logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 9 Positif

Kuala Lumpur, Malaysia
Fitri buru-buru membuka pintu kamar mandi dan langsung berjongkok di depan water closet. "Huweek! Huweek!" Dengan tubuh lemas luar biasa, gadis itu memuntahkan air yang beberapa menit lalu baru diminumnya. Ini sudah kali ketiga Fitri memuntahkan makanan dan minumannya hari ini. Bila dihitung dari seminggu yang lalu, sudah tak terhitung berapa belas kali Fitri bolak-balik ke kamar mandi.
Sungguh mengenaskan.
Seumur-umur, Fitri belum pernah sakit separah ini. Ibunya dulu sering meledek Fitri sebagai Badak Kampung. Berbeda dengan adiknya yang terkena hujan sedikit langsung demam, Fitri yang kemarinnya ditabrak motor, hari berikutnya sudah bisa kembali berulah. Sakit tidak pernah ada di dalam kamus hidup Fitri. Dia gadis pekerja keras yang tahan banting. Selama di Malaysia juga Fitri belum pernah sakit sekalipun. Ini adalah sakit pertama dan sakit terparahnya. Dan bukan hanya nafsu makannya saja yang mengerikan, mood-nya juga luar biasa sakit.
Di pagi hari dia akan bahagia saat melihat Aden tertawa, di siang harinya Fitri akan kesal hanya karena Intan menggeser jemurannya, lalu di sore hari gadis itu akan menangis karena melihat adegan perpisahan telenovela yang tayang di televisi. Fitri mungkin keras kepala, tapi gadis itu bukan sosok yang emosional. Fitri bahkan tidak menangis ketika keluarganya menangisi dirinya yang hendak berangkat ke Malaysia. Sampai-sampai adiknya menjuluki Fitri berhati dingin.
Karena itu, mengingat bagaimana suasana hatinya belakangan ini sungguh bukan dirinya sekali!
Fitri menghela nafas lelah dan bangkit dengan tangan yang menopang dinding. Karena dia memuntahkan seluruh isi perutnya, tubuh Fitri lemas tak bertenaga. Kepalanya sakit dan dia tak berselera melakukan apapun. Dia sudah meminum obat yang diberikan Afia, namun bukannya membaik kondisi gadis itu semakin parah. Yang bisa Fitri lakukan saat ini hanya tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur. Dia rindu Aden, tapi tak ingin menularkan bibit penyakit pada bocah tampan itu.
Tok tok tok
"Pit?"
Fitri melirik pintu kamarnya dan membalas lirih. "Iya, Mbak. Masuk aja, pintunya nggak dikunci."
"Udah baikan belum kamu?" Intan membuka pintu dan memperhatikan Fitri yang susah payah bangkit dari tempat tidur.
Fitri menggeleng.
"Pucet banget mukamu, Pit." Intan berkata khawatir. Dia mendekati Fitri dan menyentuh dahi gadis itu. "Nggak panas padahal."
Fitri menggeleng lagi. "Masuk angin parah kayaknya aku, Mbak. Lemes banget. Mualku juga. Izinin lagi ke Buk Afia ya, Mbak. Kasihan Aden kalau ketularan."
"Eum…." Intan agak ragu untuk mengungkapkan pemikirannya beberapa hari terakhir. Dia takut Fitri tersinggung akan pemikirannya. Gejala yang dialami Fitri begitu mirip dengan gejala yang pernah Intan rasakan. Tapi, masa iya? Fitri kan … Intan menghela nafas. Menyerah, wanita dengan dua anak itu menarik tangan Fitri untuk berdiri.
"Mbak, aku nggak bisa jagain Aden. Serius ini." Fitri mengerut melihat gelagat Intan.
"Siapa juga yang nyuruh kamu kerja?" Intan mengambil jaket Fitri di atas rak dan mengenakannya di tubuh gadis itu. "Bu Afia nyuruh aku manggil kamu. Mau dibawa ke Rumah Sakit katanya. Kasihan Aden kalau kelamaan jauh dari nanny tersayangnya."
Tess
"Loh, kok malah nangis sih Pit?"
Fitri menghapus air mata yang tiba-tiba menetes dan menggeleng pelan. Lihat? Mood-nya memang luar biasa kacau. Hanya tahu akan dibawa ke Rumah Sakit saja Fitri sudah terharu seolah diberi sekardus harta karun.
"Kalau sakit banget tuh bilang, Pit. Jangan diem-diem bae. Kalau kamu diem aja, ya nggak bakal ada yang tau."
"Iya, Mbak." Fitri balas mengangguk. Tak berniat menjelaskan alasan sebenarnya ia menangis kepada rekan kerjanya itu.
Setelah selesai memakaikan baju hangat pada Fitri, Intan menuntun pengasuh Aden ke depan. Di samping mobil toyota merah, berdiri Afia yang memakai jilbab cokelat dan menjinjing tas dokternya. Wanita cantik yang lebih tua dari Fitri namun lebih muda dari Intan itu tersenyum lembut.
"Saye akan antar awak ke hospital tempat saye bekerja. Tiada masalah kan?"
Fitri menggeleng. "Nggak masalah, Bu. Terimakasih."
"Tak payah lah berterima kasih. Awak selama ni dah tolong saye jage kan Aden, perkara macam ni tak de ape-apenya."
Fitri mengangguk. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Afia yang akan mengemudi. Setelah memastikan sabuk pengaman terpasang, mobil bergerak lancar menuju Rumah Sakit. Tiga puluh menit kemudian, Fitri dan Afia turun di parkiran Rumah Sakit swasta terbesar di Kuala Lumpur.
Fitri agak terpana melihat luasnya bangunan tempat Afia bekerja. Sekarang dia bisa paham mengapa orang-orang melihat Afia dengan kagum bahkan tanpa memandang status Faris sebagai suaminya.
"Masuklah."
Fitri berjalan mengekor Afia dan kekagumannya bertambah saat melihat setiap perawat dan Dokter yang berpapasan dengan Afia akan berhenti bergerak hanya untuk menyapa wanita beranak satu itu dengan ramah. Dan melihat bagaimana Afia membalas senyum rekan-rekan seprofesinya membuat Fitri semakin menyadari seberapa besar perbedaan statusnya dengan kakak perempuan Hilman ini. Bagai langit dan bumi. Fitri tak bisa dan tak mau membayangkan bagaimana reaksi wanita sesempurna Afia saat mengetahui bahwa Fitri dan Hilman menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Gadis itu mendesah, tertekan karena merasa terlalu rendah diri.
"Kat sini bilik kerja saye."
Fitri menyudahi kemuramannya dan mendongak membaca papan nama yang digantung di depan pintu putih bertuliskan nama Afia beserta gelar dan posisinya. Setelah masuk dan meletakkan barang-barangnya, Afia mengajak Fitri berjalan menuju ruangan yang bertuliskan,
dr. Jimy Chen Lao
Gastroenterologi dan Hepatologi
Dan mengetuk pintu. "Pakcik, ni Afia."
"Oh, Masuk je."
Afia memberi tanda pada Fitri untuk ikut masuk. Seorang dokter paruh baya dengan kulit putih dan mata sipit menyambut Afia dan Fitri dengan senyuman.
Fitri mendengar Afia dan dr. Jimy bertukar percakapan dengan bahasa China sebentar. Mungkin menanyakan kabar keluarga masing-masing. Fitri membalas senyum dr. Jimy saat duduk di sebelah Afia yang berkata akan menemani Fitri hingga gadis itu selesai diperiksa. Fitri lagi-lagi terharu, namun mati-matian menahan air mata yang memaksa ingin keluar. Dia tak ingin dianggap aneh karena tiba-tiba menangis.
dr. Jimy menyuruh Fitri berbaring di atas bed pasien dan mulai memeriksa. Pria Tionghoa itu bertanya keluhan apa saja yang diderita Fitri dan sudah berapa lama gadis muda itu mengalaminya. Pria paruh baya itu banyak mengangguk dan tampak lama berpikir saat dia selesai memeriksa.
"Penyakit saya parah ya, Dokter?" Jantung Fitri mulai berdebar kencang saat melihat ekspresi sulit di wajah dr. Jimy.
dr. Jimy menatap Afia yang sudah berdiri di sebelahnya sejenak sebelum kembali menatap pasiennya. "Bilakah kali terakhir awak mempunyai haid?"
Haid? Datang bulan? Fitri mengerutkan kening dan mulai menghitung kapan terakhir kali dia menstruasi. Matanya mengerjap saat mengingat bahwa bulan ini dan bulan kemarin ia tak mendapat tamu bulanan. Terakhir kali ia menstruasi adalah satu minggu sebelum ia dan Hilman melakukan 'itu'. Fitri terhenyak. Tangannya mulai berkeringat dingin saat kembali menatap dr. Jimy. "Dua bulan lalu, Dok...."
Mendengar nada lesu yang digunakan gadis di depannya, dr. Jimy bertambah yakin dengan hasil pemeriksaannya. Pria itu mengambil dua testpack di laci mejanya dan menyodorkan keduanya pada Fitri. Ini bukan kali pertama ia menerima pasien dengan keluhan sakit perut yang berakhir dengan testpack bertanda positif.
Fitri turun dari bed pasien sambil menerima dua alat dari dr. Jimy.
"Awak paham cara pakainya?"
Fitri beralih menatap Afia yang baru bertanya padanya. Wajah ibu Aden itu tampak khawatir. Fitri hampir tersedak karena air mata yang hendak keluar, namun dia tak bisa menangis di depan wanita ini. Tidak ketika perasaannya kacau oleh kebenaran yang belum dipastikan. Setelah mengangguk, Fitri berjalan menuju kamar mandi.
Dia mengikuti semua petunjuk yang diingatnya dengan linglung. Setelah menunggu beberapa waktu, Fitri mengeluarkan dua testpack dari dalam gelas plastik. Matanya yang menatap dua benda dengan dua garis biru perlahan menggelap. Kakinya bergetar, hampir jatuh terduduk di atas lantai.
Positif.
Air mata yang sedari ditahan Fitri meluruh. Dia menekan dua testpack di genggamannya dengan kekuatan berlebih. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan sekarang?
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    4d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    10d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters