logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 13 Pulang

"Na, nanana, nana. Nanana, nana, nanana, nana…." Fitri mengelus perutnya yang mulai membuncit sambil bersenandung pelan. Biasanya, Fitri akan menyenandungkan nada ini saat ia mengajak Aden jalan-jalan. Afia yang mengenalkan Fitri pada nada ini. Wanita itu mengatakan bahwa memperdengarkan musik pada janin dan balita itu bagus untuk perkembangan mereka. Saat Aden masih di dalam kandungan, setiap ada kesempatan Afia selalu memutar musik-musik klasik di rumah dan menyenandungkan di waktu yang lain. Favoritnya adalah nada ini. Symphony no. 9 karya Beethoven.
Fitri bukan penyuka musik klasik. Dia bahkan pertama kali mengetahui musik klasik saat menjadi pengasuh Aden. Namun karena terbiasa menyenandungkan nada ini, Fitri merasa ada yang kurang saat ia tak menyuarakannya. Jadilah gadis, tidak, wanita itu memperdengarkan senandung ini pada anak yang ada di dalam perutnya.
Fitri menghapus air mata yang mulai mengalir di pipinya.
Selain bersenandung, menangis merupakan satu kebiasaan lain yang Fitri miliki setiap dia sendirian. Tak ada alasan spesifik kenapa calon ibu itu menangis. Situasinya saat ini sudah lebih dari cukup untuk membuat wanita terkuat di dunia sekalipun merasa sedih hingga ingin menghancurkan apapun.
Fitri sudah pulang. Di hari pertama dia pulang ke rumah, Mak, Bapak, dan adiknya, Yuni menyambutnya dengan pelukan walau kebingungan tampak menghiasi netra mereka. Setelah itu dia menjelaskan segalanya; bagaimana pekerjaannya, siapa Hilman, seperti apa hubungan Fitri dan Hilman, kehamilannya, keputusannya untuk tidak menikah, dan kepulangannya. Fitri sudah menyiapkan diri untuk semua kemungkinan terburuk yang akan diterima setelah orang tuanya mendengar berita buruk ini. Fitri pikir dia telah siap. Namun tangisan Mak, diamnya Bapak, dan pelukan Yuni menyakiti Fitri lebih dari yang dikira. Tidak ada teriakan atau makian di rumah ini untuknya, namun tak ada pula kehangatan dan sambutan yang Fitri terima.
Gunjingan dan persangkaan yang diterimanya dari keluarga besar dan tetangganya juga tidak membantu. Ada yang mengatakan jika Fitri hamil karena menggoda majikannya, ada yang mengatakan jika Fitri menjadi korban per**saan, bahkan ada yang mengatakan jika Fitri memang menjual diri demi uang di Malaysia hingga tidak diketahui siapa Ayah dari anaknya. Jahat kah? Iya. Seperti itulah dunia bekerja. Mereka yang merasa sempurna sibuk menghakimi orang lain, hingga lupa jika roda terus berputar. Hari ini mereka mungkin menghakimi, tapi siapa yang tahu jika besok mereka akan dihakimi?
Saat ini Fitri hanya bisa mengelus dada dan beristighfar banyak-banyak agar hati serta pikirannya kuat untuk melangkah ke depan. Fitri sudah memilih jalan ini. Siap tak siap, mau tak mau, dibela atau diabaikan, Fitri harus menjalaninya. Fitri tak bisa mengharapkan siapapun untuk mengulurkan tangan padanya.
Tidak siapapun.
Fitri tersenyum sendu menatap bulan purnama di atas langit. Air matanya masih mengalir sederas sebelumnya. Tapi satu kesimpulan kuat membekas seolah dipahat dalam hatinya.
Fitri sudah pulang, namun dia tak merasa ini adalah rumahnya.
•••
"KALAU BEGITU TALAK SAJA IKA!"
Rangga tersentak. Tak mampu bersuara ketika menerima serangan tanpa aba-aba dari ibu mertuanya.
"Kamu talak saja Ika dan pulangkan dia ke rumah kami!"
Meski nada bicara Jamilah sudah turun beberapa oktaf, Rangga belum bisa menemukan suaranya pasca syok akibat kata-kata Mamah istrinya ini.
"Kenapa kamu nggak ngomong, hah?! Tadi kamu bawa-bawa status Ika sebagai istrimu dan surganya yang ada sama kamu kan?! Coba ngomong sama saya! Saya ini Mamahnya Ika! Saya yang melahirkannya! Kamu belum setahun menjadi suaminya sudah berani memperlakukan anak saya seperti ini! Mau jadi apa anak saya nanti kalau perintah kamu terus dituruti?!"
Rangga mengerjap. "A-apa maksudnya, Mah? Perintah apa?" Rangga mati-matian menyuarakan hal yang pertama kali dipikirkan olehnya. Dia mencoba tetap tenang walau suara Jamilah yang keras seolah mengundang orang lain untuk keluar dari rumah dan memperhatikan perdebatan mereka.
"Jualan gorengan, membantu kamu menjaga kios, bahkan masih mengurusi kamu yang nggak bisa diandalkan!"
Tidak bisa diandalkan? Dia? Rangga al-Bukhari?
"Saya menyesal menikahkan Ika dengan pria nggak berguna seperti kamu! Buka usaha dari awal? Ngapain kamu sok-sokan begitu?! Kenapa nggak terusin aja toko orang tua kamu supaya kehidupan Ika terjamin?!" Jamilah mengibaskan tangannya dengan kasar. "Kamu itu putra satu-satunya Abi dan Umimu, Rangga! Istri itu tugasnya untuk menghias diri dan memenuhi kebutuhan suaminya! Kewajiban mencari nafkah itu ada di pundak suami! Kalau kamu memberikan beban mencari nafkah di pundak Ika, tugas kamu sebagai suami itu apa?! Ongkang-ongkang kaki kayak mandor yang tinggal terima bersih?! Kami nggak menikahkan Ika dengan kamu untuk diperbudak! Talak saja dia! Kami bisa menafkahi Ika dan anaknya tanpa kamu!"
Tangan Rangga mengepal kuat. Bagaimana mungkin permintaan dan sarannya pada Ika menjadi perintah yang menjerumuskan? Bagaimana bisa dia menjadi pria jahat yang memperbudak istrinya? Kenapa usahanya untuk memulai dari awal dihina dan diremehkan seperti ini? Satu-satunya yang bisa menjawab semua tanya yang berkeliaran di kepala Rangga hanya satu orang. Istrinya. "Mana Ika, Mah? Saya harus bicara sama istri saya untuk meluruskan semuanya."
"Meluruskan semuanya kamu bilang?! Halah, penipu! Kamu hanya ingin membawa Ika pulang dan memperbudaknya lagi! Memang kamu pria nggak berguna, Rangga! Apa begini cara orang tuamu membesarkan kamu?! Apa Umimu sepicik itu ingin menguasai harta peninggalan suaminya sen-"
"CUKUP, MAH!" Rangga akhirnya ikut berteriak saat Umi dan Almarhum Abinya disebut-sebut. Pria itu mungkin bisa bersabar saat Jamilah menghina dan mempermalukannya di depan orang banyak. Tapi kalau sudah membawa-bawa nama kedua orang tuanya, Rangga tidak bisa bersabar. Ika mungkin istrinya dan wanita paruh baya ini mertuanya, tapi surga Rangga masih berada di kaki Uminya dan sang Abi masih menjadi panutan utamanya. Rangga tidak bisa dan tidak boleh membiarkan siapapun menghina orang tuanya. "Tolong jaga bicara, Mamah! Saya bisa menuntut Mamah karena sudah mencemarkan nama baik orang tua saya!"
"T-tuntut?" Jamilah langsung gugup.
Di masa ini, masyarakat belum terbiasa dengan konteks tuntut-menuntut ke pengadilan. Mereka berasumsi ketika seseorang sudah masuk ke dalam ruang persidangan, yang menanti mereka di akhir adalah jeruji besi. Padahal hukum tidaklah seasal dan sesederhana itu.
Rangga menggeleng pelan dan kembali bicara. "Saya cuma mau ketemu Ika dan mendengarkan penjelasannya. Saya nggak pernah berniat melakukan perbuatan yang Mamah tuduhkan ke saya. Saya nggak pernah memaksa Ika! Suruh Ika keluar, Mah! Saya mau meluruskan semuanya!"
Mendengar ucapan Rangga, emosi Jamilah kembali naik. "Nggak bisa! Pergi sana kamu! Saya nggak akan izinkan kamu ketemu sama Ika!" Jamilah meraung dan mendorong Rangga sampai pria itu terjatuh. Tanpa memberi muka pada menantunya, Jamilah masuk dan membanting pintu dengan suara 'brak' yang keras.
"Mah!" Rangga buru-buru berdiri dan mengetuk pintu sambil memanggil nama mertua dan istrinya berkali-kali. Namun selama apapun dia menunggu, tak ada jawaban dari dalam. Ketika Rangga bertekad untuk tidak akan pergi sebelum Ika menemuinya, tangan dan suara familiar itu menghamburkan niat Rangga.
"Nak…"
Rangga langsung berbalik dan menemukan wajah teduh Maryam yang membuatnya ingin menangis. "Kenapa Umi ada di sini? Mamah yang suruh?"
Maryam hanya tersenyum lembut tanpa menjawab pertanyaan putranya.
Batin Rangga mencelos. Melihat bagaimana cara Uminya tersenyum sudah membuat Rangga paham bagaimana mertuanya yang penuh dengan kesalahpahaman itu memperlakukan wanita yang telah melahirkan Rangga ini. "Umi-"
"Sudah, Ngga. Umi nggak papa." Maryam yang tahu benar watak Rangga langsung menggeleng. "Kita pulang aja ya? Udah malam. Masalah ini biar kita selesaikan dengan kepala dingin. Nggak perlu sekarang."
Rangga ingin menolak. Dia belum puas. Dia perlu bertemu Ika. Rangga butuh mendengarkan serta memberi penjelasan. Dia baru menyadari bahwa dirinya dan Ika memiliki begitu banyak perbedaan. Dan konyolnya, Rangga selama ini menganggap bahwa ia sudah menjadi suami yang baik untuk Ika dan mereka berdua memiliki pendapat yang sama. Hanya karena Ika selalu menuruti keinginannya, bukan berarti Ika setuju dengan hal itu.
Lalu … Rangga kah yang salah? Apa pernah dia memaksa Ika? Salahnya Ika tak pernah jujur? Pria itu menahan geram saat teringat bagaimana Ika bahkan tidak muncul saat ia dihina oleh ibunya. Bagaimana bisa...
"Kita pulang, Ngga." Maryam menyadarkan Rangga dari lamunannya.
Pria itu menghela nafas panjang dan akhirnya menyerah.
Rangga akan pulang, ke tempat yang tak lagi diyakininya sebagai rumah.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    3d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    9d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters