logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 10 Beradaptasi Denganmu

Langkat, Indonesia
“Iya, Mas. Letakkan disitu. Posisinya miring aja, Mas. Menghadap jendela. Ha, begitu.”
Ika menghentikan kegiatannya menyapu rumah sebentar demi melihat Rangga, sang suami tengah mengatur posisi tempat tidur mereka yang baru tiba hari ini. Selain tempat tidur di kamar mereka, Rangga juga membeli satu tempat tidur lagi untuk kamar anak, televisi warna yang lumayan mahal, lemari, dan perkakas dapur. Barang-barang ini baru sampai sekarang karena Rangga memang baru membelinya setelah mereka menikah. Rangga bilang, dia ingin memilih perkakas rumah bersama dengan Ika. Karena mereka pasangan suami-istri, dan akan tinggal bersama untuk waktu yang tidak ditentukan, Rangga ingin ia dan Ika bersama-sama membenahi rumah mereka. Agar kenyamanan juga dirasakan bersama, tidak oleh salah satu pihak saja.
Sayangnya, Ika yang terbiasa menerima apa yang diberikan orang lain tak terlalu bersemangat dengan ide Rangga. Wanita itu memang ikut bersama Rangga ketika membeli peralatan rumah, namun hampir seluruh perabotan atas pilihan pria itu. Ika hanya mengangguk dan ikut saja, membuat Rangga sedikit kecewa namun memaklumi.
“Ka, bisa tolong buatin minuman untuk Mas-nya?” Rangga tiba-tiba beralih menatap Ika yang masih memperhatikan mereka.
Ika agak tersentak namun dengan cepat mengangguk. “Bisa, Bang.”
Rangga melihat tiga pekerja yang masih memasang kepala tempat tidur. “Mas, pada mau minum apa nih?”
“Es teh aja, Mas.”
Rangga mengangguk dan beralih menatap sang istri. “Es teh, Ka.”
“Oke, Bang.” Ika segera berlalu ke dapur.
Rangga memperhatikan punggung istrinya yang menjauh dan tanpa sadar mengingat Uminya yang sendirian di rumah sana. Pria itu menghela nafas panjang, menyesal belum bisa membujuk wanita yang melahirkannya ke dunia untuk tinggal bersama mereka. Uminya beralasan kalau tinggal bersama Rangga, wanita itu tak akan bisa membuka toko tepat waktu. Uminya menambahkan jika seseorang ingin berjualan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah waktu buka. Jika terlalu lama buka, bukan hanya pelanggan akan kecewa, rezeki pun akan menjauh sedikit demi sedikit.
Mendengar itu Rangga hanya bisa menggeleng pelan. Meski Uminya menjelaskan panjang lebar, pria itu tahu alasan sebenarnya Umi enggan ikut tinggal bersamanya. Takut tak bisa membuka toko tepat waktu? Takut membuat pelanggan kecewa? Takut rezeki menjauh? Itu hanya alasan tambahan saja. Toko Umi merupakan toko besar kalau bukan yang terbesar di daerah mereka. Ada lebih dari sepuluh orang yang dipekerjakan Umi di toko. Umi tak perlu turun tangan langsung hanya untuk membuka toko. Sepuluh orang pekerja sudah lebih dari cukup untuk membukanya tanpa bantuan Umi.
Alasan terbesar Umi tak mau ikut tinggal bersama Rangga dan Ika adalah karena Umi tak bisa meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan Abi. Seperti Umi yang menjadi cinta matinya Abi, Abi juga merupakan satu-satunya pria yang menjadi cinta sejatinya Umi. Umi mungkin selalu tersenyum saat membicarakan Abi, namun Rangga jelas bisa merasakan kerinduan dan kesedihan mendalam di mata sendu Uminya setiap nama Abi disebut-sebut.
Karena itulah Rangga tak bisa memaksa Umi untuk ikut dengan mereka. Setidaknya, tidak sekarang. Dia membuat catatan di dalam hati untuk selalu mengajak Uminya pindah ke sini setiap berkunjung. Mungkin suatu saat nanti wanita itu akan lelah akan ajakan Rangga dan menyetujuinya dengan berlapang dada.
“Ini Mas, es tehnya. Diminum dulu.”
Rangga beralih menatap Ika yang ternyata sudah kembali dari dapur dan beranjak mendekati sang istri. Senyum yang akan tersungging di bibirnya perlahan memudar saat menyadari bahwa hanya ada tiga gelas es teh yang tersaji di atas nampan. Ingin pria itu bertanya dimana miliknya pada sang istri, tapi melihat masih ada orang lain di antara mereka membuat Rangga mengurungkan niat.
Lagi-lagi menghela nafas, Rangga berjalan menuju dapur dan membuat minumannya sendiri.
•••
“Ka?” Rangga menatap Ika yang tampak kelelahan setelah ibadah mereka di sampingnya.
“... Iya, Bang?” Ika menatap suaminya yang tetap terlihat tampan dalam cahaya minim di kamar mereka.
Rangga mengelap peluh di dahi sang istri dan tersenyum tipis. “Kamu tau kan, kalau Abang bakal buka usaha dari awal di sini?”
Ika berpikir sejenak. Dia ingat ada banyak barang selain perabotan rumah di bagian depan rumah mereka saat ia tiba. Ada dua etalase kaca berukuran sedang dan besar. Banyak kotak dengan berbagai ukuran yang belum pernah dibuka Ika. Bentuk pintu depan yang tidak seperti biasa juga sebenarnya menarik perhatian Ika, namun karena dia tak terbiasa bertanya terlebih dulu pada orang lain, dia menekan rasa penasarannya dan hanya menunggu Rangga sendiri menjelaskan. Ternyata barang-barang itu untuk membuka usaha. “Abang mau usaha apa memangnya?”
“Foto copy, printing, dan jual alat tulis sekolah-kantor.”
Ika manggut-manggut.
Rangga memainkan rambut istrinya sambil bertanya. “Kamu mau jual sesuatu juga?”
“Jualan?” Wanita itu mengerutkan kening. Seumur-umur dia belum pernah berjualan apapun. Hidup hanya berdua di rumah sederhana dengan nenek yang menjadi salah satu tokoh agama di kampungnya, membuat Ika lebih sering berada di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga. Wanita itu juga selalu diberitahu oleh sang nenek bahwa marwah seorang perempuan itu adalah di rumah dan di luar rumah merupakan tempatnya lelaki. Ika hidup dengan doktrin perempuan adalah ibu rumah tangga yang memiliki tugas di tiga ‘r’, yakni: kasur, sumur, dan dapur. Sementara laki-laki adalah kepala rumah tangga yang berkewajiban menafkahi istri dan keluarganya. Oleh sebab itu, ‘berjualan’ atau dengan kata lain mencari rezeki sendiri tak pernah terlintas di pikirannya sekalipun.
“Iya. Kayak jualan gorengan, es buah, atau jajan-jajanan gitu.”
“Eum,” Ika lagi-lagi bimbang ingin menyuarakan isi hatinya. Meski Rangga pernah mengatakan jika mereka harus saling terbuka dalam mengungkapkan pikiran masing-masing agar tak ada kesalahpahaman, yang namanya kebiasaan memang sulit untuk diubah. Jika ia lebih berani, mungkin saja dia sudah bisa mewujudkan keinginannya untuk tinggal dengan orang tuanya sedari dulu. Praktis, Ika kembali menahan pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya dan beralih pada pertanyaan lain. “Menurut Abang bagusnya jualan apa?”
Rangga tersenyum menatap Ika. “Kamu mau?” Melihat anggukan sang istri, senyum Rangga semakin cerah. Dengan penuh semangat pria itu menjelaskan pendapat pribadinya dan memaparkan keuntungan yang akan didapat, modal yang dikeluarkan, serta cara pemasaran. Terbiasa memperhatikan dan membantu Abi dan Uminya di toko sedari kecil, membuat jiwa dagang Rangga yang sudah mendarah daging penuh espektasi.
“Kalaupun kamu mau jualan yang lain, Abang oke-oke aja, Ka. Kan kita masih merintis. Penal-pelan aja dulu. Siapa tahu nanti usaha kita bakal semakin besar di masa depan. Kamu dengan usahamu, Abang dengan usaha Abang.” Rangga terus mengoceh tanpa tahu gejolak hati sang istri.
Dalam pandangan Rangga yang tumbuh dengan mendengar kisah para Nabi dan meneladani mereka dari Abinya, konsep pemikiran Ika mengenai tugas istri hanya di ‘kasur, sumur, dan dapur’ berbanding terbalik dengan pemikiran Rangga. Biarpun kebanyakan lelaki lebih menyukai istri yang selalu bergantung pada suami dan selalu menghias diri di rumah demi suaminya, Rangga adalah sosok suami yang melihat perhiasan seorang istri dengan cara yang berbeda. Mengingat bagaimana Rasulullah dan Khadijah, Ummul Mukminin pertama bertemu dan berumah tangga membuat Rangga bangga betul dengan pekerjaannya sebagai pengusaha.
Di antara istri-istri Rasulullah yang lain, Rangga memang paling mengidolakan sosok Khadijah. Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Rasul, yang cantik, mandiri, dermawan, dan baik hati. Selain itu Khadijah juga seorang wanita yang pekerja keras. Mengingatkan Rangga akan sosok Uminya yang luar biasa. Umi adalah Khadijah pertama di hati Rangga. Walau mungkin di mata dunia Umi tidaklah semulia Ummul Mukminin, di mata Rangga Umi adalah wanita terbaik.
Karena itu, Rangga juga ingin memiliki istri seperti Khadijah. Yang mencintai suaminya tanpa syarat, yang selalu menemani suaminya dalam keadaan susah maupun senang, dan yang mengabdikan diri tanpa melupakan jati dirinya pada sang suami. Keindahan semacam itu sangat ingin Rangga saksikan dalam diri Ika. Tak apa bila tak sama persis, Rangga hanya ingin Ika menjadi Khadijah-nya yang lain. Khadijah-nya yang tak akan pernah membuatnya kecewa.
--₪₪₪--

Book Comment (87)

  • avatar
    AdhaNor Fazliana

    very good

    4d

      0
  • avatar
    SebatTjastra

    saya tak suka yang begini karna jelek dan menjijikan kalo bisa yang lain aja buat cerita nyahoh cerita kok jelek

    10d

      0
  • avatar
    Ruby Iman

    good

    22/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters