logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Kembalikan Istriku

Kembalikan Istriku

Yani Santoso


1. Tolong Aku, Mas

Hari ini, aku memutuskan untuk pulang lebih awal, setelah acara meeting tadi sore.
Jarum jam di arloji menunjukkan pukul 5 sore, ketika mobil yang kukendarai memasuki halaman rumah yang dibiarkan terbuka lebar.
Ah, ceroboh sekali wanita itu, rutukku.
Setelah memarkir mobil, aku mengunci pagar dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Halaman rumah ini begitu kotor, seperti tidak pernah disapu.
Apa saja yang dilakukannya di rumah, jika membersihkan halaman saja, tidak sempat.
Lagi-lagi, aku menggerutu, merutuk Aruna, istriku.
Aku termangu tepat di depan pintu, ada rasa ragu ketika hendak mengetuk.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling.
Keadaan rumah benar-benar tidak terurus, seperti rumah tanpa penghuni. Bahkan, teras rumah dipenuhi debu, daun-daun kering berserakan dan dibiarkan begitu saja.
Tiba-tiba, tubuhku merinding, kurasakan bulu halus di lengan meremang.
Kukeluarkan kunci dari dalam saku celana, untuk membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, bau apek dan pengap menyeruak keluar, hingga membuatku terbatuk.
Kutekan tombol saklar, dalam sekali tekan, seluruh ruangan menjadi terang benderang.
"Arun ... Arun ... buatkan aku minuman hangat," ucapku, memanggil Aruna beberapa kali.
Kurebahkan tubuh lelahku di atas sofa, yang sedikit berdebu, menunggu Arun datang membawakan segelas air hangat.
Baru beberapa saat, rasa kantuk menyerang.
"Mas ... tolong aku, Mas ...."
"Aruna, apa yang kamu lakukan di situ?"
"Mas ... tolong aku, di sini gelap sekali."
"Aruna ... Aruna ....!"
Kudapati tubuhku bermandi peluh dan masih berada di atas sofa ruang tamu.
Ah ... Rupanya aku bermimpi. Sebuah mimpi yang cukup aneh, karena aku melihat Aruna di kejauhan sambil melambaikan tangan meminta tolong padaku, sementara di sebelahnya, seorang wanita berdiri membelakangiku, sehingga tidak bisa kukenali siapa dirinya. Namun, bentuk tubuh dan rambut itu, seperti tidak asing bagiku.
Kuseka keringat yang membasahi wajah, sambil mengatur napas yang ngos-ngosan seperti baru ikut maraton.
Kulirik arloji di pergelangan tangan, waktu menunjukkan pukul 7.15 malam. Rupanya cukup lama aku tertidur di atas sofa ini.
Akan tetapi, kenapa Aruna belum juga membuatkan minuman untukku.
Kuputuskan untuk bangun dan mencari Aruna di lantai atas, siapa tahu dia ada di sana.
"Aruna ...." panggilku pelan, sambil membuka pintu kamar.
Langkahku terhenti, karena ternyata, lampu di dalam kamar belum dinyalakan. Kuraba letak saklar, untuk menyalakan lampu.
Begitu lampu menyala, tetap tidak kutemukan Aruna di sana.
Hal itu membuatku frustasi.
Kukeluarkan ponsel dari saku celana bermaksud untuk meneleponnya, namun belum sempat kutekan tombol panggil, sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau.
"Mas, tolong aku."
Aku terbelalak membaca pesan Aruna. Apa sebenarnya yang terjadi pada istriku itu. Kenapa dia mengirim pesan untuk meminta tolong.
Kuputuskan untuk menelepon nomor Aruna, namun ....
Kring ... kring ....
Suara dering telepon yang berasal dari dalam kamar. Kutajamkan pendengaran, untuk mencari sumber suara.
Aku berjalan mengelilingi kamar, dan berhenti di sudut kamar, berjongkok untuk melihat kolong ranjang, di mana suara dering telepon berasal.
Di bawah sana, kulihat sebuah ponsel tergeletak dan berkelap-kelip karena ada panggilan masuk.
"Ini, kan, ponsel Aruna?" ucapku setelah mengambil ponsel tersebut, yang ternyata milik Aruna.
Tapi, kenapa ponsel ini ada di sini?
Ke mana Aruna?
Entah kenapa, pikiranku menjadi kacau.
Rasa khawatir muncul, terlebih, Aruna tidak pernah berbuat seperti ini sebelumnya.
Aku mencoba mencari sesuatu di kamar, yang mungkin bisa kujadikan sebagai petunjuk, namun, nihil.
Kamar ini rapi, tidak terlihat ada tanda-tanda ada orang masuk ke sini, atau telah terjadi kekerasan.
Aku kembali melongokkan kepala ke bawah tempat tidur, dengan menyalakan senter dari ponsel. Sesuatu yang mengkilat tertangkap mata, aku meraihnya.
Sebuah jepit rambut berwarna silver dengan bunga mawar kecil di atasnya.
Aruna tidak pernah memakai jepit rambut seperti ini, dan aku yakin, ini bukan miliknya.
Tapi, kenapa jepit ini bisa ada di bawah tempat tidur? Apakah Aruna baru saja membelinya dan terjatuh di sana?
Aku mengacak rambut frustasi.
Semua ini benar-benar membuatku pusing.
Kuputuskan untuk kembali turun ke bawah, kali ini, kulangkahkan kaki untuk menuju ke halaman belakang, tempat Aruna menghabiskan hari-harinya menanam berbagai macam bunga, berharap, dia ada di sana.
Kubuka pintu belakang, angin malam menerpa wajahku begitu pintu terbuka.
Rupanya sedang gerimis, hingga air yang terbawa angin masuk ke dapur. Suasana di halaman belakang sangat berantakan.
Bekas pot dan poly bag berserakan di mana-mana.
Buru-buru kututup kembali pintu, karena angin berhembus cukup kencang.
"Mas ... tolong aku."
Aku mematung di belakang pintu, ketika tiba-tiba, telingaku mendengar Aruna memanggilku dan meminta tolong.
"Aruna ... apakah itu kamu? Jangan bercanda seperti ini, Runa," lirihku.
"Mas ...."
Kembali, terdengar suara lirih memanggilku.
Aku menghentikan langkah, berdiri mematung, dengan jantung yang berdegup tidak beraturan.
"Aruna, kamu kah, itu?" tanyaku, dengan suara setenang mungkin.
Hening. Hanya suara gemuruh hujan di luar, dan kilatan cahaya yang menembus jendela kaca.
"Huh ... sepertinya aku berhalusinasi," desisku sambil beranjak menuju dapur.
Kepala terasa sedikit pusing, sehingga aku memutuskan untuk membuat minuman hangat. Ditambah, cuaca dingin membuat perut ikut meronta karena sejak tadi siang belum terisi makanan.
Kubuka lemari di mana Aruna menyimpan stock makanan, namun kosong.
Mataku beralih menatap kulkas, sambil berharap, ada makanan yang masih bisa kumakan tersimpan di sana.
Seketika perut terasa mual, begitu pintu kulkas kubuka. Bau menyengat menyeruak keluar, dan langsung menusuk hidung.
Kulkas dipenuhi makanan yang sudah membusuk, dan mengeluarkan bau tidak sedap, bahkan, sebagian sudah tidak berbentuk. Entah, kapan terakhir kali Aruna membersihkan dan mengganti stock makanan di dalam kulkas ini.
Rasa lapar yang tadi kurasa, mendadak hilang.
Kuambil kantong plastik dan memasukkan semua makanan yang ada di kulkas ke dalam plastik besar.
Benar-benar menyebalkan!
Bahkan, untuk membersihkan kulkas pun, dia tidak sempat. Apa saja sebenarnya yang sudah dilakukan Aruna selama di rumah.
Setelah kulkas bersih, aku mengambil sapu dan pel.
Dapur ini begitu kotor, seperti tidak pernah dibersihkan. Bagaimana jika ada tikus dan kecoak bersarang di sini?
Memikirkan hal itu, membuatku bergidik dan cepat-cepat membersihkan dapur.
Hujan sudah mulai reda, pekerjaan membersihkan dapur pun selesai. Kutenteng dua kantong plastik besar berisi sampah untuk kubuang di luar, sekaligus aku akan ke warung di ujung jalan untuk membeli makanan. Moga saja belum tutup.
"Bu, nasi campur satu sama teh hangat, dibungkus, ya?" Aku memesan makanan pada pemilik warung, yang kebetulan belum tutup.
"Mas Juna, kan? Ke mana saja, kok sudah lama sekali tidak kelihatan? Apa pindah rumah?" tanya pemilik warung sambil memerhatikanku.
"Oh, itu ... kebetulan saya sibuk, Bu," jawabku setelah beberapa saat.
"Bagaimana kabar mbak Aruna, apa kandungannya sehat?" tanya pemilik warung lagi.
"Ka--kandungan Aruna?" ucapku gugup.
"Iya, bukannya Mbak Aruna hamil? Terakhir datang ke sini beli rujak manis, sekitar dua minggu yang lalu, katanya lagi ngidam."
"Maksudnya, apa, Bu?" tanyaku lagi, karena ucapan pemilik warung benar-benar membuatku bingung.
Belum lagi pertanyaanku dijawab oleh pemilik warung, ponsel yang berada di dalam saku celana bergetar.
"Mas ... kenapa belum pulang, kamu di mana sekarang?"
Suara di seberang telepon mencecarku, begitu panggilan kuterima.
"Moza ... Mas masih ada perlu sama Raka. Kamu tidurlah dulu, Mas pulang agak telat malam ini," jawabku.
Dari ujung telepon, Moza langsung mengakhiri panggilan. Bisa kubayangkan, wajahnya yang ditekuk karena kesal padaku.
Kutarik napas dalam, lalu aku mengeluarkan dompet untuk membayar nasi yang kupesan.
"Kembaliannya buat Ibu," ucapku ketika mengulurkan uang pada pemilik warung.
"Mas Juna, titip pesan buat Mbak Aruna, ya? Bilangin, untuk tidak keluar ketika senja, karena sedang hamil muda, takut kena sawan," ucap pemilik warung lirih.
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum pergi.
Buru-buru kulangkahkan kaki kembali ke rumah. Aku juga harus menelepon Raka secepatnya dan meminta bantuan padanya, untuk membantuku.
Setidaknya, sebelum Moza menelepon Raka, dan bertanya langsung padanya, tentang keberadaanku.
"Raka, tolongin gue donk ...." ucapku, ketika Raka menerima panggilan teleponku.
"Tolongin apa? Mengatakan pada Moza, kalau kamu sedang bersamaku?" selorohnya.
Yang kemudian kusambut dengan tawa.
Dia sudah hapal, apa yang harus dikatakan pada Moza, jika sewaktu-waktu wanita itu menanyakan tentang aku.
Moza, wanita itu cukup membuatku pusing akhir-akhir ini.
Namun entah kenapa, aku selalu tidak bisa untuk jauh darinya, seperti ada magnet yang selalu menarikku dan membawaku mendekat padanya.
Dia sangat berbeda sekali dengan Aruna.
Ah, Aruna. Mengingat nama Aruna, membuat langkahku setengah berlari menuju rumah yang tinggal beberapa meter di depan. Entah kenapa, ingin sekali aku melihatnya berada di rumah, begitu aku sampai.
---

Book Comment (199)

  • avatar
    Allan

    sungguh menarik dan sangat memotivasi kalau segala sesuatu harus di lakukan dengan cara yang baik

    24/01/2022

      1
  • avatar
    EmonsDimas

    good job

    4d

      0
  • avatar
    ProInfinix

    bagus gak perlu di ragukan mantapp ..

    6d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters