logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Puzzle

"Mas ...."
Aku menghentikan langkah tepat di depan pintu, saat telinga samar-samar mendengar seseorang memanggil.
Kuedarkan pandangan ke sekitar halaman, sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana, bahkan, jalan di depan rumah, begitu lengang. Yang tampak hanya bayangan pepohonan dari pantulan lampu jalan.
Ayolah, Juna. Kamu hanya terlalu memikirkan Aruna sehingga mengganggu pikiran.
Rutukku sambil memukul kepalaku sendiri.
Kuhempas tubuhku di atas sofa, dan mulai menyantap makanan yang baru saja kubeli.
Walau perut terasa lapar, namun rasanya enggan sekali mulut untuk mengunyahnya.
Kembali, aku teringat kata-kata pemilik warung yang mengatakan kalau Aruna sedang hamil.
Benarkah Aruna hamil? Kenapa dia tidak memberitahukan padaku?
Suami macam apa aku ini, yang tidak mengetahui kalau istrinya sedang hamil.
Kuletakkan sendok begitu saja di atas meja, dan meneguk habis teh hangat, karena tiba-tiba, leher seperti tercekat.
Tapi, kemana perginya Aruna, jika dia memang hamil? Apa dia sengaja menyembunyikannya dariku?
Kepalaku tiba-tiba menjadi berat, pandangan menjadi berkunang-kunang.
"Mbak Aruna ke sini sekitar dua minggu yang lalu."
Kalimat yang diucapkan pemilik warung tadi, kembali bergema di gendang telinga.
Dua minggu yang lalu?
Bukankah itu ketika aku berpamitan pada Aruna untuk pergi ke Bali? Waktu di mana aku dan Moza ....
Kepalaku terasa semakin berdenyut, hingga akhirnya, semua menjadi gelap.
---
"Ke mana saja Lo semalam, Moza nelponin gue terus," oceh Raka, begitu aku sampai di kantor pagi ini. Dia bahkan mengikuti sampai ke ruanganku dan duduk di meja, sembari menunggu jawaban dariku
"Sori, semalam gue pulang ke rumah," jawabku sambil meletakkan tas di atas meja.
"Elo pulang ke rumah? Terus, gimana reaksi Aruna setelah melihatmu pulang?" selidik Raka.
Mendadak, wajah Raka berubah serius, ketika dia menanyakan tentang Aruna. Apakah dia ....?
"Kok, malah bengong," lanjut Raka.
Dia masih menatapku tajam, pandangan matanya begitu menghujam, hingga membuatku seperti sedang diinterogasi.
"Aruna ... dia baik-baik saja lah, memangnya, apa yang bisa dia lakukan?" jawabku.
Akan tetapi, Raka masih terus menatapku, seolah dia mengetahui bahwa aku sedang berbohong padanya.
"Juna ... sampai kapan kamu akan menyembunyikan semuanya dari Aruna?" ucap Raka.
Aku menahan napas, jujur, aku kurang suka dengan perkataannya itu. Walau dia sahabatku, namun aku tidak suka jika dia terlalu ikut campur dengan urusan pribadiku.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, kamu menyukainya?" tanyaku sedikit emosi.
"Hei ... ada apa denganmu? Aku hanya menanyakan kabar Aruna, tidak lebih. Bagaimanapun juga, sebelum Aruna menikah denganmu, dia adalah teman sekaligus tetanggaku di kampung," protes Raka.
"Raka, aku tidak bermaksud begitu. Aku benar-benar minta maaf," ujarku.
Raka menarik napas dalam, lalu dia berjalan meninggalkanku. Namun, baru beberapa langkah, Raka berhenti dan menoleh sambil berkata, "Hentikan kegilaanmu, kasihan Aruna. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan mengetahuinya."
Tenggorokanku seperti tercekat, mendengar ucapan Raka.
Apakah Aruna pergi dari rumah, karena dia telah mengetahui semuanya?
Kuusap wajah dengan kasar, sepertinya, beberapa hari terkahir ini, banyak sekali masalah yang menimpaku.
Hari ini, aku memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Dan berharap, ketika aku pulang nanti, Aruna sudah berada di sana.
Baru saja mobil keluar dari tempat parkir, hujan turun dengan deras.
Aku benar-benar benci cuaca seperti ini. Harusnya aku bisa memacu mobil agar cepat sampai, namun karena hujan, mobil berjalan merayap.
Di sebuah perempatan lampu merah, aku berhenti. Seorang anak kecil datang sambil menawarkan dagangannya, donat hangat, katanya.
Kukeluarkan selembar uang pada anak itu, dan dia membungkus beberapa kue ke dalam kantong plastik.
Dari dalam mobil, aku memerhatikan anak kecil itu manahan dingin dari balik jas hujan lusuhnya, sambil tangan kecilnya memasukkan satu persatu donat ke dalam kantong plastik.
Aku membuka sedikit jendela, ketika dia menyerahkan kantong plastik padaku.
Akan tetapi, mataku tiba-tiba tertuju pada seorang wanita yang mengenakan gaun selutut berwarna biru, menyeberang jalan sambil memegang payung. Di sebelahnya, seorang wanita tengah baya, menggandeng tangannya.
"Aruna ... Aruna ...." panggilku beberapa kali.
"Om, Om ... ini donatnya."
Aku tersentak, ketika bocah penjual donat memanggilku.
Buru-buru aku menerima kantong plastik yang diberikan padaku, dan kembali melihat ke arah jalan, di mana aku melihat Aruna menyeberang.
Akan tetapi, tidak kutemukan Aruna atau orang lain menyebarang.
Mataku sibuk mencarinya, sampai aku melongokkan kepala ke luar jendela, demi memastikan, bahwa aku tadi tidak salah lihat.
Tin tin ....
Klakson bersahutan, memaksaku untuk segera melajukan mobil.
Beberapa mobil di belakang, melaju mendahului, samar-samar, aku mendengar beberapa umpatan ditujukan padaku, karena tidak segera menjalankan mobil.
Pukul 7 malam, aku baru sampai di rumah.
Tidak seperti kemarin, lampu rumah sudah menyala, bahkan lampu teras juga sudah dinyalakan. Apakah Aruna yang menyalakan lampu?
Jika benar, berarti wanita yang kulihat di perempatan lampu merah tadi, memang dia.
"Aruna ... kamu sudah pulang?" tanyaku begitu masuk ke dalam rumah. Namun, tidak ada jawaban.
Perlahan, aku berjalan menuju ruang tengah. Entah kenapa, aku merasa rumah ini begitu besar, terlebih, saat aku harus mencari keberadaan Aruna.
Langkah kakiku terhenti ketika terdengar seperti sesuatu yang jatuh di lantai atas.
Mendadak, aku merasa hawa rumah ini begitu dingin.
Bergegas, aku melangkahkan kaki menuju lantai atas, di mana arah suara berasal.
Pintu kamar yang tadi pagi kubiarkan terbuka, membuatku langsung masuk ke dalam.
Dan, meoong ....
Seekor kucing anggora berwarna putih menyambutku manja, sambil mengelilingi kakiku.
"Snowy ...." panggilku sambil mengelus punggungnya.
Snowy adalah kucing kesayangan Aruna, dan dia ada di kamar ini. Itu artinya, Aruna pasti juga ada di sini.
"Mas ...."
"Aruna ...." panggilku, setelah kulihat Aruna muncul dengan mengenakan baju seperti yang kulihat di perempatan lampu merah tadi.
Tapi, kenapa wajah Aruna begitu pucat?
"Aruna, kamu dari mana? Kamu pucat sekali, dan tanganmu begitu dingin," ucapku, saat aku menyentuh punggung tangannya.
Aruna diam tanpa ekspresi, tatapannya kosong.
Aku menggenggam telapak tangannya, berusaha memberi kehangantan padanya. Namun, aku justru merasakan telapak tangan Aruna semakin lembek.
"Mas ... tolong aku," lirihnya.
Aruna mendongak, dan aku melihat wajah Aruna semakin pucat. Bahkan wajahnya seolah tidak memiliki darah. Sampai aku menyadari, kalau ternyata, yang berdiri di depanku bukanlah Aruna, karena dia tidak memiliki bola mata.
Aku mundur beberapa langkah ke belakang, sosok Aruna yang berdiri di depanku tampak begitu menakutkan. Untuk beberapa saat, sosok yang menyerupai Aruna ikut mematung, namun tatapan matanya masih menatap tajam ke arahku, dengan bola mata kosong hitam.
---

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    4d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters