logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Bioskop Regent

Lampu jalanan yang berjarak beberapa meter antara satu dengan lainnya mulai dinyalakan. Seiring dengan terangnya langit hari itu yang kini sudah tertelan oleh gelapnya malam. Jalanan yang tadi sore lengang, mulai kembali dipadati oleh beragam kendaraan bermesin para pegawai kantoran yang baru pulang bekerja. Beberapa ABG 'gaul' yang mengendarai sepeda motor, juga tak luput dari jangkauan mata para penikmat malam di jalan Malioboro, waktu itu. Para pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis makanan, mulai sibuk melayani para pelanggan mereka yang berduyun-duyun singgah untuk makan malam.
Dari beberapa meja sebuah warung lesehan yang terletak di trotoar jalan, salah satu meja yang dihuni oleh empat orang lelaki muda yang mengenakan seragam sekolah, tampak yang paling mencuri perhatian para pelanggan yang datang. Pasalnya, hingga selarut ini ... kenapa keempat murid SMP itu masih berkeliaran di luar? Dengan seragam sekolah penuh corat-coret pula. Padahal pesta kelulusan harusnya sudah berakhir sore tadi.
Salah satu pemuda dari keempat pelajar itu menghentikan acara makannya sejenak, saat menyadari pandangan mata para pengunjung terus tertuju ke meja yang ia dan teman-temannya tempati.
Merasa jengah karena seorang wanita kantoran terus berkasak-kusuk dengan temannya sembari melirik ke arah pemuda berahang lebar itu. Akhirnya pelajar dengan name tag Baron Bagaskara itu, bangkit berdiri. Dari mimik mukanya yang garang, tampak jelas bahwa dia pasti akan menegur kasar dua orang wanita yang menggosipkannya tadi. Oleh sebab itulah Dylan Mahardika, pemuda berbibir penuh yang duduk berseberangan dengannya, langsung menahan kuat satu tangan Baron yang hendak melintas di sampingnya.
"Dy!" pemuda dengan gaya rambut mohawk itu menautkan kedua alis tebalnya, menatap wajah Dylan yang tampak begitu tenang membaca majalah misteri miliknya di atas meja. Padahal, satu tangannya yang sedang memegang pergelangan tangan Baron terasa semakin keras mencengkeram. Seolah dari eratnya cengkeraman tangan itu, Dylan tengah melarang Baron untuk bertindak gegabah, apa lagi kurang ajar terhadap wanita yang usianya jauh lebih tua dari mereka.
Baron mendengus sebal. Mau tidak mau, akhirnya Baron kembali duduk di tempatnya semula dan melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda tadi.
Dylan yang sudah lebih dulu menghabiskan makanan di piringnya, kembali menyesap teh tawar hangat dari gelasnya, kemudian membuka lembar halaman baru dari artikel yang tengah dibacanya.
"Habis ini, rencananya kita mau ke mana, Bro?" tanya Baron membuka obrolan sembari melahap gudeg di piringnya menggunakan kelima jari.
"Ya pulanglah," jawab Ernest Santoso singkat.
Arthur Samuel yang duduk di samping Baron, langsung menatap temannya tajam. "Loh, kok pulang sih? Gak seru banget," keluhnya tampak kecewa.
Dylan yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ya terus kita mau ke mana lagi? Ini udah hampir jam sembilan malam loh, waktunya kita pulang. Gak gerah apa, orang-orang di sini dari tadi 'kan ngeliatin kita mulu," ujar pemuda dengan potongan rambutnya yang sedikit tebal itu, membenahi majalah yang belum selesai dibaca ke dalam tas ransel yang ada di pangkuannya.
Belum sempat buku itu masuk sempurna ke dalam tas Dylan, Baron lebih dulu menarik keluar majalah itu lagi.
"Tunggu-tunggu, gue punya ide! Gimana kalo buat ngerayain kelulusan ini ... kita uji nyali aja?" tukas Baron mengubah majalah di tangannya menjadi pemukul baseball.
Mendengar usulan itu, Ernest yang memang terkenal penakut di sekolahnya, langsung memasang wajah tak suka.
"U-uji nyali? Uji nyali gimana maksud lo? Kayak yang di televisi itu? Gak ah! Gue mau pulang aja!" tolak Ernest mentah-mentah. Bangkit berdiri dari tempatnya bersila tadi dan langsung dihadang oleh tangan Arthur juga Baron yang terjulur panjang di depan dadanya.
"Eeh ... tunggu dulu dong, Nest! Santai dikit kenapa." Arthur berujar dengan menepuk-nepuk bahu Ernest, supaya temannya itu dapat sedikit lebih santai.
"Lagian, lo-lo pada kurang kerjaan banget sih. Ngajakin uji nyali, kenapa gak adventure ke Bromo aja sih sekalian?" gerutu Ernest.
Melihat majalahnya diperlakukan tidak senonoh oleh Baron, Dylan cepat-cepat merebut kembali kumpulan kertas bersampul miliknya itu. "Emang mau uji nyali kayak gimana?" tanya remaja yang memiliki dahi bulat itu seolah menantang.
Satu sudut bibir Baron terangkat tinggi, mengulas senyum penuh makna ke arah Arthur yang satu tangannya masih sedang menahan Ernest agar tidak melarikan diri lagi.
"Kita nonton film horor di bioskop!" jawab Baron lantang.
Ernest yang sejak tadi memalingkan wajahnya ke arah riuhnya jalanan, dengan cepat menoleh. "Cuma nonton doang? Ngomong dong dari tadi. Kalo cuma nonton film horor sih, gue masih beranilah," timpal pemuda yang memiliki tulang pipi tinggi itu menyombongkan diri.
"Tapi, nontonnya di Bioskop XXI," sambung Arthur yang berhasil mematahkan kembali keberanian Ernest yang baru saja tumbuh menjadi sebuah tunas kecil itu.
"Lo gila ya?! Itu tempat 'kan bisa berubah angker banget kalo kita datangnya jam sembilanan lebih," sungut Ernest tampak tak setuju.
"Ya ... tapi 'kan ini belum jam sembilan. Mending sekarang kita pada pulang dulu. Mandi, ganti baju, terus kita berangkat ke bioskop bareng-bareng, sebelum jam sembilan lewat. Gimana?" timpal Dylan yang langsung disetujui oleh Baron dan Arthur.
Berbeda dengan kedua temannya yang langsung menyepakati saran dari Dylan dengan sebelah tangan mereka yang ditumpuk menjadi satu. Ernest malah tampak kebingungan menerima ide gila itu.
"Heh! Sipit! Lo ikutan 'kan? Kalo lo gak ikutan, berarti lo beneran banci Tionghoa!" pancing Baron agar satu temannya itu bersedia ikut bergabung bersama mereka, dengan ejekan yang pasti akan mengusik harga diri Ernest sebagai lelaki tulen.
Dengan ragu-ragu, satu tangan pemuda itu terjulur ke depan. Menepuk ketiga tangan temannya yang berada di bawahnya. "O-oke! gue ikut," tukas Ernest menyanggupi permintaan teman satu gengnya, meski dengan wajahnya yang enggan menatap Dylan, Baron dan Arthur yang saling pandang kemudian tersenyum menyeringai.
©Rainsy™
Devian Luke. Pemuda 16 tahun yang identik dengan lolipop di mulutnya itu, tampak berjalan santai seorang diri memasuki gedung Bioskop XXI dengan tangan kirinya yang bersembunyi di dalam saku hoodie panda yang dikenakannya.
"Malam, Mbak ... ada film baru gak?" sapa ABG lelaki yang memiliki wajah Baby Face itu pada seorang petugas tiket yang sepertinya sudah sangat dikenalnya.
"Eh, kamu Dev ... kok tumben datengnya telat. Bioskop udah sepi gini kok baru nongol, ke mana aja? Baru kelar ngehadirin pesta kelulusan sama temen di sekolah ya?" sahut perempuan cantik yang berdiri di balik meja kasir menanyai.
Sembari memutar-mutar gagang lolipop di depan mulutnya menggunakan tangan kanan, Devian menjentikan jari kirinya. "Nah tuh tau ... ayo Mbak, ada film baru apa aja?"
"Hari ini ada tiga film baru nih, film action dari Barat, Film romantis dari Indonesia dan Film komedi. Kamu, mau pilih mana untuk ditonton?" ujar perempuan yang usianya ditaksir sekitar 25 tahunan itu menunjukkan ponser film-film baru di Bioskop tempat kerjanya.
Devian tampak berpikir sejenak. Tangan kirinya yang kembali masuk ke dalam kantong hoodie berbulunya itu tampak sedikit terangkat. "Ah! Aku mau nonton Film romantis aja, Mbak. Beli tiketnya dua ya?" pinta Devian riang.
Bukannya segera memberikan tiket yang diminta, petugas tiket bernama Noni tadi, malah memasang wajah bingung dengan permintaan member bioskopnya tersebut.
"Tunggu sebentar. Tumben banget sih kamu nonton film romantis, pesen dua tiket segala lagi. Biasanya juga 'kan kamu nontonnya sendirian. Hayoo, jangan-jangan udah punya cewek ya sekarang?" godanya yang langsung dibantah dengan sebuah cengiran ala Devian.
"Nggaklah, Mbak! Aku cuma lagi pengen manjain temen cewek yang lagi galau aja. Makanya ngajak dia ke sini buat nonton. Siapa tahu, galaunya hilang. Iya 'kan?" kilah remaja itu menangkis tuduhan yang dapat mencemarkan statusnya sebagai JoTa (Jomblo Tampan).
Noni manggut-manggut paham, sembari mengasongkan dua tiket pada Devian. Gadis itu lebih dulu mengamati sekeliling. "Terus, mana temen cewek kamu itu? Kok gak dateng bareng kamu sih?"
"Bareng kok, tuh! Dia ada di sana, lagi nungguin aku. Ya udah Mbake, aku nonton duluan ya!" jawab Devian yang bergegas menuju studio tiga, tempat film yang dipilihnya sedang diputar.
Tinggal beberapa meter lagi sampai di depan pintu teater yang dituju, gadis belia yang berdiri seorang diri di pinggir lorong, menghentikan langkah Devian.
"Hei, kamu ada di sini toh. Yuk, masuk!" Ajak pemuda dengan gaya rambut spike pendeknya itu ramah.
Dari samping, gadis belia berparas rupawan yang sejak tadi membisu itu mengulas senyumnya tipis, kemudian ia mengalungkan satu tangannya untuk memeluk tangan kiri Devian yang kelima jarinya masih bersembunyi di dalam saku hoodie-nya.
Tak lama, setelah Devian dan teman perempuannya masuk ke dalam studio. Dylan CS pun tiba. Begitu sampai di lobi bioskop, keempat pemuda yang sudah mengganti seragamnya dengan pakaian santai itu langsung berpencar. Dylan dan Arthur melangkah menuju loket pembelian tiket, sedangkan Baron dan Ernest bergerak menuju kantin.
"Bar! Tiketnya udah dapet nih. Yuk, masuk!" seru Dylan memamerkan tiket di tangannya. "Studio 4 'kan ya, Mbak?" lanjutnya, memastikan kembali isi tiketnya pada Noni si petugas tiket.
Dengan kedua tangannya yang memeluk dua karton pop corn berukuran medium, Baron setengah berteriak pada Ernest yang tertinggal jauh di belakangnya. "Nest! Buruan! Tuh, pintu teaternya udah dibuka. Nanti kita telat lagi!" titahnya tegas.
Meski sedikit kesusahan, karena ia membawa empat gelas minuman softdrink. Ernest berusaha keras memperlebar langkahnya agar tidak ditinggalkan masuk ke dalam teater oleh ketiga temannya yang lain.
Setelah melalui seorang petugas pemeriksa tiket yang berdiri di depan pintu, dan diarahkan tempat duduknya oleh petugas lain yang berada di dalam studio. Empat sekawan itu mulai memposisikan tubuhnya agar dapat duduk dengan nyaman. Lampu bioskop mulai padam, layar besar yang berada di depan mereka mulai menayangkan rumah produksi yang membuat film horor tersebut. Dylan dan Arthur yang duduk di kursi deretan C mulai membuka bungkus pop corn medium milik mereka, sedangkan Ernest yang mengisi bangku penonton di deretan B, mulai memasang wajah tegangnya sembari memeluk erat wadah pop corn dalam pangkuannya. Membuat Baron yang juga ingin mengambil cemilan itu sedikit kesulitan, hingga dengan terpaksa Baron harus menarik keras karton pop corn tersebut.
Film dimulai. Backsound yang mengiringi kedatangan hantu dalam film yang tengah dinikmati itu membuat Ernest tanpa sadar memeluk lengan kekar Baron di sampingnya. Dari mimik mukanya, tampak jelas bahwa Ernest sangat tersiksa menuruti permintaan ketiga karibnya untuk menonton film horor di bioskop yang juga terkenal horor itu.
"Eh, Tionghoa! Lo bisa diem gak sih? Risih tau," omel Baron menarik lengannya yang tadi menjadi tempat untuk Ernest bersembunyi.
"Gu-gue takut, Bar ...," lirih Ernest yang terpaksa harus kembali meremas pegangan kursi di sisi tubuh untuk mengalihkan rasa takutnya.
Baron mendesis, dengan sorot matanya yang melirik Ernest sengit. "Jadi cowok kok penakut banget sih," sindir Baron sembari menyesap softdrink miliknya.
Merasa kursi yang ditempatinya tak cukup lebar untuk menaruh minumannya, Baron pun berinisiatif untuk meletakan minuman tersebut di bawah kursi.
Pemuda berhidung mancung yang baru menegakkan badannya itu, tiba-tiba saja membuka matanya lebar. Manakala, sepintas kejadian yang baru dialaminya beberapa detik lalu membuatnya terperanjat. "Gue, tadi ... lihat apaan ya, di kolong?" gumamnya pelan. Bahkan suara rendah Baron tak dapat terdengar oleh telinga Ernest yang duduk di sampingnya.
Karena penasaran ingin memastikan benda apa yang barusan ia lihat, Baron kembali membungkukkan tubuhnya. Dan alangkah terkejutnya pemuda itu, ketika sepasang mata merah yang menyala terang di bawah kursinya, tertangkap oleh bola mata Baron.
Baron kembali membenarkan posisi duduknya, setelah beradu pandang dengan sepasang mata merah di kolong kursinya beberapa detik. Tak butuh waktu lama, wajah pemuda yang tidak percaya hantu itu langsung berubah menjadi pucat. Keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya, memperjelas seberapa tinggi rasa takutnya saat ini. Sedikit demi sedikit, Baron mengikis jarak antara kursinya dengan kursi milik Ernest yang tampak lebih tenang karena film horor yang ditonton mereka akan segera berakhir.
"Bar? Kenapa lo, lo gak sakit 'kan?"cemas Ernest menangkap gelagat aneh dari pemuda di sampingnya yang memeluk lengan kurus Ernest sangat erat, dengan kedua kaki Baron yang terangkat ke atas kursi. Padahal sudah jelas-jelas peraturan di bioskop melarang pengunjungnya untuk mengangkat kaki. Untungnya tidak ada petugas yang melihat saat Baron melakukan pelanggaran itu.
Jauh berbeda dengan pemandangan horor yang baru Baron alami, Arthur dan Dylan yang pandangan matanya tak pernah teralihkan dari layar besar di hadapan mereka tampak terkejut. Ketika menyadari, semua kursi di dalam studio yang mereka tempati sudah penuh dengan orang.
"Dy, Dy ... lo ngerasa ada yang aneh kagak? Kok ini tempat mendadak penuh gini sih? Perasaan waktu kita masuk, kita cuma empat orang doang 'kan? mereka kapan masuknya?" bisik Arthur di telinga Dylan yang tengah mengunyah pop corn miliknya.
"Nggak ah, biasa aja. Mungkin kita terlalu fokus nonton filmnya kali, makanya gak sadar pas mereka masuk," balas Dylan tampak tak acuh.
Arthur membuang napasnya berat, seraya merilekskan punggungnya yang sempat tegang pada sandaran kursi. Mungkin ada benarnya juga apa yang Dylan katakan, mereka terlalu fokus menonton sehingga tak mendengar suara derit pintu studio yang dimasuki pengunjung lain. Pemuda berdagu lancip itu mencoba untuk menetralkan kecurigaan yang mulai membekukan jalan pikiran warasnya.
Baru sebentar Arthur kembali tenang, mendadak udara dingin yang menggelitik tengkuknya membuat tubuh Arthur kembali tegang. "Bro, Mas Bro! Anter gue ke toilet yuk, bentar aja. Gue pengen pipis nih," bujuk Playboy kelas kakap di SMP-nya itu kembali mengganggu konsentrasi Dylan yang tampak sangat menikmati alur film horor yang tengah ditontonnya.
"Bentar lagi ini film kelar, Bro. Lo bisa tahan bentaran napa sih? Tanggung nih," tolak Dylan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Arthur yang sudah tidak tahan ingin buang air kecil, lantas menarik-narik kemeja lengan panjang Dylan. "Gak bisa, Bro. Ini udah di ujung, gue bisa ngompol kalo ditahan-tahan."
Dylan mendecih kesal. Jika sudah begini, mau tidak mau dia harus mengantar temannya ke toilet. "Ck! Ya udah ayo-ayo ... gue anter lo ke toilet, tapi jangan lama-lama," ucapnya mengalah. Arthur tersenyum senang, ia beranjak dari duduknya dan langsung berjalan menuju pintu keluar, sedangkan Dylan mengekor di belakangnya.
Baru beberapa langkah Dylan mengayunkan kakinya ke depan, sesuatu yang berasal dari barisan bangku D berhasil menjegal kaki Dylan. Hingga membuat pemuda itu jatuh telungkup di bawah kaki seorang penonton yang mengenakan sepatu heels. Dylan yang sedikit demi sedikit menggerakkan bola matanya ke atas, tercekat. Saat luka bakar yang lebar dan memanjang, merusak kaki mulus penonton yang memakai heels tersebut. Merasa ngeri dengan luka bakar yang sedikit bernanah itu, Dylan buru-buru bangkit berdiri.
"Maaf, Mbak. Tadi, saya gak sengaja jatuh," sesalnya kalau-kalau gadis yang memiliki cacat di kakinya itu tersinggung oleh Dylan. Bukannya menyahuti, gadis yang mengenakan dress pendek berwarna putih itu hanya diam membisu dengan fokus matanya yang terkunci ke arah depan. Dylan yang menganggap ketidakramahan gadis tersebut adalah sebagai wujud dari kemarahannya, bergegas menyusul Arthur yang sudah lebih dulu keluar dari dalam studio.
Sementara itu, melihat kedua temannya yang berada di barisan belakang sudah tidak ada lagi di tempatnya. Tanpa meminta restu lebih dulu, Baron yang memang sudah dikuasai ketakutan langsung melesat pergi meninggalkan Ernest seorang diri di dalam teater.
Ernest yang tengah asyik menyemil, tampak puas menonton film horor dari Jepang itu sampai akhir. Bukan merasa puas karena alur ceritanya yang menegangkan, akan tetapi ... Ernest merasa puas pada dirinya sendiri yang setidaknya bukan 100% lelaki penakut. Karena buktinya, ia bisa dengan tenang menonton film horor itu. Aktivitas mulut kecilnya yang terus menggunyah pop corn dan menyedot softdrink itu terhenti sejenak, ketika bau busuk tiba-tiba saja terendus indera penciumannya.
"Bar, lo nyium bau bangke gak sih? Gak enak banget baunya. Apa jangan-jangan, lo kentut ya?! Di bioskop 'kan gak boleh kentut, Bar!" Tegur Ernest menepuk-nepuk pemuda di sebelahnya yang tak kunjung bersuara.
Layar besar di depan deretan kursi penonton mulai menunjukan nama-nama para crew yang membantu kesuksesan film horor itu hingga dapat dirilis. Gelapnya ruangan studio, membuat Ernest yang memang sedikit memiliki gangguan pengelihatan tersebut, sampai tak menyadari bahwa ketiga temannya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aroma busuk yang tadi Ernest cium, berangsur pergi. Sejurus kemudian, bau anyir dan aroma daging bakar yang sangat menyengat mulai terhirup oleh hidung Ernest, aroma makanan lezat yang dicampur bau anyir tersebut membuat Ernest lama kelamaan menjadi mual.
"Bar, Bar! Kita keluar yuk? Gila, bau amisnya parah banget. Gue udah gak kuat di sini. Bau apaan sih ini! Kayak bau sate bangke!"
JPRATT!!!
Lampu studio 4 kembali menyala. Terangnya pencahayaan di sekelilingnya, membuat Ernest yang sedari tadi menarik-narik lengan temannya dapat sedikit menghela napasnya lega. Namun dalam sekejap ... remaja lelaki itu harus menahan napasnya panjang, dengan mata kecilnya yang mendelik lebar.
Seonggok mayat seorang pria bertubuh gempal dengan tubuhnya yang sudah hangus terbakar tengah duduk di sampingnya. Tepat di tempat Baron semula duduk.
"B-Ba ... BANGKE!!!" Ernest lari tunggang langgang menuju pintu keluar yang entah kenapa terasa sangat jauh untuk dijangkau. Selembar kertas selebaran yang entah dari mana asalnya, menabrak wajah pemuda itu tepat sebelum Ernest jatuh pingsan.
*****
Sementara itu, film yang diputar di Studio 3 juga sudah beberapa menit yang lalu selesai. Namun, Devian dan gadis belia yang menonton bersamanya tadi tampak masih betah duduk di kursi masing-masing.
Devian yang baru saja menghabiskan permen lolipop rasa stroberinya itu, mulai membuka permen lolipop barunya. "Filmnya udah selesai. Kalo gitu, aku pulang dulu ya? Keinginan kamu untuk nonton sama cowok kamu yang wajahnya mirip aku 'kan udah kesampaian, jadi ... semoga kamu bisa tenang setelah ini. Gak lagi ganggu para pengunjung dengan tangisanmu di tengah malam. Oke Rara, good bye!" Pamit Devian, berlalu dari hadapan gadis belia yang menatap kepergian pemuda berhidung pendek itu, dengan separuh wajahnya yang sudah melepuh.
Mulai dari alis, telinga, bibir, semua organ yang ada di wajah bagian kanan gadis itu sudah berbaur menjadi satu. Dari wajah menyeramkannya, hanya mata kanan gadis belia itu saja yang tampak utuh, namun sedikit demi sedikit warna putih dari bola matanya mulai meleleh keluar. Persis seperti lilin saat terbakar api.
Devian yang baru saja menyumbulkan kepalanya dari daun pintu studio 3, mengernyitkan dahinya samar. Ketika lobi Bioskop yang akan dilaluinya tampak ramai dengan beberapa pegawai Bioskop yang tengah mengerubungi sesuatu. Karena penasaran, pemuda itu langsung menghampiri kerumunan yang rupanya tengah menunggu kesadaran Ernest pulih.
"Loh, ada apa ini? Kenapa dia, Mbak?" tanya Devian pada Noni, si petugas tiket yang dikenalnya tadi tanpa melepaskan permen lolipop dari mulutnya.
"Anu, kayaknya ... anak ini baru jadi korban kejahilan penunggu studio 4 lagi deh, Lek," timpal seorang Satpam menjawab pertanyaan yang sebenarnya bukan diperuntukan padanya.
Devian manggut-manggut, meminta beberapa pegawai bioskop untuk memberinya ruang agar dapat mengamati kondisi Ernest lebih dekat.
"Mas, tolong pegang ini. Tapi ingat, jangan dimakan ya?" ucap Devian menitipkan lolipopnya pada satpam tadi. "Mbak, aku minta air minumnya boleh?" sambungnya yang melihat Noni tengah menggenggam segelas air mineral kemasan.
"Bo-boleh, boleh. Ini ... pakai aja," seloroh Noni memberikan minumannya yang kemudian dibacakan surat Al-Fatihah dan Ayat Kursi oleh Devian.
Setelah membacakan doa, Devian meminumkan air tersebut pada Ernest yang baru saja dapat membuka matanya kembali.
Melihat kondisi Ernest sudah tak mengkhawatirkan lagi, satu per satu para petugas bioskop mulai kembali berkutat dengan kesibukannya masing-masing.
Baron, Dylan dan Arthur yang baru saja kembali dari toilet setelah berbagi cerita mengenai kejadian aneh yang dialaminya di dalam studio, mempercepat langkah mereka menuju Studio 4 untuk menyusul Ernest yang ditinggal seorang diri di sana. Namun langkah mereka tertahan, kala sosok yang dikhawatirkan mereka tengah mengobrol bersama seorang lelaki muda yang sebaya dengannya.
"Nest! Lo kok ada di sini? Lo, lo gak apa-apa 'kan?" cemas Dylan, Baron dan Arthur yang langsung menghambur meneliti kondisi temannya yang tampak pucat pasi itu.
"Menurut lo, apa gue baik-baik aja setelah kalian tinggalin gue seorang diri di dalem studio penuh bangke manusia yang kebakar?!" sungut Ernest yang tampak kesal dengan ketidaksolideritasan ketiga temannya itu.
"Ya maaf, gue sama Arthur gak ada niat buat ninggalin lo sendirian, sumpah! Gue cuma nganter ini orang yang mau pipis. Nih, si Baron aja nih yang tau-tau nyusul kita ke toilet ... tanpa ngajak lo lagi," ungkap Dylan yang merasa sangat bersalah.
"Untung gue cuma pingsan. Coba kalo tadi gue dibawa pergi sama arwah-arwah penasaran itu ke alamnya. Bisa mati konyol gue," omel Ernest meluapkan kemarahannya dengan memukul bahu Baron menggunakan bantal sofa.
"Lo kok mukul gue sih? Kalo gue gak ketakutan juga gue gak akan ninggalin lo, Tionghoa!"
"Apa? Takut? Gue gak salah denger nih? Seorang Baron Bagaskara yang ngakunya gak percaya hantu itu sekarang jadi penakut?" sindir Ernest untuk mengejek temannya yang memiliki tubuh bongsor itu.
Devian yang sejak tadi duduk menemani Ernest di sebuah sofa panjang, langsung meluruskan tangannya untuk melerai pertikaian mulut antara Baron dan Ernest.
"Udah-udah, gak ada gunanya juga kalian bahas mereka. Makhluk halus itu punya indera pendengaran yang tajam loh, kalo kaumnya dibicarakan ... dia pasti langsung nimbrung sama orang yang sedang membicarakannya. Mau itu di dalam TV ataupun cuma sekadar baca cerita horor di blog. Mereka bakal setia nemenin kalian sampai kalian selesai nonton dan kelar baca tentang mereka."
"Hah, seriusan lo?" tanya Arthur, Dylan dan Ernest yang tampak termakan omongan Devian.
"Dih, jadi kalian belum tau? Menurut kalian, kenapa coba ... kalo nonton film horor atau ngebahas cerita hantu, bulu kuduk kalian pada berdiri? Itu karena hantu yang diomongin juga ada di dekat kalian!" Terang Devian memperjelas teorinya. "Sudah-sudah, mending ... kalian pulang sekarang gih. Kasian temen kalian ini, butuh istirahat yang banyak tuh," imbuh Devian, kembali mengemut lolipop rasa lemonnya.
"Lo bener. Gue emang butuh istirahat banget. Badan gue juga pada sakit. Jiwa gue masih terguncang nih kalo keinget tadi," timpal Ernest mengurut dadanya. Devian tersenyum kecil, lantas menyerahkan kertas selebaran yang katanya ditemukan oleh satpam berada di samping tubuh Ernest sewaktu ia pingsan tadi.
Dylan dan Arthur mengangguk paham. Tanpa diminta, mereka berdua langsung memapah tubuh Ernest yang masih lemah itu menuju sebuah mobil yang ada di parkiran.
"Bar! Lo yang nyetir ya," seru Dylan menoleh ke belakang yang dijawab acungan jempol oleh Baron. Baru saja remaja lelaki dengan penampilan preman itu hendak mengayunkan tungkainya menyusul Dylan CS, Devian lebih dulu menahan tangan Baron.
Pemuda yang mengenakan hoodie panda itu melepaskan lolipopnya dari dalam mulut, memasang wajah seriusnya kemudian berujar, "Ada baiknya, sebelum kamu pergi, kembalikan lebih dulu benda yang bukan milikmu. Sebelum pemiliknya datang sendiri ke tempat kamu tinggal dan menerormu," nasihat Devian membuat Baron mengernyit bingung.
"Ngomong apaan sih lo? Gak jelas banget ... dasar orang aneh!" balas Baron melepaskan tangan Devian dari lengannya kasar, kemudian setengah berlari keluar gedung bioskop.
Dari jendela kaca besar yang ada di dalam gedung bioskop, Devian menggelengkan kepalanya pelan. Memerhatikan laju mobil sedan merah yang Baron kemudikan keluar dari area bioskop XXI, dengan beberapa makhluk menyeramkan yang menempel di belakang kaca mobil tersebut.
Bersambung
Pada tahun 1999, gedung bioskop REGENT (sekarang menjadi Bioskop XXI) di jalan Solo, Yogyakarta ... pernah mengalami kebakaran hebat hingga keempat studio teater yang berada di dalam gedung tersebut, hangus tak tersisa. Termasuk kurang lebih 15 orang pengunjung yang ikut tewas terpanggang di dalamnya. Konon katanya, setelah tragedi kebakaran itu terjadi ... setiap malamnya, suara rintih kesakitan, orang yang menangis, meminta tolong, dan penampakan-penampakan manusia dengan tubuh penuh luka bakar, sering muncul di sekitar puing-puing gedung tersebut. Bahkan, meski kejadiannya sudah terjadi belasan tahun silam. Keangkeran bioskop itu masih dapat dirasakan oleh para pengunjung Bioskop XXI yang kebetulan datang pada jam 9 malam ke atas. Mereka yang tanpa sengaja menonton hanya berempat, begitu masuk ke ruang teater ... akan dikejutkan dengan semua kursi di dalam sana yang sudah terisi penuh oleh makhluk lain. Kenapa angka 4? Karena studio Regent yang habis terbakar itu berjumlah 4 studio, dan ada empat jasad korban kebakaran yang belum ditemukan hingga saat ini.

Book Comment (77)

  • avatar
    damaniklina

    semakin baca kebawa saya semakin suka dengan jalan ceritanya. cerita yang bagus.

    03/02/2022

      0
  • avatar
    Riska Batubara

    bagus

    23/03

      0
  • avatar
    Nur Alif

    bagus

    23/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters