logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

7. Permintaan Maaf

Semenjak kejadian tadi sore, aku mendiamkan suamiku. Tak kupedulikan apa yang dilakukannya. Hatiku terlalu sakit. Ingin rasanya aku pergi dari rumah ini. Sepertinya ini bukan lagi rumahku, rumah yang diberikan oleh orang tua Mas Rendy sebagai hadiah pernikahan kami, kini tak memberikan rasa nyaman lagi terhadapku. Aku ingin pergi dari sini, tapi mau kemana? Aku tak punya sanak saudara. Mereka semua jauh, beda provinsi.
Aku tergugu di dalam kamar anakku.
"Ibu, ibu kenapa?" tanya Sofia begitu polos.
Aku segera memeluk tubuh mungilnya. Untung saja tadi saat Mas Rendy berlaku kasar padaku, Sofia tak melihatnya.
"Nak, bagaimana kalau kita pergi dari rumah ini?" tanyaku pada si kecil.
"Memangnya mau kemana, Bu?"
"Kemana saja, kamu mau kan ikut ibu, Nak?"
Sofia mengangguk, gadis kecil itu mengusap lembut butiran bening yang menetes di pipiku.
"Sofia akan ikut kemanapun ibu pelgi. Ibu jangan nangis..." ucapan polosnya membuat hatiku semakin sakit.
"Ya sudah, Sofia tidur dulu ya sayang..."
"Iya, Bu."
Aku mengemasi baju-baju Sofia dan bajuku ke tas ransel. Aku akan mencari rumah kontrakan besok, kalau malam ini kasihan Sofia. Aku tak bisa egois.
Klunting... Klunting... Klunting...
Ada sebuah pesan wa yang masuk. Ah iya, aku lupa membalas chat para customer gara-gara pertengkaranku dengan Mas Rendy.
Aku buka satu persatu pesan yang masuk. Ada pesan juga dari Mas Farid.
[Ini mbak, nomor resinya] isi pesannya dengan melampirkan 5 buah foto nomor resi.
[Terima kasih, Mas]
[Maaf untuk yang tadi mbak, aku gak tahu harus ngomong apaan lagi]
[Iya mas, justru aku harusnya yang minta maaf, Mas Farid jadi sasaran kesalahpahamannya. Aku juga sangat berterima kasih, Mas Farid sudah belain aku]
[Iya gak apa-apa, mbak. Oh iya, ini aku juga mau ngasih tahu, teman-temanku pada tertarik dengan bunga buatan mbak, kira-kira bisa dipesan tidak?]
[Waah gak nyangka ada yang mau. Maaf mas, tapi untuk sementara ini belum bisa]
[Iya mbak, gak apa-apa. Teman-temanku mau menunggu kok. Kira-kira berapa hari, nanti aku sampaikan]
[Baik, mas]
[Temanku mau model yang ini mbak...] sambil melampirkan beberapa foto bunga-bungaku.
[Oke]
[Perlu DP dulu gak nih?]
[Nanti aja mas nunggu barang jadi saja. Nanti aku kabari ya kalau sudah jadi]
[Oke, mbak]
Senyumku mengembang, akhirnya ada jalan rezeki yang lain juga. Mungkin memang aku harus mengontrak rumah sendiri. Pasti kalau Mas Rendy lihat dia akan marah-marah kalau rumahnya terlihat berantakan.
***
Pagi harinya...
Seperti biasa, aku terbangun jam 03.00 pagi. Setelah melakukan rutinitas seperti biasa, sholat dan packing orderan, lanjut menyelesaikan pekerjaan rumah tanggaku. Rupanya rampung lebih cepat. Jam 06.00 pagi aku kembali ke kamar Sofia. Dan mengunci pintunya. Seperti biasa Mas Rendy belum bangun dari tidurnya.
Tak berselang lama, Tok... Tok... Tok...
Suara pintu kamar diketuk.
"Dek, buka pintunya. Mas tahu kamu sudah bangun," tukasnya dari balik pintu.
Dia mengetuk pintu kembali. "Dek, buka pintunya."
Aku mengusap butiran bening di pipiku. Harusnya aku tak boleh menangis lagi gara-gara lelaki seperti dia. Aku beranjak membuka pintu.
Tiba-tiba saja dia menarikku ke dalam dekapannya.
"Maafin mas, dek. Maaf," ucapnya sembari mengelus-elus rambutku.
Aku diam, aku berusaha lepas darinya namun dia memelukku lebih erat lagi. Lidahku rasanya kelu, aku tak mampu berucap satu patah katapun.
"Maafin mas, dek. Mas khilaf, tolong maafin mas," ucapnya lagi seraya mengecup puncak kepalaku.
Dia melepaskan pelukannya dan masuk ke kamar Sofia, saat matanya menatap tas ransel di depan lemari, isinya baju-baju Sofia dan sedikit baju-bajuku.
"Kamu mau kemana?" tanyanya keheranan. "Kalian mau pergi?" lanjutnya lagi.
Aku masih bungkam.
"Dek, kamu benar-benar mau pergi? Kalian mau pergi kemana? Kasihan Sofia..." tanya Mas Rendy.
"Aku sudah gak kuat disini mas, lebih baik aku pergi. Kamu juga sudah tidak membutuhkan aku."
"Jangan dek, jangan pergi. Kamu jangan bicara seperti itu. Mas mohon, maafin mas, mas sudah salah sama kamu..."
"Aku akan bawa Sofia."
"Dek, please jangan pergi," ucapnya dengan nada bicara lembut, pandangannyapun seakan memelas.
"Maafin mas, dek. Mas mohon..." Dia berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku. Berulang kali dia menciumi punggung tanganku. Sampai aku bingung, tak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang pura-pura. Apakah dia sedang bersandiwara lagi? Atau memang dia benar-benar menyesal?
"Mas, bangunlah. Tidak patut kamu berlutut seperti itu."
"Tidak, dek. Sebelum kamu maafin mas."
"Iya, aku maafin."
Dia kemudian berdiri. "Makasih dek," ucapnya kemudian.
"Tapi aku gak bisa seperti ini terus."
"Apa maksudmu, dek?"
"Aku gak bisa bertahan dengan suami yang bersikap kasar pada istrinya."
Dia tertegun mendengar ucapanku. "Maaf..." kata singkat yang keluar dari bibirnya.
"Mas janji gak akan bersikap kasar lagi padamu. Mengertilah dek, kemarin mas ditolak sana-sini, mas belum dapat pekerjaan. Dan sampai rumah mas melihat kalian berdua sedang asyik mengobrol. Mas jadi emosi."
"Tuduhanmu menyakiti hatiku, mas. Kau sudah tidak percaya lagi padaku, padahal aku selalu menjaga diri. Aku sama dia tak ada hubungan apa-apa, kami memang sering bertemu, tapi hanya sebatas mengambil atau mengantar paketan saja, tidak lebih. Itupun kami hanya bertemu di teras rumah, para tetangga juga tahu, kalau dia cuma seorang kurir. Aku gak punya waktu buat mengantarkan langsung ke ekspedisi yang jaraknya cukup jauh, motor kan dibawa sama kamu. Naik angkot? Aku kasihan sama Sofia kalau harus panas-panasan. Kalau naik taksi, ongkosnya cukup mahal, padahal aku cari uang buat tambahan biaya makan, bukan untuk bolak-balik naik taksi."
"Maaf dek, mas benar-benar khilaf. Tolong maafin mas"
"Aku terlanjur sakit hati mas, kau menuduh hal yang tidak pernah aku lakukan. Padahal aku sendiri percaya apapun yang kau lakukan diluaran sana. Apa kau selingkuh atau tidak."
Aku menghela nafas panjang, aku ingin tahu bagaimana reaksinya. Rona wajahnya terlihat berubah, sepertinya dia gugup. Apakah dia akan mengakui kalau dia berselingkuh? Hah, sepertinya itu mustahil. Dia menyembunyikannya dengan sangat rapat.
"Maafin mas, dek. Mas janji gak akan bersikap kasar seperti itu lagi. Tolong beri mas satu kesempatan lagi," ucapnya dengan nada memohon.

Book Comment (60)

  • avatar
    FRANSISCAMERI

    bagusss ceritanya, alami bgt, kisah ini spt hidupku saat ini😭, perbedaannya aq blm menemukan calon suami baru spt mas anjar, smoga Tuhan menghadirkan untukku aamiin🤲, tanpa terasa meneteskan air mata membaca novel ini, tks buat penulis, msh menunggu kelanjutan ceritanya😇

    16/01/2022

      0
  • avatar
    Ini Diya

    terharu membaca novel ini

    3d

      0
  • avatar
    Deya Wati

    👍👍👍👍

    14d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters