logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 8 Sudah Halal

Langkat, Indonesia
"Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zulaikha alal mahri khmsta 'asyhri gharamanaan min aldhahab hallan,"
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq."
"Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah…."
Setelah doa selesai dibacakan oleh Penghulu, Ika, sang mempelai wanita akhirnya keluar dari kamar untuk bertemu dengan lelaki yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya.
Gadis berkebaya dan berkerudung putih itu merona saat melihat Rangga, sang suami yang tengah menatapnya dengan penuh kelembutan. Ika yang saat ini sudah beralih menjadi wanita milik suaminya menunduk untuk meraih dan mencium tangan sang imam dengan takzim.
Rangga tersenyum. Sambil memegang ubun-ubun Ika, pria itu membisikkan doa, "Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.” kemudian mengecup lama dahi istrinya.
"Aamiin…." Ika ikut mengaminkan, berharap Allah mengabulkan asa mereka berdua.
Setelah akad nikah selesai, kedua mempelai langsung bersiap untuk melaksanakan kegiatan resepsi pernikahan. Rumah Ibu Jamilah dan Bapak Agus, orang tua dari mempelai wanita ramai dikunjungi oleh para tamu undangan. Menggunakan adat Melayu, Rangga dan Ika mendengarkan ucapan selamat dan doa dari setiap tamu dengan senyum yang tak luntur. Kesenduan sempat mewarnai pelaminan saat tradisi tepung tawar berlangsung, namun kebahagiaan kedua belah pihak tak membiarkan suasana sendu menderu lama.
"Abang Rangga," Ika yang sudah mengganti panggilannya pada sang suami berbisik saat kakinya terasa kesemutan.
"Kenapa?" Rangga yang berseri karena mendengar Ika memanggilnya 'Abang' langsung menatap istrinya. Istrinya … ah, syahdu sekali saat mengulang panggilan itu di dalam hati.
Ika menggigit bibir, tak menyadari sang suami memerah melihat gesturnya. "Kakiku sakit," wanita itu mengadu.
"Sakit?" Rangga berdeham, menetralkan suaranya yang mendadak serak. Pria itu mengeluhkan teman-teman lelakinya yang tadi malam sibuk menggoda dan memberi kiat-kiat surga dunia sehingga dia tak bisa fokus mendengarkan sang istri yang tampak begitu cantik dalam gaun pengantin. "Mau istirahat sekarang?"
Ika memperhatikan keramaian di depannya sejenak sebelum kembali menatap Rangga. "Ashar masih lama, Bang?"
Rangga melirik jam di pergelangan tangannya. "Setelah jam lagi, Ka."
Ika menghela nafas. "Tunggu sampai Ashar deh, Bang."
"Masih tahan?"
"Ya harus ditahanin." Wanita itu tersenyum tipis.
Rangga balas tersenyum dan mendorong bahu Ika untuk duduk di pelaminan. Tanpa mempedulikan kebingungan sang istri, Rangga berjongkok dan memeriksa kaki Ika. Pria itu memijat bagian yang bengkak dengan lembut.
"Abang!" Wajah Ika merona mendapati perlakuan manis dari Rangga. Ini pertama kalinya dia sedekat ini dengan lelaki. Walau wajar untuk pasangan suami-istri, Ika belum terbiasa mendapat perhatian semacam ini.
"Nggak papa, Ka. Tadi katanya sakit."
"Ya nggak usah dipijat juga, Bang." Wajahnya semakin merah saat menyadari perhatian para tamu beralih pada mereka berdua. "Bangkit ih, Abang. Malu dilihatin orang-orang!"
Rangga mengulum senyum. "Kenapa harus malu coba? Istri sendiri ini."
Ika menggembungkan pipinya, kesal karena Rangga tak mengindahkan ucapannya.
Tertawa kecil, Rangga bangkit dan mengecup pipi Ika secara kilat.
"Ya Allah Abaaang!" Wajah Ika terbakar dan tinjunya langsung bersarang di dada sang suami yang bukannya merasa bersalah malah semakin tergelak keras.
"Hiya, hiyaah. Manten baru ini, nggak lihat-lihat tempat. Kasihanilah kami yang belum menikah ini, Rang. Nggak setia kali kau jadi kawan!" Baron Pangaribuan, teman Batak Rangga saat Sekolah Dasar dulu menggeleng pelan saat berjalan menuju pelaminan bersama partner-nya.
Rangga hanya menaikkan bahu tak ambil pusing. "Udah halal ini, Ron. Nggak dosa."
Baron berdecak. "Dasar kawan tak berperasaan."
Rangga tertawa dan merangkul Baron dengan akrab. "Dah lama kita nggak jumpa ya Ron. Haha. Kemana aja kau?" Suami Ika itu dengan cepat mengubah cara bicaranya seperti Baron.
Baron menyeringai. "Ya cari jodoh lah aku, Rang. Memangnya kau aja apa yang bisa nikah?"
Rangga menepuk bahu Baron. "Hoo, nyusul kami lah kalian bentar lagi." Pria itu melihat gadis berambut sebahu yang dibawa Baron sebentar sebelum kembali menatap sang teman. "Kapan rencananya?"
"Tahun depan." Baron beralih merangkul gadisnya dengan bangga. "Jangan lupa datang ya kelen. Kalau nggak datang, kulabrak. Hahaha."
Rangga dan Baron mengobrol sejenak sebelum berpisah karena ada antrian lain yang ingin memberi selamat kepada kedua mempelai.
"Abang punya banyak temen ya." Baron bukan satu-satunya tamu yang lama bercakap-cakap saat memberi selamat pada Rangga dan Ika. Sudah tak terhitung banyaknya teman dan kenalan Rangga yang hadir di resepsi mereka. Bila dibandingkan dengan Ika yang hanya mengundang teman yang tinggal di sekitar rumah neneknya, tamu pribadi Rangga mungkin lebih dari setengah keseluruhan tamu yang diundang.
"Iya, nih. Abang memang masih saling kontak sama teman sekolah Abang, Ka. Bahkan yang dari Taman Kanak-kanak dulu juga Abang undang."
"Wah, masih ingat ya, Bang."
Rangga tersenyum jumawa. "Jelas dong. Ingatan suamimu ini bagus banget tau."
Suami katanya, Ika mengalihkan pandangan agar Rangga tak memperhatikannya yang masih mudah malu. "Iya deh, iya." Wanita itu berdeham dan matanya sedikit menyendu saat melihat kedua orang tuanya yang sedang menyambut tamu.
Ika tidak tahu bagaimana perasaan anak lain yang baru menikah saat melihat kedua orang tua mereka. Namun Ika, yang sedari kecil sudah hidup dan tinggal bersama Neneknya merasakan kerinduan yang pahit setiap melihat Mamah dan Abahnya. Dia bahkan masih rindu mereka walau keduanya berdiri di hadapannya. Keinginan untuk bersama dengan orang tuanya seperti mimpi yang bertumpuk dan meminta untuk lekas diwujudkan.
Ika ingat. Saat ia masih Sekolah Dasar, setiap Guru di sekolah bertanya mengenai mimpinya, Ika kecil akan menjawab dengan pipi gemuk yang penuh semangat.
"Ika mau tinggal sama Mamah, Abah, dan adik-adik, Bu Guru!"
Dan Gurunya, yang terenyuh mendengar mimpi gadis cantik yang jarang bertemu kedua orang tuanya hanya bisa membelai rambut hitam muridnya.
Ika tak memiliki banyak waktu bersama atau kenangan bahagia dengan keluarganya. Perasaan terasing setiap berdiri bersama Mamah, Abah, dan kedua adiknya membuat dadanya sesak. Mungkin ini tidak dewasa untuk seorang wanita yang sudah menikah dan seharusnya siap hidup bersama suaminya, tapi Ika belum bisa mengenyahkan mimpi untuk hidup bersama keluarganya di rumah ini.
Dia ingin merasakan sarapan pagi yang disiapkan oleh Mamahnya. Dia ingin pergi keluar rumah dengan diantar oleh Abahnya. Dia penasaran bagaimana kehidupan adik-adiknya di sekolah. Dia ingin melunasi kerinduan tak biasa yang dirasakannya setiap melihat mereka.
"... Ika?"
"Eh?" Ika tersentak dari lamunannya dan langsung menatap ke sumber suara.
"Kok nangis? Sakit banget ya kakinya?" Rangga menatap istrinya dengan pandangan khawatir. Dia langsung memanggil siapapun yang bisa dimintai tolong membantunya dan Ika untuk masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Ika buru-buru menyentuh pipinya yang basah. Wanita itu menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan suaminya, namun pria yang dimaksud tidak memperhatikannya.
Malah pria itu dengan sedikit panik bertanya pada Ika, "Mau Abang gendong, Ka?"
Ika tak bisa menahan tawa mendengar tawaran Rangga.
"Kok ketawa sih? Katanya kakinya sakit tadi. Sampai nangis pula kan." Rangga yang gusar mengerutkan kening keheranan.
Ika menggeleng, masih ada sisa tawa di mulutnya. "Kan aku nggak bilang nangis karena kakiku sakit."
"Lah, jadi nangisnya kenapa?"
Ika menaikkan bahu. "Nggak tau ini, tiba-tiba aja sedih." Wanita itu tak bisa menceritakan mimpinya yang sederhana namun aneh pada Rangga. Biarlah ini jadi impiannya yang tak kan kesampaian.
"Mana ada orang yang tiba-tiba sedih gitu." Rangga tak setuju. "Udah sini Abang gendong aja. Nggak papa, nggak usah malu." Pria itu hendak mengangkat Ika tapi istrinya malah bergeser dan menepuk tangan Rangga.
"Ih, udah dibilang juga kalau aku nangis bukan karena kakiku sakit." Melihat suaminya yang kelihatannya masih tak percaya, Ika buru-buru menambahkan. "Mungkin aku lagi PMS, Bang. Jadi hormonnya naik-turun. Udah tanggalnya juga ini."
"PMS?" Rangga sepertinya pernah mendengar kata-kata itu tapi lupa apa artinya.
"Iya, Bang. Tanda kalau mau datang bulan."
Bagai disambar petir, Rangga terpaku menatap istrinya. Kalau benar Ika sedang datang bulan…
"Gagal deh malam pertamanya," Bisikan geli dari Bima, sepupu Rangga yang datang dengan niat membantu pengantin baru itu bagaikan sambaran petir kedua di telinga sang mempelai pria.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    4d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    10d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters