logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3

Aku Menyerah
Bab 3
Tok ... Tok ...
"Assalamualaikum ...."
Alhamdulillah, itu suara mas Yanto. Segera aku berlari ke luar menuju pintu depan, kusibak gordyn dan kulongokkan kepalaku di jendela.
Tentu saja, aku tidak bisa membuka pintunya. Kuncinya pasti dibawa ibu. Tapi, aku senang akhirnya bisa lepas dari keadaan tadi.
"Waalaikumsalam ...," jawabku lirih tapi masih terdengar.
"Awas kalau kamu ngadu ke anakku, kupastikan kamu segera diceraikan nanti!" sentak ibu sambil mendorongku sebelum membuka pintu.
"Kenapa dikunci segala pintunya, Bu? Kenapa wajahmu pucat, Dik?" Mas Yanto memindai wajahku, kujawab hanya gelengan kepala.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya kaget bangun tidur mendengar pintu digedor tadi," jawabku sambil mengulas senyum.
Mungkin sekarang aku diam tapi nanti aku akan membongkar semuanya. Aku harus punya bukti dulu baru bertindak cantik.
"Nggak usah berlebihan begitu, Yan. Istrimu itu kerjaannya cuma rebahan, nggak usah terlalu dimanja. Sekarang ayo ambilkan KTP Mbakmu di kafe tadi. Bikin malu orang tua!" gerundel ibu.
"Lhah katanya nggak ada uang, kenapa makan di kafe segala sih, Bu? Terus kenapa Ibu menyalahkan Yana tadi di telepon?" tanya suamiku.
"Uang sekolah Tata ternyata masih bisa dibayar minggu depan, ya sudah Ibu pakai saja dulu!" Tanpa rasa malu ibu berbohong lagi.
"Emang kenapa Yan, kalau Mbak sama Ibu makan di sana? Kamu nggak suka kami bahagia? Nggak takut durhaka kamu?" cicit mbak Mirna.
"Bukan begitu Mbak, seharusnya uang itu Mbak simpenin dulu sampai dibayar minggu depan. Jangan boros dululah Mbak, akhir-akhir ini aku nggak dapet lemburan takut nggak cukup belanjanya buat sebulan." bela mas Yanto.
"Halah, suruh tuh istrimu bantuin keuangan buat belanja rumah tangga biar nggak pusing kamu mikirinnya!" sungut mbak Mirna julid.
"Ayo, sekarang juga ambil KTP Mbakmu takut keburu malem." desak ibu mertua.
Bukannya tadi mereka mengajak si Ajeng yang katanya kaya raya, masak sih nggak dibayarin makanannya. Sampai harus ninggalin KTP segala.
Bikin penasaran, benar-benar ingin tahu alasannya sampai nggak kebayar tuh makanan?
"Dik, Mas pinjem uangnya dulu ya buat bayar makannya Ibu tadi. Mas ada uang tapi buat beli bensin sama rokok sampai gajian nanti." rayu mas Yanto dengan sedikit memelas.
"Maaf Mas, tapi aku lagi nggak ada. Uang belanja buat besok saja tinggal dua ratus ribu padahal gajian masih seminggu lagi."
Maaf mas terpaksa aku membohongimu, aku ingin segera pindah dari sini jadi harus berhati-hati dalam mengeluarkan uang.
"Ya sudahlah, nggak apa-apa, sini uangnya besok tak cari pinjaman," katanya pasrah dengan wajah muram.
Sebenarnya, aku juga nggak tega lihat kamu mas, tapi mereka sudah keterlaluan. Kalau nggak ditegasin bisa tuman nanti.
Lihat saja, muka ibu dan mbak Mirna tersenyum sinis seolah tanpa rasa bersalah sudah membebani anaknya sendiri dengan bangga.
Mendingan aku masak buat makan malam daripada melihat mereka bikin hati tambah emosi.
Kusiapkan semua makanan di meja, kutunggu sampai jam delapan masih tak kunjung pulang.
Padahal perginya masih sore, kafe pun letaknya tak jauh dari rumah. Kemana lagi perginya mereka?
Terdengar dalam kamar, dari suaranya seperti motor mas Yanto? Benar saja deru suara motornya berhenti di depan rumah. Kulangkahkan kaki dengan cepat menuju depan untuk membukakan pintu.
Alangkah terkejutnya melihat wanita yang tadi sore di kafe ikut pulang bersama suamiku.
"Masuk dulu, Mas. Kenapa sampai malam begini baru pulang, Mas?" tanyaku tak bisa menahan lagi.
"Suami pulang bukannya disambut senyum malah dicurigai. Sana bikinkan minum buat tamu kita, sekalian siapkan makan, kami sudah lapar sekali." perintah ibu mertua tanpa ada manis-manisnya.
"Baik Bu, Mas mandi dulu saja aku sudah siapkan bajunya di kamar. Makanan sudah tersaji di meja Bu, aku tinggal bikin minumnya," tandasku walau hati bergemuruh ingin tahu rencana mereka membawa pulang wanita itu.
Aku harus bersabar sampai makan malam nanti selesai. Akan kutanyakan kalau sudah di kamar berdua saja.
"Makan Nak Ajeng, nggak usah sungkan anggap saja ini di rumah sendiri," ucap ibu pada tamunya.
"Yan, tolongin dong si Ajeng ambilkan lauknya yang dekat denganmu, sekalian ambilkan minum juga buat dia," Kulihat ibu dan mbak Mirna saling melirik dan tersenyum. Dan menyuruh mas Yanto meladeni wanita itu.
"Ini Mbak Ajeng saya ambilkan lauk dan minumnya sekalian. Kasihan mas Yanto mungkin sudah lapar biar diteruskan makannya." sambungku tak mau kalah.
Mas Yanto melihatku dan mengangguk tanda setuju. Kulirik mereka sepertinya kesal karena tak ditanggapi suamiku sama sekali. Emang enak hihi.
Akhirnya, kami pun bisa berdua di kamar. Ingin kutanyakan tapi kasihan mas Yanto, sepertinya kecapekan. Tapi, nggak ditanyakan takut jadi bisul mengendap di hati.
"Mas, kenapa mbak Ajeng bisa ikut pulang ke sini, emangnya dia nggak dicari keluarganya kalau menginap?" cercaku sudah tidak bisa ditahan.
"Mas, juga nggak tahu Dik? Setelah membayar tadi, ibu minta dianter ke rumah temannya mbak Mirna, keluar rumah temannya sudah ikut saja tuh mbaknya.
Katanya sih, keluarga dia lagi keluar kota semua. Dia takut di rumah sendiri terus diajak ibu pulang. Memang kenapa Dik, kok kelihatan kurang suka gitu!?" tandas suamiku.
"Bukannya nggak suka, tapi aku heran sama ibu? Sama aku nggak pernah tuh diperlakukan kayak begitu, sama mbak Ajeng kok beda, baik banget gitu." sindirku.
"Sudahlah, nggak usah dibahas aku capek ngantuk mau istirahat dulu." pungkasnya, selalu menutupi tabiat ibunya.
Kutatap suamiku yang berlalu ke kamar mandi, selang beberapa waktu ke luar dari kamar mandi sudah berganti pakaian. Direbahkan tubuhnya di ranjang tanpa menoleh lagi kepadaku sedikitpun.
Baiklah Mas, semoga ucapanmu barusan benar adanya. Begitu juga dengan ibu, semoga tak ada rencana buruk lagi untuk rumah tangga kita. Tapi, aku juga tetap harus hati-hati.
*****
Pagi-pagi sudah terdengar panci beradu di dapur. Siapa yang memasak sepagi ini? Ibu, kurasa tidak mungkin. Ibu terbiasa bangun siang, aku sudah hafal kebiasaannya.
Kuturunkan kaki dari ranjang menuju ke dapur untuk melihat siapa gerangan. Ternyata mbak Ajeng yang sedang menggoreng nasi sambil memotong sayuran.
"Mbak, kenapa repot sekali pagi-pagi sudah memasak?" tanyaku mendekat kepadanya.
"Memang kenapa Yan, kalau Ajeng masak sepagi ini? Kamu takut Yanto lebih suka masakan dia?" tukas ibu yang tiba-tiba muncul di belakangku.
"Maksudnya apa Ibu ngomong seperti itu?!"
"Halah, nggak usah sok belagu kamu! Ajeng aku bawa ke sini karena mau kujodohkan dengan Yanto, harusnya kamu sadar diri sudah lima tahun menikah masih belum punya keturunan!" sungut ibu.
Aku hanya melongo terkejut mendengar penuturan ibu yang terlalu berterus terang. Padahal ibu juga tahu aku dan mas Yanto sama-sama sehat sewaktu periksa tes kesuburan tahun lalu.
Hamil adalah mutlak kuasa Allah, aku pun juga ingin keturunan tapi aku bisa apa? Kalau Allah belum memberikan mungkin Dia punya rencana yang lebih baik.
Tugas kita hanya berusaha dan berdoa selanjutnya pasrahkan semuanya pada Sang Pencipta. Biarkan dan percayakan tangan-Nya yang bekerja.
"Aku kedalam dulu, Bu." Hanya itu yang mampu kuucap dan berlalu dari hadapan mereka.
Kulangkahkan kembali diri ini ke kamar, tak terasa air mata bergulir begitu saja tanpa bisa kucegah. Allah tahu mana yang terbaik buat hamba-Nya. Kuatkan diri ini dalam menghadapi suami dan keluarganya ya Allah.
Sesampai di kamar, kulihat suamiku sudah rapi dengan baju dan tasnya, siap berangkat kerja. Tumben pagi sekali tidak seperti biasanya? Tak pelak hatiku menaruh curiga.
"Sepagi ini, sudah siap? Tumben banget Mas, memang ada apa?" tanyaku sembari membereskan sprei yang terpakai semalam.
"Iya, Dik. Hari ini Mas ada kerjaan mendadak di kantor."
"Iya udah, Mas aku bikinkan sarapan dulu ya. Tunggu sebentar," ucapku sambil berlalu ke luar kamar.
"Eh, nggak usah Dik, Mas buru-buru takut telat kalau nunggu masak dulu. Tadi ibu bilang sudah ada nasi goreng di meja, Mas makan itu saja ya, daripada kesiangan." Segitu cepatnya ibu mertuaku tanggap memberitahu masakan Ajeng.
"Ya sudah kalau gitu, terserah kamu saja Mas." ucapku pasrah.
Kami berjalan beriringan menuju meja makan, di sana tersedia hanya tiga piring nasi goreng yang sudah tertata rapi.
Kulihat ibu mencebik sinis, dan kembali menatap makanannya. Ternyata tiga piring hanya untuk ibu, Ajeng dan mas Yanto saja.
"Makanmu bikin saja sendiri," sindir ibu tanpa menatapku. Dan wanita itu hanya tersenyum remeh.
Aku hanya menatap ibu, Ajeng dan mas Yanto bergantian. Belum apa-apa sudah getir rasanya melihat mereka bertiga makan bersama.
Baiklah, sejauh mana kita mampu bertahan akan kuikuti permainan kalian. Biarpun aku terlihat lemah tapi aku mampu berdiri sendiri suatu saat nanti.
Aku hanya butuh waktu menunggu suami berubah menjadi imam yang tegas. Jika memang selamanya begini aku siap mundur, Mas.
Bersambung...

Book Comment (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters