logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

4. Berawal Dari Sini

Aku masih termangu, menatap bamper depan mobil yang terdapat bercak darah yang sudah mengering, sambil mengingat kembali kejadian semalam, ketika mobil yang saat itu kukendarai seperti menabrak sesuatu.
Aku ingat betul, tidak menemukan apa pun semalam, bahkan, tidak terdapat bercak ini. Kalaupun ada, pasti sudah hilang terguyur air hujan yang turun cukup deras semalam.
Drtt ... drtt ....
Getaran ponsel dari saku celana, membuatku tersentak.
Buru-buru kukeluarkan ponsel, nama Raka terpampang di layar. Benar-benar menyebalkan, saat aku harus mengejar waktu, dia sibuk meneleponku.
"Kamu dalam masalah besar, Juna," cerocos Raka, begitu kugeser tombol hijau pada layar ponsel.
"Maksudnya, apaan?" selidikku.
"Mending kamu langsung ketemu boss saja langsung."
Raka mengakhiri panggilan, sebelum aku menjawab atau bertanya lagi.
Aku benar-benar terlambat untuk ke kantor, dan tidak mungkin menggunakan mobil ini dalam kondisi seperti itu.
Dalam kebingungan, ekor mataku melihat motor matic yang berada di sudut garasi. Motor yang sering digunakan Aruna untuk berbelanja ke pasar, dan merupakan kendaraan yang kugunakan sebelum aku mempunyai mobil.
Walau lumayan tua, namun motor matic ini masih terawat dengan baik. Bahkan, kuncinya pun masih menggantung di sana.
Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk mengendarai motor Aruna ke kantor. Setidaknya, itu jauh lebih baik daripada menggunakan mobil dengan bercak darah.
---
"Habis kamu!"
Raka mencegat langkahku begitu melihatku masuk ke dalam ruangan.
Wajahnya tampak serius dan tegang, seperti baru saja terlepas dari kejaran penagih hutang.
"Bagaimana dengan boss?" tanyaku setengah berbisik.
Sementara itu, beberapa karyawan memerhatikanku dengan wajah yang entah. Melihat ekspresi mereka, membuatku merasa bahwa akan ada hal buruk yang akan menimpaku.
"Sudah pergi, dan dia memintamu untuk menemuinya."
"Sekarang?" Aku mengernyit.
"Minggu depan." Raka menjawab sambil berlalu.
"Ada apa, sih, boss mendadak ke sini?" selidikku, sambil menjajari langkah Raka.
Bukannya menjawab, Raka hanya mengangkat kedua bahunya.
Benar-benar sial.
Aku bangun kesiangan dan terlambat datang ke kantor pun, gara-gara semalam aku bertemu dengannya. Bisa-bisanya dia mengacuhkanku seperti itu.
Kuputuskan untuk segera menuju ruangan boss, pemilik perusahaan tempatku bekerja ini.
Apa yang membuat boss besar datang ke kantor sepagi ini, biasanya dia selalu memercayakan semua nya pada sang asisten pribadi.
Seorang pria paruh baya menatap tajam ke arahku, begitu aku masuk.
Tatapannya dingin, seperti hendak menelanku bulat-bulat.
"Duduklah!" perintahnya, sebelum aku sempat mengucap salam.
"Berapa lama kamu bekerja di perusahaan ini, dan kapan terkahir kali kamu dapat promosi jabatan?" cecarnya, begitu pantatku menyentuh kursi.
"Sudah sepuluh tahun, Pak. Terakhir dapat kenaikan jabatan dua tahun yang lalu," jawabku dengan menahan detak jantung yang melompat-lompat.
"Kamu sudah cukup lama bekerja di sini, bahkan kamu juga sudah mendapatkan kenaikan jabatan, tapi hasil kerjamu, justru tidak ada kenaikan sama sekali. Justru makin merosot," ujarnya. Lalu menyodorkan setumpuk map tepat di depanku.
"Aku ingin kamu menjelaskan tentang semua laporan pengeluaran yang sudah kamu buat ini," lanjutnya.
"Kamu pasti sudah tahu konsekuensinya, jika kamu tidak bisa menjelaskan semua ini," lanjutnya lagi, seolah tidak ingin memberiku kesempatan untuk berkata.
Aku memilih diam, menundukkan kepala dalam-dalam, sambil berpikir, bagaimana aku mengatasi semua ini.
Jika aku tidak memperbaiki laporan itu, berarti aku harus mengganti semua uang yang sudah ku 'Mark Up," namun, jika kubiarkan, resikonya, aku bisa dipecat bahkan dilaporkan ke polisi karena korupsi. Benar-benar dilema.
Aku keluar dari ruangan bos sambil membawa setumpuk berkas di tangan.
"Juna ...."
Raka menggantung kalimatnya, ketika melihatku berjalan melewatinya dengan membawa setumpuk berkas. Dari ekor mata, bisa kulihat Raka mengikutiku masuk ke dalam ruanganku lalu menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kursi dan meletakkan kedua tangan di atas kepala.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Akhir-akhir ini gue perhatikan, Lo sering melamun dan uring-uringan. Dan tadi boss bilang, kalau kerja lo juga ...." ucap Raka.
"Gue ga apa-apa, hanya sedikit masalah di rumah. Kayaknya, gue akan lembur malam ini," jawabku.
Kurapikan berkas yang berserakan di atas meja, ada banyak sekali pekerjaan yang harus kuselesaikan. Namun, pikiran tidak mendukung untuk tetap fokus. Bayangan Aruna beberapa kali muncul secara tiba-tiba, juga pesan dari Moza, yang meminta penjelasan, karena beberapa hari tidak pulang ke rumahnya.
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Baiklah, gue pulang duluan," ucap Raka menepuk bahu, lalu dia berlalu meninggalkanku.
Kantor sangat lengang, ketika aku berjalan menuju pentri untuk membuat kopi, sebagai teman lembur malam ini.
Seorang office boy, menyapaku ketika aku melewatinya saat dia membersihkan lantai.
"Mas ... sampai kapan kamu akan menghindariku? Apa perlu, aku menyusul ke rumahmu?"
Kubaca pesan Moza dengan malas. Entah sudah berapa kali, dia mengirim pesan padaku, meminta untuk menemaninya.
Andai saja aku tidak sedang dalam masalah di kantor, permintaan Moza akan menjadi sesuatu yang paling aku tunggu.
"Aku masih lembur," balasku dalam pesan.
Kubereskan meja kerja, dan bersiap-siap akan pulang.
Mungkin ada baiknya, aku menemui Moza.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, ketika keluar dari kantor.
Kupacu motor matik menembus udara malam, menuju rumah Moza.
Rumah dengan gaya arsitektur kuno, berdiri angkuh seperti tuan tanah di bawah temaram lampu taman dan jalan. Entah apa yang membuat Moza menyukai rumah ini, karena menurutku, rumah ini memiliki kesan angker dan suram.
Terdengar suara langkah kaki menuju pintu, sesaat kemudian, terdengar suara anak kunci yang diputar. Menit berikutnya, sosok wanita berambut sebahu muncul dari balik pintu.
"Aruna ... apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku, ketika melihat ternyata yang membuka adalah Aruna.
"Mas ... apa yang kamu katakan, dan, kenapa kamu datang memakai motor?"
Aku menggelengkan kepala, sosok Aruna yang tadi kulihat, perlahan memudar dan hilang, hingga akhirnya berganti menjadi Moza.
Wanita itu menatapku dengan sorot mata kebingungan, bibirnya berkomat-kamit mengucapkan kalimat yang tidak kudengar dengan jelas. Karena, pandangan mataku tertuju pada sosok yang berdiri di belakangnya.
"Aruna ...."

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    4d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters