logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Tidak Sabar

Langkat, Indonesia
"Berapa pasnya?"
Herman berpikir sejenak. Jika pada pembeli biasa, pria paruh baya itu tak akan sungkan memberikan harga tinggi karena lokasi bangunan ini cukup strategis dan pas untuk membuka usaha. Apalagi bangunan ini cukup dekat dengan kota, sekolah, dan perkampungan. Nilai jualnya juga harusnya naik. Tapi karena ini Rangga, Herman tak bisa tak memberi muka dan hanya tersenyum kalah. "35 deh sama kamu, Ngga. Tapi ya kebun di belakang nggak termasuk ya."
"40 sama kebunnya, Wak." Rangga menawar. Senyum percaya dirinya membuat Herman terkekeh geli.
"Memang deh kamu anaknya Faiz. Kalau udah tawar-menawar sampai buat orang lain geleng-geleng. Dikasih murah kok ya nggak mau."
"Siapa bilang saya nggak mau, Wak? Kebun belakang itu juga penting loh. Walau sekarang masih gersang, nanti bakal hijau karena diurus istri saya."
Herman menggeleng pelan, "Ck, ck, anak muda zaman sekarang. Belum nikah tiba-tiba aja udah punya istri."
Rangga tertawa, menyadari ucapannya yang tak pas. "Salah saya, Wak. Calon istri yang bakal jadi istri saya nanti maksudnya."
Herman mengangguk saja. "Ngerti Uwak, Ngga. Uwak juga dulu gitu pas mau nikah sama uwak perempuanmu. Seneng aja gitu bawaannya. Nggak sabar malam per-"
"Udah Wak, jangan diterusin. Saya belum ada yang jagain ini. Kalau Uwak mah enak bahas yang begituan ada yang nunggu di rumah. Nah saya? Masih dua bulan lagi Wak baru bisa."
Giliran Herman yang tertawa. Lelaki muda ini memang mudah sekali disukai. Mengenyampingkan fakta bahwa Rangga merupakan anak dari Faiz, sahabatnya, perangai lelaki yang seusia dengan putra sulungnya ini juga ramah dan baik. Rangga tahu bagaimana berbicara dengan teman sebaya, para orang tua, wanita, maupun anak-anak. Kecakapannya dalam bertutur kata dan mengambil hati lawan bicaranya memang cocok untuk pebisnis. Herman menyeringai. Istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya ternyata benar. Rangga adalah contoh nyata dari istilah itu.
"Oh ya, Wak. Dengar-dengar Arif mau menikah juga ya?"
Arif itu putra sulung Herman yang sebaya dengan Rangga. Tetapi karena pendidikan dan lingkup pergaulan mereka berbeda, keduanya baru bertemu beberapa kali. Persahabatan kedua Ayah tampaknya belum bisa menurun pada kedua putra mereka.
"Iyalah, Ngga. Mau Uwak nikahkan aja si Arif itu sama pacarnya. Ngeri Uwak lihat pergaulan anak sekarang kan. Di kampung Uwak udah dua anak yang nikah karena kebobolan, loh. Orang tua si anak yang baru-baru ini menikah padahal taat agama, ayahnya rajin ke Masjid dan ibunya sering ikut pengajian. Bahkan si anak ini dulunya juga sempat di pesantren, tapi yah kok menikahnya karena pacarnya hamil duluan." Herman menggeleng pelan. "Uwak takut Arif juga begitu. Jadi dari pada kejadian, Uwak suruh aja dia cepat nikahin pacarnya. Persoalan biaya juga nggak masalah sama Uwak."
"Iyalah. Wak Herman kan holang kayah." Rangga bergurau menirukan cara bicara pedagang China yang banyak membuka usaha di kota. "Rumah juga Arif tinggal pilih. Mau yang besar, kecil, di luar atau di dalam, tinggal tunjuk."
Herman tertawa dan menepuk punggung Rangga. "Bisa aja kamu ini." Tak lama setelahnya pria paruh baya itu tersenyum sendu. "Ngelihat kamu Ngga, Uwak selalu teringat Abimu. Faiz itu di awal pertemuan kelihatan banget orang luarnya. Karena bahasa Indonesianya masih setengah-setengah, dia sering salah sebut. Bisa nanti dia minta tolong, ngomongnya 'minta lontong'. Sekalinya di kasih lontong, keningnya berkerut-kerut seolah bilang, 'ha! makanan apa ini?' Haha, Uwak kalau nggak ingat diamanahkan sama Bapak Uwak untuk menemani dan mengajarkan Faiz selama merantau di sini, mau rasanya Uwak pukul terus kirim dia pulang ke negara asalnya."
Rangga tersenyum juga. Mendengarkan orang lain selain Umi membicarakan Abinya selalu membuatnya bersemangat. Bagi Rangga, Abi bukan hanya sekedar ayah. Beliau juga teman, sahabat, guru, dan panutannya. Kalau anak perempuan menjadikan sosok ayah sebagai cinta pertama mereka, bagi anak lelaki sosok ayah adalah superhero yang bisa melakukan apa saja untuk mereka. Dan begitulah Rangga memandang sosok Abinya selama ini. Tak heran ketika Abinya meninggalkan Rangga dan Umi untuk selama-lamanya, kekosongan yang memenuhi rongga dada Rangga tak terlukiskan. Saat itu dia merasa seolah dunia menjauh dan mengabaikannya. Untungnya Umi selalu ada di samping Rangga. Mereka saling bahu-membahu mengisi kekosongan yang ditinggalkan Abi. Seperti Rangga yang menjadikan kebahagiaan Umi sebagai prioritasnya, Umi juga hanya ingin yang terbaik untuk putra semata wayangnya.
"Di mata Uwak, kamu itu seperti Faiz yang sudah membaur dan beradaptasi dengan lingkungannya. Faiz yang baik, Faiz yang ramah, Faiz yang selalu disenangi orang lain." Herman menatap Rangga seperti ia menatap putranya sendiri. "Uwak sudah kenal Abimu sebelum dia bertemu Maryam. Uwak yang menjadi saksi hidup Abimu sejak lajang. Dari sana Uwak tau kalau Abimu itu juga pernah salah dan bukan sosok sempurna.
"Saat kamu lahir, Faiz pernah berpesan bahwa jika dia nggak bisa lagi memperhatikan dan menasihati kamu, dia minta Uwak untuk bertindak atas namanya. Dia minta Uwak untuk memperhatikan kamu dan mengarahkan kamu seperti dulu Uwak mengarahkannya. Benar-benar pria sok tampan yang banyak maunya." Herman terkekeh kecil.
Mata Rangga menyendu.
Herman menepuk kepala Rangga dengan sayang. "Karena Abimu sudah berada di tempat terbaik dan nggak bisa ngasih kamu wejangan dalam berumah tangga, biarkan Uwak yang menggantikan tugasnya untuk mengarahkan kamu ya, Ngga. Kalau pun kamu nggak bisa mengikuti, jadikan saja petunjuk untuk kamu membina rumah tangga dengan istrimu nanti."
Rangga menatap bangunan yang beberapa bulan lagi akan ditempati olehnya dan Ika. Dia membayangkan bagaimana rasanya kembali berdiri di sini dan memperhatikan anak-anaknya yang berlarian mengelilingi rumah. Tidak sepertinya yang anak tunggal, Rangga memimpikan memiliki dua atau lebih anak yang meramaikan rumah dengan tawa dan seruan mereka. Dengan istri yang menyandar padanya, Rangga ingin menceritakan tentang bagaimana Abinya yang gagah dan luar biasa mendidiknya sehingga ia bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik untuk keluarga kecilnya. Dia ingin mengikuti jejak Abinya meski permasalahan akan mewarnai kehidupan pernikahannya di masa depan. Dia ingin anak-anaknya kelak akan memandangnya sebagaimana ia memandang Abinya selama ini.
"Tolong beri saya wejangan, Wak." Rangga kembali menatap Herman. "Saya butuh semua dukungan dan saran untuk membentuk keluarga yang bisa membawa saya ke surga."
Herman tersenyum bahagia. Setelah mencari tempat yang pas untuk bicara panjang kali lebar, pria itu memulai wejangan yang bahkan lebih panjang dari wejangan yang ia berikan pada putranya.
Selesai bercakap-cakap dan meneken kontrak, Rangga pulang ke rumah dengan aura positif yang membuat Uminya tersenyum.
"Gimana hasilnya, Ngga?" Maryam mengelus rambut Rangga saat putranya itu mencium tangannya dengan takzim.
"Alhamdulillah, Mi. Udah deal kami soal harganya." Rangga tersenyum sumringah.
"Alhamdulillah kalau begitu." Maryam berjalan bersama Rangga menuju dapur. "Kamu udah ashar? Mau makan sekarang atau nanti aja?"
"Udah, Mi. Tadi bareng Uwak Herman di Masjid Azizi. Rangga mau mandi dulu ya. Makannya bareng..."
Maryam menggeleng pelan mendengar nada manja yang Rangga gunakan di akhir. Anaknya ini memang sering bertingkah begini jika mereka hanya berdua. Dahulu pun, semasa suaminya masih hidup, Rangga sering bermanja-manja dengannya hanya untuk mengganggu Abinya yang ingin dekat dengan sang istri. Maryam sempat khawatir dengan perangai Rangga yang kadang usil. Tapi setelah melihat betapa miripnya Rangga dengan sang suami saat berhadapan dengan orang lain, Maryam menyingkirkan kekhawatirannya dan hanya menghela nafas panjang. "Ya udah gih. Kamu mandi dulu sana. Nanti Umi buatin teh."
Senyum Rangga yang sudah lebar semakin lebar. "Duh, Umi memang Ibu terbaik sedunia. Nggak sia-sia dulu Abi perjuangin Umi sampai nyebrang pulau."
Maryam tercengang sejenak. "Kok tau?"
"Wak Herman cerita." Rangga bersiul menggoda. "Ciyee, Umi yang jadi cinta matinya Abi…."
Wajah Maryam memerah. Dengan malu di dorongnya Rangga yang tergelak masuk ke kamar mandi.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    4d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    11d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters