logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 2

Aku Menyerah
Bab 2
"Lho Mas, kenapa tiba-tiba ke sini? Bukannya tadi nggak mau kuajak, kasihan ibu katamu di rumah sendiri," cecarku untuk menutupi kepanikan. Apakah dia melihatnya tadi, sewaktu aku memberi buku tabunganku ke ibu.
"Seharusnya aku yang tanya duluan? Kamu kasih apa ibu tadi?" desaknya setelah kami berada di kamarku.
"Nggak apa-apa, Mas. Tadi cuma bungkusan makanan dari tetangga depan, katanya oleh-oleh dari anaknya yang dikirim dari Luar Jawa." Terpaksa aku berbohong, agar dia tidak curiga. Untungnya, memang tadi dari rumah sudah kubungkus di plastik hitam biar tidak ketahuan.
*****
Sorenya, aku dan mas Yanto memutuskan untuk pulang. Setelah sampai aku langsung masuk ke kamar. Capek rasanya pengen istirahat saja. Seketika Ingin rasanya aku marah dan kulampiaskan semuanya yang selama ini terpendam.
Kamar yang sewaktu kutinggalkan tadi tidak seberantakan ini, kenapa semua sudah tidak pada tempatnya.
Segera kubuka lemari dan benar saja, baju yang selalu kutata rapi menjadi berubah, walaupun aku tahu itu sudah kembali dirapikan tapi ini tidak seperti hasil tanganku.
Apa yang sebenarnya kalian inginkan, Mas? Kenapa semakin ke sini semakin aku merasa tidak mengenalmu.
*****
"Dik, Mas pinjam uangmu dulu ya?"
"Duit apa Mas, aku nggak ada. Lagian, buat apa sih, Mas?"
"Buat bayar sekolahnya Tata, katanya sih sudah nunggak dua bulan," Tata adalah anak dari mbak Mirna.
"Lhah, kenapa nggak minta suaminya? Kok mintanya sama kamu, Mas?"
"Suaminya juga lagi nggak pegang uang, Dik. Besok sudah harus dibayarkan katanya."
"Baiklah Mas, kalau untuk Tata nggak apa-apa tapi kalau untuk yang lain aku nggak mau bantu, besok pagi kukasih uangnya ya." Tak apalah kalau memang untuk sekolah Tata, pikirku.
"Makasih ya, Sayang," ucapnya sambil tersenyum.
Semoga kamu nggak bohong, Mas. Ucapku dalam hati.
Baru selangkah dari kamar, hendak ke luar cari angin, terdengar suara ibu dan mbak Mirna bisik-bisik di kamar ibu.
Kutempelkan segera telinga ini, punya rencana apalagi mereka? Seketika mataku terbelalak dan langsung tersenyum. Aku juga punya sesuatu untuk kalian.
Paginya, aku berikan uang sesuai janjiku kemarin. Setelah kusodorkan amplop berwarna coklat berlogo bank ternama di negeri ini, pada suamiku. Dia langsung ke kamar ibu dan ke luar dengan senyum mengembang. Kena kamu, Mas.
*****
Hampir tiga puluh menit aku menunggu di kafe, akhirnya mereka datang juga. Kututup wajah dengan buku menu agar tidak terlihat keberadaanku oleh mereka. Kulihat ibu dan mbak Mirna mengajak seorang wanita cantik seumuran denganku. Siapa dia?
"Oya, Ajeng silakan kamu pilih makanan yang kamu suka, ya? Nanti Mbak yang traktir, hari ini Mbak dapet rejeki lebih hehe," Kudengar obrolan dari mbak Mirna yang memulai duluan. Dih, bilangnya rejeki lebih, bikin geram telinga saja!
"Iya, Nak Ajeng kalau mau makan pilih saja sesukanya. Apa nak Ajeng nggak suka ya menunya? Secara orang sekaya Nak Ajeng pasti makannya enak-enak." Ibu mulai menimpali.
"Ah, Ibu bisa saja. Sebenarnya ada apa ya, Bu? Kok Ajeng diajak ke kafe segala?"
"Ehm ... gini Jeng, sebenarnya kita mau ngenalin kamu sama adikku, Yanto. Kasian, sudah lima tahun menikah masih belum mempunyai keturunan. Siapa tahu kalian cocok, gitu?" tukas mbak Mirna tanpa basa basi.
Ya Allah, terbuat dari apa hati mereka. Bagaimana bisa mereka melakukan ini, sedangkan aku masih berstatus istri adiknya.
Aku masih setia mendengarkan obrolan mereka yang menjelaskan betapa baiknya suamiku dan buruknya kelakuanku. Teruskan saja mbak, aku tidak peduli.
Akhirnya, mereka selesai dan hendak membayar tagihan semua menu yang dipilihnya di atas meja tadi.
Kulihat mbak Mirna mengambil amplop yang kuberikan tadi pagi, seketika wajahnya memucat dan berbisik pada mertuaku. Keduanya saling melongo melihat isi amplop itu.
Maaf ya mbak, rencana makan enak gratis tapi malu yang didapat haha. Bentar lagi kamu pasti telepon mas Yanto, dan mengadu kemudian minta dibayarin tagihanmu.
"Hallo Yanto, ini Ibu, kamu segera ke kafe 'Dapur Ibu' sini!" Suara ibu mertua terdengar keras dibelakangku.
"Ibu ngapain di kafe itu? Katanya nggak ada uang, kok malah menyuruhku ke situ?" Bikin malu saja mereka, menelepon di tempat umum kok di loudspeaker.
"Sudah, jangan banyak nanya dulu, cepetan ke sini!" Perintah ibu mertua, dan dengan cepat mematikan sambungan teleponnya, mungkin takut keburu Ajeng balik dari toilet.
Kupastikan mas Yanto tidak akan datang, karena aku sudah menelepon Bos-nya yang memang teman baik semasa sekolah dulu. Mas Yanto bekerja di sana juga atas rekomendasi dariku. Aku minta tolong padanya agar dipersulit kalau hari ini mas Yanto minta ijin ke luar.
Lebih baik aku pulang dulu, istirahat di rumah tanpa adanya gangguan. Semoga saja, mereka cepat pulang dan dalam keadaan sehat dan sadar.
Tiba-tiba ponselku berdering sebelum membuka pintu rumah. Ternyata dari mas Yanto.
"Hallo, assalamualaikum, ada apa Mas? Tumben jam segini telepon?"
"Waalaikumsalam Dik, kamu sengaja ya ngasih uang aku tadi pagi dua ribuan semua? Sekarang ke kafe susul ibu dan bayar semua tagihannya!"
"Kok aku yang harus bayar, yang makan siapa, Mas? Bayar sendirilah, siapa suruh berbohong, bilangnya buat bayar sekolah Tata, kan?
Kok malah buat makan enak-enak! Aku nggak mau Mas, aku baru pulang mau beresin rumah," sungutku jengkel sembari memutuskan sambungan ditelepon.
Baru saja merebahkan diri, kudengar pintu depan terbuka dan derap langkah-langkah berat menuju ke kamarku.
Brak ...
Bunyi pintu kamarku seperti digebrak seolah tidak sabar. Kusiapkan mental dan badan seandainya mereka memaksa merangsek masuk dan memukulku.
"Ada apa sih, Bu? Bisa pelan nggak ngetok pintunya, aku masih punya telinga yang utuh."
"Gara-gara kamu! Aku dan Mbakmu dipermalukan! Benar-benar nggak waras kamu, Yan!!! Sini, biar kuajari kamu cara sopan santun sama orang tua!"
Dengan sigap mereka menarik lenganku dan diseret tanpa ampun menuju kamar mandi. Aku yang kalah tenaga, masih meronta melepaskan diri. Aku nggak boleh kalah, aku harus bisa lepas sebelum mereka menenggelamkan kepalaku di bak mandi, seperti yang sudah-sudah.
Dengan segala tenaga aku hentakkan tanganku, mereka kaget karena aku melawan dan kugunakan kesempatan sedikit ini dengan menghentak cepat kembali lenganku dan berhasil lepas.
Aku langsung berlari sekencangnya menuju luar. Oh tidak! Ternyata mereka mengunci semua pintu dan mengambil kuncinya. Bagaimana ini, aku harus lari ke mana Ya Allah.
Satu-satunya cara hanya kembali ke kamarku, di sana masih bisa dikunci dan aku bisa sembunyi untuk sementara waktu.
Kuputar arah kembali ke dalam, seolah tahu jalan pikiranku, dengan senyum menyeringai mereka menunggu di dekat kamarku.
Aku tidak bisa teriak minta tolong, rumah ibu mertua diapit beberapa sawah dan tetangga paling dekat sekalipun belum tentu mendengar teriakanku.
Di rumah ini yang masih ada kuncinya hanya kamarku dan kamar ibu mertua. Bahkan kamar mandi pun hanya bisa ditutup tanpa bisa dikunci.
Kalaupun harus lewat jendela aku tetap melewati mereka dulu. Jendela yang bisa kubuka dan muat tubuhku hanya jendela dapur. Jendela ruang tamu terlalu sempit mana muat mengeluarkan tubuhku.
Aku harus cari cara lain, tapi apa? Aku tidak mungkin melawan, ibu dan mbak Mirna berperawakan besar berbanding terbalik denganku.
Saat hampir menyerah, kudengar pintu depan diketok seperti ada tamu? Semoga ini pertolongan dari-Mu.
Bersambung...

Book Comment (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters