logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Kehangatan Hati

Raka terduduk di pinggir tempat tidur. Ayam telah berkokok berulang kali. Dia tak merasakan sakit kepalanya setelah berisirahat di kamar Bima. Dia melihat Bima yang masih tertidur pulas di bawah. Raka tidur di atas ranjang sedangkan Bima tidur di bawah beralaskan kasur tipis yang bisa dilipat.
Raka memandangi wajah Bima yang tergolong tampan. Setelah melihat lekat wajah pemuda itu, kepalanya terasa sakit kembali, seperti dicucuk jarum berkali-kali. Raka meringis kesakitan, tapi sakit yang dirasakannya tidak parah seperti semalam.
Kembali dilihatnya wajah Bima yag masih tertidur pulas, tak ada tanda-tanda akan terbangun di shubuh ini, padahal ayam telah berkokok berulang kali seakan memang ingin menganggu tidur pemuda itu.
Aku seperti pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Wajahnya seakan tak asing diingatanku.
Raka tertegun sembari memegangi kepalanya yang masih sedikit sakit. Setelah merasa sedikit reda rasa sakit di kepala, Raka melihat ke sekeliling kamar. Kamar yang tak luas, tapi terlihat rapi. Pemuda yang tidur di bawah adalah pemuda yang rapi dan pembersih, itu menurut Raka. Kemudian dia melihat foto suami istri yang sudah berusia lanjut. Foto itu terlihat tidak terlalu kusam. Berarti foto itu diambil mungkin sekitar 5 tahun yang lalu.
Raka memalingkan wajahnya ke arah baju-baju seragam yang tergantung rapi di balik pintu. Dua pasang baju tergantung di balik pintu berwarna biru dongker. Raka mengenal desain baju itu. Ternyata profesi Bima sebagai satpam. Pasti di pabrik yang diucapkan oleh abang angkatnya yaitu Mas Sudar. Semalam Raka melihat Bima pulang ke rumah dengan mengenakan hoodie, jadi tak diperhatikannya seragam satpam yang dikenakan oleh Bima.
“Eh… kamu sudah bangun?” Tiba-tiba Bima berucap.
Raka terkejut.
“Maaf… aku mengagetkan kamu,” ujar Bima sembari bangun dari tidurnya. Pemuda itu duduk di atas kasur.
“Ah… maafkan aku yang telah membangunkanmu,” balas Raka.
“Tidak. Ayam yang berkokok itu yang membangunkanku dan emang biasa aku bangun di jam segini,” nyata Bima. Kemudian dia bangkit dari duduknya. Melipat selimutnya dan kasur lipat yang dipakainya sebagai alas tidur tadi malam. Kemudian menyusun dengan rapi dan meletakkan di bawah ranjang yang sedang diduduki oleh Raka.
“Maaf… aku telah menguasai tempat tidurmu,” nyata Raka.
“Ah… tidak. Aku harus menghormati tamu.” Bima berujar dengan cepat. Dia tak ingin Raka merasa bersalah. Pemuda itu mengumbar senyumnya yang manis kepada Raka.
“Aku mau ke kamar mandi. Mau ngambil whudu’. Kamu mau ke kamar mandi terlebih dahulu?” tanya Bima.
“Ah… tidak. Silahkan kamu terlebih dahulu,” tolak Raka.
“Oke… nanti setelah aku sholat shubuh, aku temeni kamu ke kamar mandi.”
Raka ingin menolak dengan ucapan halus, tapi lawan bicaranya telah keluar dari kamar tidur. Ucapannya tertahan.
Perasaan apa ini? Aku merasa bahwa aku sangat dihargai di sini. Di rumah kecil dengan keluarga kecil yang begitu ramah.
Raka tertegun.
***
“Mas Sudar tadi ngomong, kamu mau dibawa ke rumah sakit pagi ini. Kepala kamu mau diperiksa,” ujar Bima sambil melipat sajadah, disusul sarung yang dikenakannya dan menyusun rapi di atas meja yang ada di sudut ruangan.
“Ke rumah sakit? Ah… aku tidak apa-apa?” tolak Raka secara halus.
“Gimana tidak apa-apa? Kamu sering sakit kepala. Sebenarnya apa yang terjadi? Mas Sudar tak banyak bicara tentang kamu ke aku,” tanya Bima. Dia hanya tahu bahwa Mas Sudar menemukan pemuda ini di lautan pada saat mencari ikan dan abang angkatnya juga belum banyak cerita dengan Raka karena merasa sungkan untuk menanyakan hal itu.
Raka terdiam. Dia menunduk. Bingung.
“Ya, sudah. Kalau kamu belum siap untuk bercerita tentang diri kamu, jangan dipaksa. Mas Sudar dan Mba Mirna orangnya baik. Kamu tinggallah di sini, sampai ingatan kamu pulih,” ujar Bima.
Siapa yang hilang ingatan? Sok tau anak ini. Aku hanya tak mau berbicara saja.
Raka tak mengangkat kepalanya.
“Tapi, kamu harus dibawa ke Rumah Sakit, jangan tolak kebaikan dari Mas Sudar,” ucap Bima dengan sungguh-sungguh.
Raka mengangkat kepalanya. Menatap Bima yang sedang berdiri di hadapannya. “Aaargh…,” rintih Raka.
“Tuh kan? Sakit lagi. Ayo, aku bantu untuk ke kamar mandi. Ntar kamu jatuh lagi pas mau ke kamar mandi, malah sakitnya tambah parah. Takutnya malah bocor kepala kamu, bukan tambah sembuh,” omel Bima.
Anak ini. Dasar. Kok sok tau banget sih. Sepertinya sakit kepalaku karena melihat wajah jeleknya. Soalnya pas ngeliat wajahnya, baru terasa sakit. Dimana pernah ketemu dengan anak ini? Wajahnya tak asing.
“Eh… malah bengong. Ayuk… supaya Mas Sudar enggak kelamaan nunggu. Perginya pagi-pagi supaya enggak terjebak antrian.” Lagi-lagi Bima mengomel. Tapi kali ini dia sudah menarik tangan Raka dan merangkulkan ke bahunya.
Raka tak bisa berkata-kata lagi. Menggerakkan kakinya agar bisa berjalan sesuai tuntunan dari Bima. Pemuda yang baru saja dikenalnya, tapi bersifat baik dan ramah kepadanya.
***
“Ini sih bukan Rumah Sakit, tapi Klinik. Dasar anak itu,” umpat Raka. Dia telah duduk menunggu antrian selama 15 menit. Disampingnya pria gagah yang menolongnya kemarin sore. Mas Sudar dengan sabar menunggu antrian di klinik.
Pagi ini, Raka tahu cerita dari Bima bahwa Mas Sudar dan Mba Mirna adalah satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya saat ini. Bima, tak memiliki keluarga lagi. Ayah Ibunya telah lama meninggal. Dia hidup sebatang kara. Mba Mirna adalah anak angkat dari ayahnya dulu ketika masih hidup, karena itulah dia bisa tinggal di rumah mereka. Untung saja, Mba Mirna mempunyai suami yang baik dan tidak keberatan jika Bima ikut dengan mereka. Lagian Mas Sudar dan Mba Mirna juga belum mempunya anak setelah 7 tahun menikah. Bima menjadi penghibur bagi mereka.
Mas Sudar tidak bekerja di pabrik layaknya Bima. Dia mengelola kebun sawit sendiri. Walaupun tak banyak, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Mirna berjualan nasi untuk sarapan di pasar setiap pagi. Sekitar jam 10 pagi sudah pulang ke rumah.
Raka merasakan kehangatan dan keramahtamahan dari mereka bertiga. Mas Sudar. Mba Mirna. Dan Bima. Bahkan pemuda yang satu ini terlalu hangat bagi dirinya. Raka tahu bahwa pemuda itu berusia 22 tahun. Tentu saja dari Sudar. Raka mengumpat di dalam hati ketika tahu kalau umur Bima berusia dibawah dirinya. Tentu saja umpatan di dalam hati keluar karena Bima memanggilnya dengan sebutan kamu dan mengaku dirinya dengan kata aku.
Tapi, satu hal yang disadarinya bahwa emosinya terkontrol dengan baik sejak kejadian dirinya terselamatkan oleh Mas Sudar. Dulu sikapnya sangat temperamental. Hal-hal kecil yang tak disukai oleh dirinya akan membuat dirinya murka.
“Antrian ke-4. Silahkan masuk.” Seorang perempuan berpakaian perawat memanggil dari depan pintu ruang periksa.
“Eh… itu nomor kita. Ayo, Raka,” ajak Sudar sambil mengangkat tubuh Raka secara perlahan.
Tubuh Raka mengikuti gerak tangan dari pria di samping. Berdiri dan berjalan menuju ruang periksa. Raka merasa tak enak hati dengan kebaikan Sudar yang terus memapahnya seperti anak kecil.
Ah, Tuhan. Apa yang ada di dalam hatiku ini? Mengapa aku merasakan begitu hangat. Apakah karena perlakuan mereka begitu baik kepadaku? Apakah karena aku tak pernah merasakan hal seperti ini selama hidupku?
***
“Masukan tagihannya ke perusahaan ya, Bu Kasi?” pinta seorang gadis kepada perawat lawan bicaranya.
“Baik, Ci. Seperti biasa ya,” balas perawat perempuan yang masih terlihat muda.
“Tolong diingatkan secara rutin ya karyawan kami yang menjadi pasien di klinik ini, supaya sembuh total, tidak setengah-setengah,” pintanya lagi.
“Baik., Ci Mei Mei. Cici memang baik banget dengan karyawan ya,” ujar perawat perempuan itu.
“Ah… emang sudah menjadi tanggung jawab kami jika ada karyawan sakit atau terkena musibah dalam pekerjaan, ya harus diobati,” jelas gadis yang dipanggil Cici oleh perawat perempuan itu.
Mereka berbicara berdua di ruang utama klinik. Berdiri di pinggir ruangan, dekat dengan ruang periksa.
Tak berapa lama keluar Sudar dan Raka dari ruang periksa.
“Terima kasih, Mas. Semoga cepat sembuh,” sapa perawat yang tadi berbicara dengan gadis bernama Mei Mei.
“Mas Sudar…,” sapa Mei Mei kepada pria gagah yang baru keluar dari ruang periksa. Mei Mei melihat pemuda yang mengikutinya, dia terpana. Terpana karena dipikirnya Bima yang keluar dari ruang periksa, tapi ternyata orang lain yang tak dikenal olehnya. Dilihatnya pemuda yang tampan. Mei Mei mengenal baik keluarga Sudaryanto, tapi tak kenal sama sekali dengan pemuda yang berada di belakang pria itu.
“Eh… Mei Mei. Lagi ngapain?” tanya Sudar.
“Biasa, Mas. Mengurus karyawan yang terkena musibah di pabrik,” nyata gadis yang berwajah oriental.
“Ouh… iya, iya. Udah beres kan?” tanya Sudar.
“Sudah, Mas.” Mei Mei melirik ke arah pemuda di samping Sudar.
Sudaryanto hanya terdiam melihat wajah Mei Mei yang memperhatikan Raka.
“Mas sakit apa?” taya Mei Mei.
“Ouh, hanya sedikit pusing,” ujar Sudar sekenanya. “Maaf ya Mei, saya harus kembali ke rumah.”
“Oh, iya Mas. Hati-hati.”
Sudar memberi kode kepada Raka untuk berjalan ke depan. Menjauh dari Mei Mei dan perawat yang masih ingin bertugas dan memanggil pasien berikutnya.
Ada rasa penasaran di raut wajah Mei Mei. Mengapa Sudaryanto yang dikenalnya ramah tak memperkenalkan pemuda yang ada di sampingnya. Dan… terselip sedikit kecewa karena tak berkenalan dengan pemuda itu.
Mei Mei terdiam sembari mengamati Sudaryanto dan pemuda yang dipapah olehnya keluar dari kinik.
***

Book Comment (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters