logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Dua Puluh Dua Tahun yang Lalu

Langkat, Indonesia
Menikah.
Kebanyakan orang menganggap pernikahan adalah sebuah proses untuk menuju kehidupan baru yang lebih baik. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang merasa ‘harus’ menikah, di antaranya : usia yang sudah terlalu matang; desakan orang tua yang ingin anaknya cepat berumah tangga agar meringankan beban ekonomi keluarga; karena sudah merasa yakin dengan pasangannya; atau malah tuntutan keadaan. Cara menemukan pasangannya pun beragam. Ada yang memang sudah pacaran bertahun-tahun lalu memutuskan menikah, ada pula yang masih mengikuti trend Siti Nurbaya yang dikenal dengan istilah ‘perjodohan’.
Zulaikha, yang kerap disapa Ika pun tak luput dari ‘kondisi’ di atas. Dalam kasus gadis berparas cantik itu, pernikahannya merupakan ajang memenuhi keinginan sang ibu yang tak ingin anak gadisnya mendapat suami yang tidak sekufu dengan mereka. Daripada membiarkan Ika menikah dengan lelaki pilihannya yang mungkin saja akan membuat malu sang ibu, lebih baik menjodohkan gadis itu dengan kandidat terbaik.
Siapa lelaki yang beruntung mempersunting kembang desa itu?
Beri selamat pada lelaki tampan yang duduk bersila di samping Pak Burhan, tetua dari pihak lelaki yang sedang bercakap-cakap mengenai niatan mereka sekeluarga bertandang ke rumah ini. Lelaki dengan tinggi 168 cm, kulit putih bersih, alis tebal, mata teduh, dan hidung bangir itu bernama lengkap Rangga Al-Bukhari. Putra satu-satunya Ibu Maryam dan Alm. Bapak Faiz Al-Bukhari. Kepribadiannya santun dan ramah. Hanya dengan melihat bagaimana Rangga menatap wanita yang melahirkannya ke dunia, semua orang yang duduk di dalam ruangan itu bisa mengetahui bertapa cintanya ia pada sang ibu. Ketika mengaitkannya dengan peribahasa yang mengatakan bahwa ‘baik tidaknya seorang lelaki sebagai suami adalah dengan melihat bagaimana ia memperlakukan ibunya’ maka sudah pasti Rangga mendapat nilai sempurna.
Lelaki yang tampan, baik budi pekertinya, berasal dari keluarga berada, dan tahu betul bagaimana memperlakukan ibunya adalah paket komplit lelaki idaman. Ika, yang sudah diberitahu bagaimana perangai calon suaminya itu tak bisa menyembunyikan rona di pipinya. Awalnya ia merasa sedih karena keputusan sepihak orang tuanya, namun kesedihannya sirna ketika bertemu dengan Rangga beberapa minggu lalu. Masih segar di ingatan Ika bagaimana percakapan yang terjalin di antara sepasang muda-mudi itu. Rangga yang supel dengan mudah membuat Ika yang sulit dekat dengan orang lain merasa nyaman.
“Kamu suka dengar lagu?”
Itu pertanyaan pertama yang Rangga tanyakan pada Ika saat mereka diusir untuk melakukan ‘percakapan dari hati ke hati’ oleh para orang tua.
Ika, yang masih canggung karena jarang berinteraksi dengan lelaki meski dijuluki kembang desa, mengangguk pelan.
“Oh ya? Suka dengar lagu apa?”
Ika berpikir sebentar. Dia banyak mendengar siaran radio di rumah neneknya sebagai pengusir sepi. Karena dia tak memiliki banyak teman, yang bisa dilakukannya hanya membaca koran atau mendengar lagu lewat radio sambil duduk di kursi goyang nenek. Meski suaranya jauh dari kata merdu, bernyanyi merupakan salah satu hobi Ika. Dia menikmati semua jenis lagu. Suatu waktu dia akan memutar lagu rock, tapi di waktu lain dia akan menyenandungkan lagu dangdut. Atau hari ini dia mendengar pop, keesokannya heavy metal. Tapi yah, lagu kesukaannya masih....
““Mungkinkah – Stinky.””
Ika melebarkan mata dan langsung menatap Rangga yang baru saja mengatakan hal yang sama dengannya.
Rangga tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Mendongakkan wajah seolah ada lampu yang menyorotinya, lelaki itu mulai bernyanyi. “Mungkinkah ... kita ‘kan selalu bersama, walau terbentang jarak antara kita....” Rangga melirik Ika, memberi tanda untuk mengikutinya menjadi penyanyi mendadak.
Ika terkekeh pelan. Setelah berdeham, dia mulai menyambung lirik dengan suara yang sama pas-pasannya dengan milik Rangga. “Biarkan... kupeluk erat bayangmu, ‘tuk melepaskan kerinduanku...”
Lalu bersama-sama. ““Kau kusayang, selalu kujaga... takkan kulepa~s, s’lamanya... hilangkanlah~ keraguanmu~ pada diriku~ di saat kujauh darimu....””
Entah bagaimana lagu pop itu berubah menjadi dangdut di akhir. Yang pasti, baik Rangga ataupun Ika tertawa mengakhiri konser kolaborasi mereka.
“Suara kamu nggak bagus.” Ika berceletuk.
“Hm, suara kamu juga sama.” Rangga dan Ika kembali berpandangan dan mulai tertawa lagi.
Setelah tawa mereka reda, Rangga mengalihkan pandangan pada kerumunan anak yang sedang berlarian di lapangan. Saat ini mereka berdua sedang duduk dalam jarak aman di depan rumah. Rangga yang baru pertama kali berkunjung ke daerah ini mengamati kegiatan anak-anak yang ramai penuh suka cita dan tanpa sadar bernostalgia mengenang masa kecilnya. Dia menunjuk satu anak yang berlari paling akhir dan tersenyum. “Saya dulu sering begitu kalau main sama teman-teman saya di rumah.”
Ika memiringkan kepala dan bertanya dengan nada polos, “Kamu kalau main di lapangan cuma pakai celana dalam dan kaus singlet aja?”
Rangga tersedak dan lebih fokus melihat seragam yang dikenakan anak yang tadi ditunjuknya. Wajahnya yang dicukur bersih memerah. “Bukaan!” Lelaki itu buru-buru melambaikan tangan. “Maksud saya, kalau main itu saya sering jadi yang paling akhir. Umi nggak pernah ngizinin saya keluar pake itu doang loh! Bahkan kalau mau ganti pakaian harus di kamar mandi. Aurat kata Abi.”
Ika berusaha menahan tawa saat melihat wajah panik Rangga. Dengan raut usil, gadis itu menaikkan alis mata. “Oh ya? Saya nggak masalah loh kalaupun bener. Kan kamunya udah gede juga.”
“Ya Allah, nggak gitu. Saya beneran nggak pernah keluar rumah cuma pakai celana dalam dan kaus singlet aja. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tuh tanya Umi saya. Saya nggak bohong, serius.” Rangga meyakinkan Ika dengan gigih.
Tak tahan, tawa mengalir lembut dari bibir si cantik. Ujung jilbabnya bergoyang karena angin yang lewat. Jika tak menahan diri, mungkin Rangga sudah menyentuh kain yang menutupi rambut Ika dan membetulkannya. Gadis ini sungguh elok dilihat mata. Berbeda dengan kedua adiknya yang mengikuti gaya berpakaian Ibu mereka yang ‘ramai’, Ika memiliki selera fashion yang lebih sederhana dan apa adanya. Hal ini mungkin disebabkan Ika yang sedari kecil sudah tinggal bersama Neneknya, Hj. Aisyah yang sering dipanggil Ustadzah oleh ibu-ibu di daerahnya. Berbeda dengan para gadis yang selama ini mengejarnya, Ika menawan Rangga dengan kecanggungan yang nyata. Kesederhanaan dan kepolosannya membuat Rangga dengan cepat jatuh hati. Terlebih Uminya memberi persetujuan pada gadis ini. Sudah pasti Rangga akan berjuang menghalalkannya.
“Jadi, gimana pendapat kamu soal perjodohan ini?” Merasa suasananya sudah cukup bagus, Rangga dengan hati-hati bertanya.
Alih-alih menjawab, Ika balas bertanya. “Kamu sendiri gimana? Apa pendapat kamu soal perjodohan kita?” Ika memperhatikan lelaki di sampingnya dengan seksama.
Rangga balas menatap gadis itu dengan tenang. “Abi saya pernah bilang, Rasulullah berkata bahwa seorang wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Tapi lebih utama memilih agamanya, karena dengan begitu kamu akan selamat.” Senyum Rangga melembut. “Saya melihat kamu sudah cukup memenuhi keempatnya.”
Ika buru-buru mengalihkan wajahnya yang merona. Meski tak diucapkan secara gamblang, Rangga jelas memujinya cantik dan tahu agama. Dan jelas pula Ika yang sadar betapa mempesonanya lelaki yang duduk beberapa jengkal darinya itu merasa senang karena mendapat pujian. Jantungnya mulai berdegup cepat dan Ika tanpa sadar menyentuh dadanya. “A-agama saya nggak sebaik dugaan kamu loh. Saya masih banyak kurangnya.”
Rangga mengangguk. “Saya juga masih banyak kekurangan.” Akunya kemudian. “Tapi berumah tangga itu nggak sendirian, Ika. Nggak ada juga orang yang sejak lahir pintar berkeluarga. Semua butuh proses. Saya dan kamu masih perlu banyak belajar. Kita harus saling mendukung satu sama lain, supaya ke depannya rumah tangga kita tetap tegak walau dihantam badai. Kamu mau kan berjuang sama saya?”
Ika kembali menatap Rangga. Berpikir sebentar, ia melempar senyum.
Rangga tak perlu menjadi jenius untuk dapat mengartikan senyuman Ika sebagai persetujuan.
Dan inilah hasil dari pembicaraan mereka berdua saat itu. Yaitu lamaran dari pihak Rangga yang datang tiga minggu setelahnya. Diputuskan pula akad dan resepsi Rangga-Zulaikha akan dilaksanakan dalam tiga bulan.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    5d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    11d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters