logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Uncle Kacak

Kuala Lumpur, Malaysia (Masih 22 tahun sebelumnya)
“Twinkle, twinkle, little star, how I wonder what you are. Up above the world so high, like a diamond in the sky. Twinkle, twinkle, little star, how I wonder what you are.” Fitri menepuk pelan punggung Aden, balita dua tahun yang sudah diasuhnya selama enam bulan terakhir. Seperti namanya, Aden adalah bayi tampan yang superaktif dan menawan. Jika bisa, Fitri ingin sekali lahir di masa yang sama dengan Aden agar bisa setidaknya menjadi teman bermain bocah tampan ini. Sayang, jarak mereka bukan hanya umur belasan tahun saja, namun status dan bahasa ibu mereka juga berbeda. Fitri, yang lahir dan besar di ujung Sumatera harus puas dengan menjadi nanny Aden. Semoga di masa depan kamu sukses dan bahagia selalu, Nak. Fitri berdoa dalam hati sambil meletakkan Aden di box-nya.
“Sudah tidur kah?”
Fitri tersentak dan langsung menatap ke sumber suara bariton barusan. Kedalaman suara itu terlalu khas hingga Fitri akan merasa perutnya tergelitik setiap pemilik suara berbicara dengannya. “Sudah, Tuan.”
Lelaki itu berdecak, memberi tanda pada Fitri untuk keluar agar tidak mengganggu Aden yang sedang tidur. “Kan saye dah pernah cakap, awak tak payah panggil saye ‘tuan’. Ini rumah kan kepunyaan Abang Faris, bukan saye.”
Fitri menyelipkan anak rambutnya ke telinga, agak salah tingkah. “Eum, mana berani saya langsung panggil nama. Tuan Hilman kan adik Bu Afia.”
Hilman, lelaki bermata sipit khas Tionghoa itu hanya menggeleng pelan. “Awak nih degil sangat rupanya. Degil boleh, Fitri. Tapi jadi degil jika itu diperlukan.”
Degil itu artinya keras kepala dalam bahasa Indonesia. Dan Fitri memang terkenal karena kekeraskepalaannya di keluarga. Ibunya selalu berkata jika Fitri suatu saat nanti akan merasakan apa yang ibunya rasakan ketika sudah memiliki anak. Bagaimana Fitri yang selalu membuat ibunya kewalahan, begitulah nanti anak Fitri akan memperlakukannya. Fitri, yang kala itu didoakan hal yang buruk oleh ibunya tak ambil pusing. Dengan santainya gadis humoris itu berceletuk, “Oh, berarti Mak dulu waktu masih jadi anak, suka gini juga lah ya sama Nenek? Buktinya Fitri jadi begini tuh.”
Tak heran setelah celetukan tak berfaedah itu, Fitri harus mengungsikan diri ke rumah tetangga karena kemurkaan ibunya tak main-main.
Gadis berusia sembilan belas tahun itu tersenyum simpul. Mendadak rindu ibunya meski baru dua hari yang lalu mendapat kiriman surat.
“Mengapa awak tersenyum seorang diri macam tu? Sakit ke?” Hilman meletakkan punggung tangannya ke dari Fitri dengan gerakan santai.
Fitri yang mendapat sentuhan tanpa peringatan langsung membeku. Kaku, kepalanya mendongak menatap Hilman yang belum melepaskan tangannya dari dahi Fitri.
Selama beberapa detik mereka hanya berpandangan dalam diam. Kemudian Hilman menggeser tangannya dari dahi Fitri menuju telinga kiri gadis itu. Mengelus pipi Fitri dengan ibu jarinya, Hilman menatap dalam-dalam wajah gadis yang sedari pertemuan awal mereka sudah membekas di ingatannya. Perlahan, lelaki itu menurunkan wajah dan menempelkan bibirnya di atas bibir mungil itu.
Fitri membelalakkan matanya. Gadis itu terkejut, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya menyuruhnya untuk mendorong Hilman menjauh, namun hatinya malah menyuruhnya memejam. Menikmati ciuman pertama yang tak akan pernah kembali. Kalah dengan hatinya, mata Fitri terpejam, membuat Hilman yang merasakan penerimaan sang gadis bersorak dan meningkatkan level dari kecupan ke ciuman.
Mereka baru berhenti saat kebutuhan untuk bernafas mendesak. Fitri dan Hilman saling berpandangan sambil berebut oksigen. Tak lama, keduanya tertawa seolah baru saja mendengarkan Abdul Aziz bin Sattar melucu.
Fitri berdeham dan menyentuh tangan Hilman yang masih menempel di wajahnya lalu bertanya dengan nada serius. "Apa maksud perlakuan Tuan ke saye barusan? Hanya ingin tahu bagaimana rasanya mencium nanny-nya Aden atau-"
Hilman sudah membungkam bibir Fitri sebelum gadis itu sempat melanjutkan.
"Tak ade lagi panggilan 'Tuan'. Sakit kuping saye mendengarnya."
Fitri yang kembali syok tanpa sadar mengangguk.
Hilman tersenyum dan mengecup dahi gadis itu lama. Dengan ringan lelaki itu meraih pundak Fitri dan mendekap gadis itu di pelukannya. "Tak dapatkah awak dengar kadar degupan jantung saye? Cepat sangat kan?"
Fitri tak menjawab. Dia tak bisa mendengarkan detak jantung siapa yang lebih kuat saat ini. Miliknya kah? Atau milik Hilman? Yang pasti, pelukan adik nyonya-nya ini terasa hangat, membuat Fitri terperdaya.
"Saye dah dari awal suka tengokkan awak, tau. Awak saja yang tak notice."
"Saya nggak sadar. Kapan kamu perhatiin saya?"
"Tiap-tiap hari saye kat sini lah."
"Saya nggak percaya."
Hilman melepas pelukannya dan lucunya Fitri merasa kehilangan.
"Kenape tak caye?" Hilman menundukkan kepala, memperhatikan Fitri yang menatapnya dalam.
"Kenapa harus saye? Saye tak cantik. Saya bukan calon sarjana seperti kamu. Pekerjaan saye juga cuma nanny. Keluargamu mungkin nggak akan pernah setuju kita berhubungan." Fitri tersenyum kecut. Hal-hal seperti kasta dalam hubungan ini bukan isu baru. Tidak di Malaysia, tidak di Indonesia, yang namanya memilih pasangan haruslah dari level yang sama. Untuk sesaat Fitri dibutakan khayalan indah, syukurnya logika Fitri kembali berjalan.
"Hei, hei, Fitri. Tengok saye kejap."
Fitri kembali mendongak, memperhatikan wajah menawan Hilman yang mungkin saja sudah mematahkan banyak hati gadis-gadis di luar sana.
"Lelaki macam apa saye ini di mata awak? Apa saye kelihatan macam orang yang peduli sangat terhadap persoalan yang awak cakapkan tadi?"
Fitri tak menjawab. Dia bukan tipikal orang yang pintar menilai orang lain.
"Saye tak peduli, Fitri. Mau keluarga saye tak setuju, ini hidup saye. Sesuka hati saye nak buat apa."
Itu benar. Terserah Hilman mau berbuat apa. Ini hidupnya. Tapi bisakah Fitri mempercayakan hatinya pada lelaki ini? Fitri hanyalah gadis asing yang berasal dari keluarga kelas bawah di tanah airnya. Dia bahkan tidak secantik itu untuk diperjuangkan mati-matian oleh Hilman.
Seolah bisa membaca pikiran Fitri, Hilman kembali bicara. "Dan siapa bilang awak tak cantik? Bagi saye, Fitri adalah dara paling cantik dan terbaik di dunia. Tiap saye tengok awak mengasuh Aden, saye merasa… ah, macam inilah sosok ibu yang baik buat anak-anak saye kelak."
Bagai hipnotis, semua penyangkalan di kepala Fitri hilang tanpa jejak. Mendengar ketulusan dalam kata-kata Hilman, gadis itu merasa desakan untuk menangis. Dengan cepat Fitri menyembunyikan matanya yang berair di dada Hilman.
Melihat kelakuan Fitri, Hilman tertawa kecil. "Janganlah sedih, awak lebih cantik bila tersenyum."
Fitri tersenyum dalam harunya. Sambil menghirup aroma maskulin Hilman yang menenangkan, Fitri bersuara. "Kalau saya nggak boleh lagi panggil kamu 'Tuan', saya harus panggil apa?"
Hilman berpikir sebentar. "Uncle… kacak?"
Refleks Fitri mencubit perut Hilman yang mulai membanggakan diri. Kacak, yang artinya tampan, memang cocok untuk mendeskripsikan Hilman. Tapi memangnya Fitri setidak malu apa memanggil lelaki yang berstatus adik bos-nya begitu? Alamat dipulangkan ke kampung halaman dia oleh orang tua Aden.
"Ahaha, tak perlu lah malu. Saye memang handsom kan?"
Fitri hanya mendelik lucu, membuat Hilman menjatuhkan bibirnya di pipi kekasih barunya.
"Udah sana kamu pulang. Saya mau belanja perlengkapan Aden sama Mbak Intan." Intan itu Asisten Rumah Tangga di rumah ini yang juga berasal dari Indonesia.
Alih-alih melepaskan pelukannya pada Fitri, Hilman malah meletakkan dagunya di bahu gadis itu. "Tak payah lah itu. Awak temani saye saja kat sini."
"Mana boleh begitu." Fitri tenang saja menepuk punggung Hilman. Dengan paksa gadis itu menarik diri dan mendorong Hilman menuju pintu.
"Hei, saye baru sampai lah. Kenape dah diarahkan pulang?"
Fitri tak mengindahkan protes Hilman dan hanya melambai. Setelah memastikan lelaki itu keluar dari pintu, Fitri mulai berjalan menuju dapur. Tapi belum sepuluh langkah, gadis itu sudah berhenti kembali karena seruan Hilman.
"Fitri! Saye sayang awak! Jangan sampai terlupa!"
Wajah Fitri merona. Dia malu. Enggan berbalik, dia mempercepat langkah menuju dapur. Sambil mencari Intan, dia mengipasi wajahnya yang terasa panas.
"Ehm, yang baru dapet pacar. Bahagia banget deh."
"Astaghfirullah!" Fitri memegang dadanya yang melonjak kaget dan menatap Intan yang muncul bagai jelangkung.
Tak mempedulikan Fitri yang masih syok, Intan memajukan bibirnya ke depan sambil berkedip genit.
Fitri, yang tahu jelas maksud gelagat Intan, menutup wajahnya yang terbakar. Duh, memalukan!
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    5d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    11d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters