku sungguh tidak ingin berdebat dengannya, setidaknya, untuk malam ini. Aku benar-benar lelah.
Aku kembali menghentikan langkah, kutarik napas dalam. Setiap kali berhadapan dengannya, selalu membuatku tidak berkutik. Walau awalnya ingin mengabaikannya, namun entah kenapa, aku tidak pernah punya keberanian untuk melakukannya. Dan keinginan itu hanya sekedar angan semata.
"Baiklah, apa yang ingin kamu katakan?" tanyaku kemudian. Berharap setelah ini, semua akan menjadi lebih baik.
"Mas ... sepertinya, ada yang menggangguku," jawabnya lirih.
Aku tersenyum, dan tawaku akhirnya meledak seketika. Rasa kesal mendadak hilang, mendengar ucapannya. Ah ... memang siapa yang berani mengganggunya? Apakah dia ingin mencari perhatianku saja?
"Siapa yang berani mengganggumu? Mantan kamu?" tanyaku kemudian setelah tawaku reda.
"Mas, aku serius," protesnya. Wajah Moza berubah serius, bisa kulihat ada sorot ketakutan dari matanya.
"Baiklah, aku juga serius. Siapa yang berani mengganggumu?" tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya.
"Setannya Arun ...." Moza menggantung kalimatnya.
Aku membulatkan mata, kutatap wanita yang berdiri di depanku ini lekat. Wajahnya yang tadi terlihat kesal, kini berubah serius, ada sorot ketakutan yang kutangkap dari matanya.
Tapi, bukan itu yang membuatku terkejut, namun ketika dia menyebut nama Aruna dengan kata Setan.
"Moza, apa yang baru saja kamu katakan?" cecarku sambil mengguncang kedua bahunya.
Mendengar nama Aruna, membuat pikiranku menjadi makin runyam, bahkan kini, berbagai spekulasi berseliweran di kepala.
"Ma--maksudku, setan yang mirip Aruna," jawabnya gugup. Tapi, kenapa Moza menjadi gugup saat mengucapkan nama Aruna? Atau hanya perasaanku saja? Entahlah.
"Aruna tidak mungkin menjadi setan, Moza. Tapi, setan bisa berubah menjadi apapun, bahkan bisa menyerupai Aruna," ucapku lirih. mencoba menenangkannya agar tidak lagi ketakutan.
Aku menuntun Moza menuju kamar yang berada di lantai atas, namun saat melewati lorong ruangan, aku merasa ada yang sedang berjalan di belakangku. Kuraba leher belakang yang terasa dingin, dan mengusapnya pelan. Namun, justru terasa lebih dingin, seolah ada yang meniupnya dari belakang.
Aku mengusap wajah kasar, teringat apa yang baru saja kulihat ketika baru saja datang tadi, juga kejadian aneh beberapa hari terakhir.
Apakah ini ada hubungannya dengan hilangnya Aruna? Kemana sebenarnya dia pergi?
"Setan?" ulangku. Mencoba meyakinkan diri sendiri, kalau aku tidak salah dengar.
"Iya, aku yakin, ini ulah Aruna. Dia ingin memisahkan kita, Mas."
"Jangan ngaco, Aruna tidak mungkin melakukan hal itu. Aku tahu persis siapa dia," sanggahku.
"Lagipula, Aruna tidak mengetahui hubungan kita, Moza. Sudahlah, kamu hanya berhalusinasi saja," ucapku lagi.
Kutinggalkan Moza yang mematung di lantai bawah. Tubuh rasanya sudah tidak bisa lagi diajak kompromi dan menuntut haknya untuk istirahat.
Mungkin, mandi air hangat akan membuatku merasa lebih segar dan mengurangi rasa tegang.
Kuletakkan tas di atas nakas, lalu menuju kamar mandi untuk mengisi bathtub dengan air hangat untukku berendam, sambi menunggu terisi, kulucuti pakaian yang sudah menempel di tubuh selama dua hari, terasa lengket sekali.
Aku membenamkan tubuh dalam air hangat, sambil merebahkan kepala di tepi buthtub.
Rasa hangat menelusuk kulit, membuatku sedikit rileks.
Lalu, aku membenamkan seluruh tubuh dan kepala ke dalam air yang penuh busa.
Kubiarkan ragaku tenggelam dalam air hangat, setelah beberapa saat, aku berniat untuk mengakhiri berendamku.
Akan tetapi, ketika hendak bangkit dan mengambil napas, aku merasa seseorang justru menekan kepalaku untuk tetap berada dalam air.
"Rasakan ini!"
Samar, kudengar seseorang berdesis, sambil menekan kepalaku ke dalam air.
Sekuat tenaga, aku mencoba untuk bangkit, namun tenaga yang memegang kepalaku begitu kuat. Air memenuhi mulut dan kerongkongan, saat aku berusaha melawan.
Arrhh ....
Akhirnya, aku berhasil melepaskan tangan yang berusaha membenamkan kepala dalam buthtub.
Dengan napas terengah, aku merangkak keluar dan berusaha keluar dari kamar mandi.
Braak!!!
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka paksa, dengan pandangan kabur, kulihat Moza berdiri dengan wajah panik, ketika melihatku merangkak di lantai kamar mandi.
"Mas, Mas ... apa yang terjadi?!" tanya Moza panik.
"Ada yang ingin membunuhku ...." jawabku dengan napas ternegah.
Moza mengambil handuk, dan menutup tubuhku, sebelum membantuku berjalan.
Disodorkannya segelas air putih padaku, ketika aku sudah merasa tenang.
"Moza, apakah kamu melihat seseorang yang masuk ke dalam rumah ini?" selidikku.
"Jangan menakutiku, Mas. Tidak ada yang masuk dalam rumah ini. Sejak tadi, aku berada di kamar, lalu mendengar suara berisik dari dalam kamar mandi. Setelah aku masuk, kamu sudah berada di lantai. Apa yang terjadi?" cecar Moza balik.
"Kamu yakin, tidak ada orang lain selain kamu?" selidikku.
"Mas ... apa yang ada di dalam kepalamu? Apa kamu sudah tidak waras?" omel Moza.
Aku memijit kening yang terasa pusing, rasanya aneh dan janggal sekali. Karena, aku benar-benar merasa ada yang telah berusaha mencelakakan aku tadi, dengan membenamkan kepalaku di buthtub.
Tapi, Moza bilang, tidak ada siapa-siapa di rumah ini.
Lalu, siapa tadi yang melakukannya?
"Tunggu dulu. Tadi Mas bilang, ada yang ingin mencelakaimu? Aku yakin, itu Aruna yang ingin membalas dendam," desis Moza.
"Balas dendam ... apa yang kamu bicarakan sebenarnya? Dan kenapa Aruna?" Aku mengernyit.
"Eh, anu, maksudku ... mungkin Aruna dalang dari semuanya ini," jawab Moza gugup.
Kutatap wanita yang duduk di sebelahku lekat, sorot matanya, seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan dia selalu menghubungkan semua kejadian yang kualami dengan Aruna. Apa sebenarnya yang sedang dia sembunyikan dariku?
---

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    4d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters