logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Aku Menyerah

Aku Menyerah

Anna Rikza


Bab 1

Aku Menyerah
Bab 1
"Kamu ya Mas, yang ngadu ke ibu?" cecarku setiba suami pulang kerja. Sengaja aku ungkapkan karena sudah tidak tahan menunggu nanti.
"Ngadu soal apa sih, Dik?" sungutnya.
"Nggak usah pura-pura deh, Mas," sentakku kesal. Ingin marah tapi masih bisa kutahan. Aku harus tahu dulu apa alasannya suamiku mengadu ke ibunya, perihal rencanaku mengajukan permohonan pengambilan griya di perumahan bersubsidi.
"Aku masih nggak ngerti kamu ngomong apa, Dik? Sudahlah, sana bikinin aku kopi. Pusing kepalaku baru pulang langsung marah-marah nggak jelas!" Kulihat mas Yanto melempar tasnya ke sofa dan ikut duduk setelahnya, sambil merebahkan kepalanya disandaran sofa.
"Kamu bilang sama ibu, kan Mas, kalau aku mau ambil perumahan?" desakku ingin tahu.
"Iya, memang salah kalau aku bilang begitu?" semburnya.
"Sangat bukan masalah, Mas? Yang aku nggak mengerti kenapa malah ibu jadi marah sama aku? Bukankah malah bagus kalau kita bisa beli rumah dan hidup mandiri tanpa menempel terus sama ibu kamu?" jelasku panjang lebar, biar dia paham kalau aku ingin mandiri.
"Ya, kamu lihat sendirilah Dik? Rumah ibu ini, kan besar dan cuma kita yang ikut mereka, apa salahnya kamu tunda beli rumah dan mungkin uangnya bisa dibuat renovasi dulu rumah ibu," ucap suamiku mulai melembut suaranya.
Owh ... jadi ini alasannya kenapa mereka melarangku. Tunggu saja mas, aku tidak akan semudah itu mengeluarkan uang hasil jerih payahku untuk sesuatu hal yang belum pasti kelak menjadi hakku.
Kutinggalkan suamiku sendirian di ruang tamu, mendingan aku ke kamar dan melanjutkan membaca cerita online yang tertunda tadi.
Dari pada berdebat dengannya yang tidak akan ada habisnya. Selalu seperti ini, dia tidak pernah mendukungku dan hanya memikirkan dirinya dan ibunya.
Perkenalkan, namaku Yana. Aku adalah anak tunggal dan Yanto adalah nama suamiku. Kami menikah lima tahun yang lalu dan masih belum diberi keturunan. Sejak menikah, kami tinggal di kota besar karena sama-sama bekerja.
Tetapi, setelah kecelakaan dua tahun lalu yang menimpa suamiku terpaksa kami pulang ke kampung dan ikut menetap di rumah ibu dari suamiku. Mbak Mirna adalah satu-satunya kakak iparku yang tinggal sekampung juga dengan mertuaku.
*****
"Mas, aku mau ke luar sebentar," pamitku pada mas Yanto yang sedang menonton televisi ditemani ibunya.
"Mau kemana?" tanyanya tanpa menoleh untuk menatapku.
"Ke rumah bapak, mau jenguk ibu katanya lagi kangen. Mas, mau ikut? Aku tungguin di depan sementara Mas ganti baju ya?"
"Maaf Dik, Mas nggak bisa ikut, kasihan Ibu nanti sendirian di rumah." Alasan yang sangat klise, ibu masih kuat untuk melakukan pekerjaan apapun dan bukan wanita tua yang lumpuh. Setiap hari juga selalu sendirian kalau aku dan mas Yanto bekerja.
Kulihat ibu menyikut pelan lengan suamiku. Kurasakan sedikit perasaan tak nyaman.
"Paling juga setor duit ke sana!"
Sebelum berlalu masih terdengar ibu berbisik sambil mencemooh.
"Apa aku nggak salah dengar, Bu?" tanyaku sambil menatap lekat mata ibu mertuaku. Yang ditatap hanya melengkungkan bibirnya dengan sinis.
"Aku berangkat dulu Mas, kalau nggak mau ikut." Akhirnya aku berucap karena tak ada jawaban.
"Dik, uang yang mau kamu buat DP rumah, biar dipegang Ibu saja. Mungkin benar kata Ibu, takutnya nanti malah dipinjam bapak sama ibu di sana!"
Tersentak langsung aku mendengar penuturan suamiku yang menghujam perih ke dasar hati. Sakit tak berdarah memang tapi sungguh mampu membuatku langsung menoleh dan menatap nanar ke suamiku.
"Apa maksud ucapanmu, Mas!?" sentakku mulai sedikit emosi.
"Kamu dengar betul ucapanku tadi, kan? Sini biar Ibu yang bawa duitnya." timpal ibu mertua.
"Mas tahu betul itu tabunganku sendiri tanpa campur tanganmu sepeser pun, lalu? Untuk apa aku harus memberikannya?" ucapku sinis.
"Jangan kurang ajar kamu, Yana. Uang kamu juga, kan uang Yanto, anakku. Wajarlah kalau aku yang pegang. Kamu tuh cuma orang lain yang kebetulan dinafkahi anakku. Harusnya kamu bersyukur!" dengus Ibu mengompori anaknya.
"Teori dari mana itu, Bu? Kenapa aku jadi ingin tertawa," sanggahku.
"Tuh, lihat Yan! Istrimu sudah kurang ajar sama Ibu, kalau nggak dikeras lama-lama bisa ngelunjak dia!"
"Yana, bicara yang sopan pada Ibu. Kita itu sudah boleh tinggal di sini, jaga sikapmu sama Ibu!" Kulihat Ibu mencebik sinis, merasa menang karena dibela mas Yanto terus.
Silahkan saja tertawa sekarang, tapi kupastikan tidak akan semudah itu aku akan memberikan uangku. Enak saja, aku yang kerja keras mereka yang menikmati.
Tak mengapa kalau mereka baik dan tak merendahkanku. Lha ini? Sudah seperti pembantu gratisan saja rasanya. Selain kerja, aku juga mengerjakan semua pekerjaan rumah dari mencuci, memasak dan masih banyak yang lainnya.
Belum lagi, mbak Mirna kalau datang ke rumah membawa semua pasukannya. Tak jarang dia selalu berhasil merusak suasana hatiku. Dari makanan di lemari pendingin sampai yang tersaji di atas meja makan selalu ludes dilahapnya.
Pulang pergi masuk rumah tanpa salam tanpa malu. Bahkan, ibu dan mas Yanto yang sudah paham pun hanya membiarkannya. Pernah aku mengadu eh malah aku yang kena semprot dibilang beginilah begitulah. Muak aku rasanya dengan keluarga suamiku.
"Sudahlah Mas, aku sedang terburu-buru dan nggak pengen ribut. Lebih baik aku jalan dulu sebelum kemalaman." tandasku tanpa ingin meneruskan lagi perdebatan yang tiada akan ada titik temunya.
Sebenarnya, saat ini aku ke rumah bapak karena ingin mengamankan beberapa perhiasan dan tabunganku. Semalam aku tidak sengaja mendengar ibu dan mbak Mirna berencana mengambil tabunganku saat aku pergi. Beruntung aku mendengarnya jadi aku bisa bergerak cepat sebelum habis semuanya.
Aku tidak habis pikir bagaimana bisa, mereka begitu tega merencanakan hal yang sangat jahat. Apa salahku, bukankah dari awal aku selalu baik dan menurut pada ibu mertuaku. Seolah tiada kebaikan yang terlihat, apapun yang kulakukan menjadi salah.
*****
Terlihat dari kejauhan, ibu sama bapak sedang membersihkan halaman depan. Bapak memang selalu membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau tidak malu dan sungkan, penuh kasih sayang dan bijak.
Sungguh, baru memikirkannya saja membuat mata ini berair, apa yang akan kukatakan nanti kalau aku ke sini sendiri dan hendak menitipkan barang-barangku. Maafkan aku bapak, ibu.
"Makan yang banyak Yan, lihat itu tubuhmu sudah seperti tulang sama kulit. Apa Yanto nggak memberimu makan, ha?" gerundel ibu ketika sedang makan siang bersama.
"Dikasihlah Bu, mana mungkin nggak dikasih. Kan, memang dari dulu badanku segini Bu," tukasku lembut.
"Tumben ke sini nggak dianterin Yanto? Emang suamimu itu kemana?"
"Lagi sibuk mas Yanto, Bu. Nanti kalau nggak sibuk pasti ikut ke sini. Oh iya, sebenarnya aku ke sini mau nitip ini, Bu. Buku tabungan dan beberapa perhiasanku, kalau kupegang sendiri takut khilaf Bu, pengen beli-beli. Padahal aku pengen beli rumah sendiri, takut habis nanti. Tolong simpenin ya, Bu?"
"Baiklah Yan, nanti biar Ibu yang simpenin. Biar kamu cepet punya rumah sendiri."
Tiba-tiba tak disangka, nggak dengar suara salam dari pintu depan juga. Pintu depan memang jarang ditutup kalau di desa Mas Yanto sudah berada di ruang makan ibu. Menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan?
bersambung yaa...

Book Comment (71)

  • avatar
    Alia Maisarah

    Seronok

    07/07

      0
  • avatar
    NurjannaNayla

    baguss bangett Sumpahh cerita ny mirip kek cerita asli ku😃

    11/06

      0
  • avatar
    Seva Apalah

    bagus

    07/01

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters