logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Cerita Tengah Malam

Farhan langsung memeluk Nabila yang hendak menerjang masuk ke kamar orang tua mereka.
"Bang, Ibu... Ibu, Bang." Gadis itu terisak menunjuk ibu mereka yang kacau dan berlinang air mata.
Farhan menggeleng pelan. Hatinya juga sakit seperti Nabila, namun ia tahu ayah dan ibu mereka perlu bicara. Lelaki itu bertatapan dengan Rumi yang juga sedang menahan tangan Tio yang masih meronta meminta dilepaskan. "Bawa Tio dan Nabila ke kamar, Rum. Telepon Nabil. Suruh dia pulang dan ambil mobil di rumah Pakde."
Rumi mendesah, ingin bertanya untuk apa menelepon Nabil si pembuat ulah namun urung dan mengiyakan titah Farhan. Farhan merupakan anak tertua, dia lebih bijaksana dan terkadang lebih bisa diandalkan dari ayah mereka. Cepat-cepat Rumi menyeret Nabila dan Tio ke kamar masing-masing, meninggalkan ibu yang masih berteriak, ayah yang bungkam, dan Farhan yang memperhatikan adik-adiknya berlalu dalam diam.
Setelah memastikan ketiganya berlalu, Farhan meneguhkan hatinya dan berdiri mengawasi pertengkaran sepihak ayah dan ibunya.
"Ya Allah, ya Allah, ya Allah... sakit ya Allah... sakit sekali!"
Farhan ikut memegangi dadanya yang ikut sesak. Belum pernah ia melihat ibunya seperti ini. Bagi Farhan, ibunya adalah wanita paling tangguh dan menakjubkan di dunia. Tak peduli apa kata dunia, ibunya akan selalu berdiri tegak dan menepis hal-hal buruk yang diarahkan pada Farhan. Karena ibunya juga, Farhan selalu menghargai dan melindungi perempuan manapun yang ada disekitarnya agar tak ada lagi yang merasakan kesakitan yang sama seperti yang ibunya alami. Ibunya mungkin wanita kuat, tapi ada banyak wanita lain di luar sana yang tidak sekuat ibunya.
Tapi saat ini mata Farhan terbuka lebar. Dia menyadari bahwa apa yang diyakininya selama ini hanya optimisme berlebihan. Ibunya tidak sekuat itu. Ibunya rapuh dan hanya berusaha tangguh. Ibunya, juga butuh pegangan.
"PEMBOHONG! PENIPU! PENGKHIANAT! BAJI**AN JAHAT! AKU BENCI KAMU! AKU BENCI! BENCIII! MATI SAJA SANA!"
Farhan mengambil langkah. Mengabaikan sesosok pria yang bertahun-tahun ia panggil Ayah, Farhan berlutut di samping ibunya yang masih melempar apapun yang bisa dilempar. Setitik air mata turun di pipi Farhan tatkala melihat tangan dan kaki ibunya berdarah akibat pecahan kaca. Buru-buru dia menghapus air matanya dan mengulurkan tangan. Tangannya bergetar, namun tangan itu berhasil memeluk ibunya yang kacau balau.
Berkali-kali ibunya berusaha melepaskan diri. Tapi berkali-kali pula Farhan kembali meraih ibunya. Wanita itu terus meracau, melontarkan makian dan keluhan bersama tangisan. Farhan di sisi lain hanya bisa memeluk dan memberikan usapan lembut di punggungnya.
Lalu... brak!
"Brengsek!"
Buagh!
"Nabil!"
"Abang!"
Bertepatan dengan kedatangan Nabil yang dramatis, ibu mereka kelelahan dan pingsan di pelukan Farhan.
•••
"Apa kata dokter?" Nabil yang sedang bersedekap di samping ruangan Dokter yang memeriksa ibu mereka, langsung berjalan mendekati Farhan saat melihat saudaranya itu keluar.
"Tekanan darah darah ibu rendah, Bil. Pola makan yang nggak teratur dan stres berlebihan juga penyebab ibu tiba-tiba drop." Farhan merapikan pakaian Nabil yang berantakan.
"Cuma itu?" Mata Nabil menyipit. Sulit percaya Dokter sampai memanggil Farhan ke ruangannya hanya untuk memberi tahu penyebab ibu mereka pingsan adalah kekurangan nutrisi dan stres berlebihan.
Farhan tak menjawab. Dengan langkah teratur dia berjalan menuju kantin Rumah Sakit dan berdiri di depan vending machines. Setelah memasukkan beberapa lembar rupiah, dia menatap Nabil. "Kamu mau apa?"
Nabil menghela nafas. Meski begitu dia menatap mesin penjual otomatis di hadapannya selama beberapa waktu. "Susu kacang hijau."
Farhan sedikit memiringkan kepala. "Tumben. Abang pikir kamu suka soda."
"Aku harus tetap sehat supaya bisa menghajar pria brengsek itu!"
Giliran Farhan yang menghela nafas melihat tekad di mata adiknya. Mengalihkan pandangan ke mesin penjual otomatis, Farhan menekan tombol black coffee dan susu kacang hijau. Setelah melempar susu rasa kacang hijau pada Nabil, Farhan mengambil kursi dan duduk di tempat pertama yang dilihatnya.
"Kondisi ibu gawat ya?" Nabil bertanya sambil duduk di depan Farhan. Dia memperhatikan minuman yang dibeli saudaranya dan sepenuhnya yakin jika firasatnya benar. Farhan itu penganut hidup sehat. Meminum kopi hitam selarut ini hanya berarti dia sedang sakit kepala berat. Dan penyebabnya sudah pasti hasil diagnosis Dokter. Ibu sedang tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang salah dengan kondisi ibu mereka.
"Nggak segawat itu kok." Farhan membuka penutup kopi hitamnya dan meminum seteguk demi seteguk.
Mata Nabil sedikit bergetar melihat Farhan yang meminum kopi hitam seperti meminum air mineral. Entah saudaranya itu begitu menikmati rasa tak bersahabat kopi hitam atau malah dia ingin cepat-cepat menghabiskan minuman pahitnya, yang pasti Nabil kagum sekaligus ngeri membayangkan bagaimana keadaan lidah Farhan saat ini.
"Kenapa kamu ngeliatin Abang segitunya, Bil?"
Nabil meneguk susu kacang hijaunya dan menggeleng. "Nggak papa, Bang." Lalu kembali fokus pada pembicaraan mereka sebelumnya. "Kalau nggak gawat terus apa? Nggak logika lihat Abang dipanggil Dokter ke ruangannya cuma untuk masalah yang nggak gawat."
Selain Farhan dan Nabil, hanya ada dua perawat dan satu dokter yang duduk dua meja di belakang mereka. Karena ketiga pekerja Rumah Sakit itu tampaknya menjadikan kantin sebagai tempat tidur sementara, hanya meja tempat mereka berdua duduk yang bersuara.
"Nggak gawat karena saat ini masih gejala." Farhan mengamati reaksi Nabil yang duduk di depannya. "Depresi psikotik. Dokter bilang ibu memiliki kemungkinan besar mengalami depresi psikotik apabila kondisi saat ini terus berlanjut."
"Ha!" Nabil tersentak kuat. Wajahnya memerah dan tangannya mengepal. Depresi psikotik katanya? Depresi yang memungkinkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, serta keinginan membunuh diri sendiri atau orang lain? Ha! Mustahil! Ibu mereka adalah wanita paling kuat yang pernah Nabil kenal. Mana mungkin wanita yang bisa melawan kebebalan Nabil yang melegenda akan mengalami depresi!? Omong kosong!
"Duduk, Bil! Abang belum selesai ngomong!" Farhan tiba di belakang Nabil dan langsung menekan bahu sang adik saat melihat tanda-tanda Nabil akan melabrak Dokter yang telah mendiagnosis kesehatan ibu mereka. Haaah... Farhan memang tidak bisa meninggalkan adik berandalannya ini sendirian. Emosinya sungguh mengkhawatirkan.
"Dokter pasti salah, Bang! Ibu nggak mungkin sakit jiwa!" Nabil mulai kehilangan kendali.
Tuk!
Refleks, Farhan menjatuhkan jitakan maut di kepala Nabil. "Nggak ada yang bilang ibu sakit jiwa, Bil!" Farhan menekankan sembari menghela nafas untuk yang kesekian kali. "Dokter bilang itu masih gejala. Ge. Ja. La. Dan itu gejala depresi, bukan sakit jiwa."
"Apa bedanya depresi sama sakit jiwa? Toh sama-sama penyakit mental!"
Farhan memijat kepalanya yang kembali sakit. Dia buru-buru berjalan menuju vending machines dan kembali ke meja dengan dua kaleng black coffee.
"Bang Farhan!" Nabil berseru jengkel karena lagi-lagi diabaikan.
"Apa?! Kamu masih penasaran bedanya depresi sama sakit jiwa?!" Farhan balas berteriak, mengagetkan tiga manusia lain di kantin Rumah Sakit.
"Iya, apa bedanya?!" Nabil tentu saja tak mau kalah. Teriakannya bahkan membuat cicak yang hendak memakan nyamuk terkejut dan kembali bersembunyi di sarangnya.
"Ambil hape kamu!"
Nabil mengeluarkan ponselnya. "Terus?!"
"Searching di google, apa bedanya depresi sama sakit jiwa!"
"Udah!"
"Baca!"
Beberapa menit berikutnya Nabil mengangguk dan bergumam, "Oh." Sebelum kembali duduk manis meminum susu kacang hijaunya.
Farhan mendesah lega, demikian pula tiga pendengar rahasia yang tanpa sadar menjadi saksi mata perdebatan dua saudara. Akhirnya damai, ketiga orang itu langsung kembali ke posisi semula. Tidur.
Tanpa pernah menyadari situasi di sekitarnya, Farhan berbicara pada sang adik. "Jangan terlalu keras sama Ayah, Bil."
Ketenangan Nabil mengendur, "Abang mau ngebelain si breng-"
"Enggak!" Farhan langsung memotong. "Abang nggak minta kamu maafin Ayah, tapi coba dengar dari sudut pandangnya."
Urat-urat syaraf di kepala Nabil mulai bermunculan. "Dan kenapa pula aku harus dengar alasan pria yang udah nyakitin Ibu? Alasan apapun yang pria brengsek itu kasih nggak akan ngembaliin keluarga kita seperti semula. Alasannya nggak bakal buat ibu bebas dari gejala depresi!"
Farhan tersenyum pahit. "Kamu bener, Bil." Dia setuju. "Tapi ada banyak hal yang abang tahu setelah kesana-kemari cari informasi soal ayah, ibu, dan wanita itu."
Nabil tak menyahut, tapi diamnya lelaki itu menunjukkan bahwa ia mendengarkan cerita Farhan.
Dan mengalirlah kisah yang dimulai dari dua pilihan dua tahun yang lalu.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    5d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    11d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters