logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Satu Malam Bersama

Kuala Lumpur, Malaysia
"Pit?"
"Hm?"
"Gimana rasanya pacaran sama adik majikan?"
Fitri yang sedang melipat pakaian Aden menatap jengah pada Intan yang tak ada lelahnya menggoda Fitri setiap ada kesempatan. Untungnya wanita beranak dua itu tahu tempat yang tepat untuk melontarkan godaan. Kalau tidak? Kemungkinan besar Fitri sudah tidak ada lagi di rumah ini dan dipulangkan ke kampung halaman.
"Dijawab loh, Pit. Dosa buat orang tua penasaran."
Mata Fitri memicing. "Mbak benerin dulu deh cara manggil namaku baru aku coba jawab pertanyaan Mbak."
"Lah, memangnya kapan aku salah manggil namamu?"
"Setiap saat, Mbak." Fitri menghela nafas. "Namaku Fitri. Fi, pake ef. Bukan Pitri. Kasihan Mak-Bapakku di kampung kalau dengar nama anaknya diganti-ganti."
Bukannya menanggapi, Intan malah terkekeh. Merasa jika rombakannya pada nama Fitri merupakan prestasi yang luar biasa.
Fitri menggeleng dan kembali melipat pakaian. Selesai dengan pekerjaannya, gadis itu keluar dari ruang pakaian dan berjalan menuju halaman. Di depan kamar Aden dia melihat Faris dan Afia sedang berdiri saling merangkul. Fitri tak bisa mendengar percakapan mereka, tapi dia bisa merasakan suasana syahdu yang menyelimuti sepasang suami istri itu. Bagaimanapun, Aden masih terlalu kecil untuk diasuh oleh orang lain. Afia, sebagai ibu yang mengandung Aden selama sembilan bulan lamanya pasti merasa sedih karena kehilangan banyak waktu bersama sang buah hati. Tapi begitulah tuntutan pekerjaan. Fitri sendiri, walau tak pernah menyaksikan sendiri bagaimana pekerjaan Afia sebagai seorang dokter, bisa merasakan dilema wanita seperempat Tionghoa itu.
Di sisi lain, Faris sebagai suami Afia dan ayah Aden juga merasakan hal yang sama dengan istrinya. Statusnya sebagai pemimpin perusahaan membuat tanggung jawabnya bukan hanya kepada keluarganya, tapi juga kepada seluruh keluarga karyawan yang bekerja di perusahaannya. Menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga juga menjadi keinginan terbesarnya.
Menjadi bagian dari keluarga kaya bukan berarti seseorang itu akan dipastikan bahagia. Malah kebanyakan mereka yang hidup sederhana lebih paham makna 'kebersamaan membuat seseorang lebih kaya'. Keluarga Faris dan Afia tidak kekurangan satu materi apapun. Rumah mereka mewah, rezeki lancar, karir sukses, dan keluarga besar kedua belah pihak terpandang. Tapi waktu mereka untuk menikmati hidup itu sedikit. Karena kesibukan masing-masing, mereka hanya sempat membersamai Aden ketika putra mereka itu sedang tidur. Menyedihkan memang, tapi begitulah kebanyakan kondisi anak-anak yang hidup dalam gelimang harta namun miskin kasih sayang.
Fitri terdiam sejenak. Dia mendoakan yang terbaik untuk kedua majikannya dan Aden, lalu melanjutkan langkah menuju halaman. Angin malam tak menghentikan langkah Fitri menuju kebun bunga yang beberapa waktu ini selalu di kunjunginya saat larut malam.
Dia duduk di kursi kayu dan tersenyum menatap langit berbintang. Mau itu di Indonesia atau di Malaysia, langit tetaplah langit. Kemanapun ia pergi, langit tetap sama. Bintang dan bulan yang ia pandangi tetap sama.
"Hei,"
Fitri tersentak dan langsung menghadap ke sumber suara. Hilman yang sudah sebulanan ini menjadi kekasihnya sedang tersenyum sambil merengkuh pinggang Fitri. Menatap pria jangkung bermata sipit itu di bawah sinar rembulan ternyata lebih mendebarkan dari yang Fitri pikir. Apalagi saat mendapati bibir Hilman sudah bersarang di bibirnya, Fitri yang tak asing lagi dengan perlakuan itu merasa ribuan kupu-kupu menggelitik perutnya. Haahh, Hilman benar-benar pemain handal.
"Awak tengokkan apa rupanya?"
"Langit malam."
"Suke?"
Fitri mengangguk. Memejamkan mata saat Hilman mengecup alisnya.
"Nak saye ambilkan bintang untuk awak?"
Fitri tertawa kecil. "Memangnya kamu bisa?"
"Awak ragukan saye kah?"
Langsung saja Fitri mengangguk.
Hilman memberengut. Menggerakkan tangan seolah memetik bintang, lelaki itu menunjukkannya pada Fitri.
Fitri menaikkan alis mata saat melihat jari-jari putih yang disodorkan padanya. "Apa itu?"
"Bintang lah. Kan tadi awak nak saye ambilkan."
"Nggak ada kok."
"Hm, bintangnya dah masuk dalam diri awak rupanye. Awak pun berkilau sangat. Sebab awak terlalu menyilaukan, bintang pun lebih suke awak daripada saye."
Fitri terdiam sejenak, mulai mencerna maksud perkataan Hilman. Saat menyadari bahwa lelaki itu sedang merayunya dengan menyamakannya yang berkulit kuning langsat ini dengan bintang, Fitri tak bisa tak tertawa.
"Gelak je awak, nih. Saye tak sedang bergurau lah."
Fitri menutup mulutnya dengan telapak tangan. Meski begitu tawanya masih terdengar di telinga Hilman. Lelaki itu mendengus pelan dan mencubit pipi gadis manis di depannya.
"Seronok sangat awak tertawakan saye,"
"Ih, bukan begitu." Fitri hendak melepaskan tangan Hilman dari pipinya tapi kalah cepat dengan gerakan lelaki itu yang menjauh. Fitri memekik saat merasa tubuhnya tiba-tiba terangkat dan sedetik kemudian gadis itu sudah berada dalam gendongan Hilman. Dia refleks memukul bahu Hilman karena terkejut. "Apa-apaan sih?" Gadis itu memberengut. "Turunin saya."
"Tak nak,"
"Turunin!"
"Never!"
"Hilman!" Fitri menggigit leher lelaki itu gemas.
Sesaat ada kilatan asing yang membayangi mata Hilman, namun Fitri yang tak menyadarinya masih asik dengan dunianya sendiri.
"Hilman! Turunin saya! Kalau nggak saya gigit lagi nih!"
Hilman tidak menjawab. Matanya menatap gadis yang berada dalam gendongannya lekat-lekat.
Sadar diperhatikan, Fitri mendongak dan langsung menerima tatapan sayu sang kekasih. "K-kenapa?" Fitri merasa tengkuknya meremang, namun matanya enggan beralih dari netra Hilman yang menghanyutkan.
"Awak tahu kan saye besok dah mulai masuk kolej? Kite berdua tak lagi senang nak jumpa sebab saye mesti lebih sibuk."
Fitri mengangguk pelan. Dia sudah mendengar dari Afia bahwa besok Hilman akan kembali masuk kuliah. Meski sikapnya seolah tak ambil pusing, Fitri merasa sedih karena tak lagi bisa bertemu sesering ini dengan Hilman. Kebersamaan mereka sebulan terakhir ini begitu membekas di hati dan pikiran Fitri. Gadis itu belum mengaku, namun Hilman jelas memiliki tempat tersendiri di hatinya. Hanya membayangkan lelaki itu jauh saja sudah memberatkan Fitri.
"Awak tak bersedih hati?"
Fitri mengalungkan tangannya ke leher Hilman dan menarik nafas dalam-dalam. Dia menghirup aroma maskulin lelaki itu yang menenangkan. "Saya sedih."
"Kalau macam tu, nak tak habiskan malam ni sama saye?"
Fitri mengerjapkan mata. "Habiskan malam...?"
"Saye tak akan buat hal yang tak awak suke. Saye janji."
Fitri menggigit bibir. Pikirannya melayang kesana-kemari. Dia tak begitu paham mengenai 'menghabiskan malam bersama', tapi dia tahu betul apa yang mungkin terjadi jika sepasang kekasih berduaan di tempat tertutup. Bukan hal yang baik, tentu saja. Meski begitu, Fitri tetap bertanya. "Di mana?"
Hilman mendekatkan bibirnya ke telinga sang kekasih. "Nak ke bilik awak?"
Kamarnya? Fitri memikirkan kondisi kamarnya saat ini. Seingatnya tak ada pakaian dan barang-barang pribadi yang berserakan. Seprainya juga baru saja diganti. Secara keseluruhan, kamarnya cukup rapi karena Fitri tak pernah tahan melihat ruang pribadinya berantakan. Tapi…
"Please…" Tatapan memohon Hilman meruntuhkan keraguan Fitri. Mengingat hari ini hari terakhir ia dan Hilman dapat leluasa bersama, tekad Fitri menguat. Lagipula Hilman sendiri yang mengatakan jika dia tak akan melakukan apapun yang tidak Fitri suka kan? Jadi kenapa tidak? Gadis itu mengangguk dan Hilman dengan lembut membopongnya masuk menuju kamar.
Untungnya tak ada siapapun yang masih terjaga di dalam rumah. Kedua sejoli itu saling melempar senyum saat pandangan mereka bertemu. Suasana syahdu di antara mereka mengingatkan Fitri pada kedua majikannya.
Tapi ketika mereka tiba di kamar Fitri, suasana dalam sekejap berubah panas. Hilman menurunkan Fitri ke atas tempat tidur dan dengan cepat menyambar tengkuk kekasihnya.
Fitri belum sempat berpikir saat Hilman sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Fitri tak mampu membedakan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan karena pikirannya berkabut. Yang bisa gadis itu lakukan hanya menerima dan menerima perlakuan Hilman. Tanpa paksaan dan tanpa bantahan.
Hanya ada suara rayuan, cumbuan, lenguhan, dan desahan yang memenuhi kamar sang nanny. Pintu, dinding, dan tempat tidur menjadi saksi bisu kegiatan panas dua sejoli itu. Pergumulan yang menakjubkan, namun akan menghasilkan derai air mata tak terhitung di masa depan.
Derai yang akhirnya akan mendewasakan Fitri, yang akan mengajarkannya bahwa percaya itu bukanlah sesuatu yang sepele. Percaya adalah situasi dimana kamu siap meletakkan lehermu di tiang gantung. Artinya, ketika kamu percaya, bersiaplah untuk diselamatkan atau bersiaplah untuk mati.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    4d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    10d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters