logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7

Suara percakapan sekumpulan orang menyeruak memenuhi seisi rumah yang dijadikan tempat berbincang. Canda tawa menghiasi setiap sudut ruangan menambah ramainya rumah yang biasanya hanya ditinggali oleh empat orang anggota keluarga. Di akhir pekan pagi ini menjadi pilihan tepat karena semua anggota keluarga bisa hadir dalam pertemuan yang sudah biasa dilakukan setiap satu bulan sekali untuk bersilaturahmi ataupun bertukar cerita.
“Anya di depan ada tamu,” seru Faldi kakak laki-laki Zefannya yang sudah berdiri di ambang pintu kamar Zefannya
“Siapa?” tanya Zefannya menghampiri Faldi dengan pakaian santai karena habis selesai mandi.
“Bima sama Vero. Kalian jadian kembali?”
“Hah? Tidak! Jangan suruh dia masuk, nanti aku akan menenemuinya,” Zefannya benar-benar kaget dengan perkataan kakaknya. Zefannya pikir laki-laki itu lupa akan janjinya dan sekarang membawa Vero sebagai senjata agar Zefannya mau menemuinya.
“Kamu ini kenapa tidak menyuruh tamu untuk masuk? Karena dia sudah jadi mantan lalu bersikap seperti itu? Jangan melihat satu kesalahan dan melupakan berjuta kebaikan. Kakak tahu kamu kecewa tapi tidak harus berlaku demikian,” petuah Faldi karena mendengar respon Zefannya barusan.
Kakaknya jelas tahu bagaimana permasalahan adiknya karena Zefannya menceritakan semuanya. Respon pertama yang Faldi berikan jelas kecewa karena adik tersayangnya merasa di permainkan. Tapi Faldi selalu memberi petuah kalau Zefannya tetap harus bercermin pada apa yang telah ia lakukan. Dalam suatu hubungan tidak hanya satu pihak yang bersalah tapi keduanya. Satu yang melakukan kesalahan memiliki alasan tersendiri kenapa ia melakukannya. Jalan yang lebih baik adalah mencari jalan tengah dengan terbuka satu sama lain tanpa adanya kebohongan. Tapi jika memang ingin di akhiri, akhiri tanpa dendam dan amarah.
“Aku tahu kak, tapi maksudku suruh dia untuk menunggu dulu, aku akan menemuinya setelah mengeringkan rambutku,” jawab Zefannya kembali masuk ke kamarnya.
“Ada apa?” tanya Zefannya di ambang pintu menyadarkan Bima yang asik duduk di kursi depan rumah.
“Aku tidak di suruh masuk?” tanya Bima menghampiri Zefannya yang menghalangi jalan masuk.
“Tidak ada tempat,” jawabnya santai tanpa menggeser sedikitpun.
“Aunty ayo kita main, kata Uncle Aunty akan ajak Vero main.”
“Kenapa Bima tidak disuruh masuk Anya? Bima masuk saja,” suara ibunya dari dalam terdengar jelas ke depan pintu dan membuat Bima tersenyum antusias. Bima pun masuk dengan memangku Vero dan melewati Zefannya yang sedari tadi menghalangi jalannya.
“Vero, Aunty sudah bilang kalau mau main sama Aunty biar ibu Vero yang menghubungi jadi nanti Aunty yang akan datang menjemput Vero,” ucapnya lembut sedangkan yang diajak bicara sibuk dengan makanan yang ada dihadapannya.
“Ayah dan ibunya sedang pergi jadi mereka menitipkan Vero padaku.” Jawab Bima yang sejak tadi terus memperhatikan setiap gerak-gerik Zefannya.
“Vero mau main kemana?” tanya Zefannya tanpa memperdulikan Bima yang sejak tadi berharap ingin di tanya.
“Tidak tahu,” jawabnya singkat karena makanan lebih penting untuk saat ini.
“Kita ke tempat futsal, hari ini jadwal Uncle untuk futsal,”
Vero hanya mengangguk karena kedua pipinya yang sudah dipenuhi makanan. Sedangkan Zefannya menatap Bima dengan tatapan bengis dan rahang mengeras. Kenapa orang ini selalu memutuskan keinginanya sendiri.
“Berhenti menjadikan Vero sebagai alasan untuk kita bertemu,” ketus Zefannya dengan menyandarkan punggunggnya ke sofa.
“Berhenti membenciku, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan. Sesulit itu kamu menerimaku kembali?” ketus Bima dengan suara lirih agar tidak terdengar oleh seisi rumah terlebih rumah Zefannya sangat ramai, tapi masih terdengar oleh lawan bicara di depannya.
Zefannya tidak menjawab perkataan Bima ia hanya berlalu untuk mengganti pakaiannya.
Jujur saja jika di bilang sulit, ini benar benar sulit, karena Zefannya sampai saat ini masih mencintai Bima tapi ia terlalu takut untuk menerimanya kembali, bagaimana jika nanti perempuan yang bernama Lara datang lagi. Meskipun Bima sudah menjelaskan kalau dia benar-benar mengakhiri hubungannya dan jujur bahwa kini ia tidak memiliki perasaan apapun pada Lara. Jadi jangan pernah katakan bahwa menerima kembali adalah hal yang mudah.
Mereka pun pamit dan memasuki mobil, entah akan pergi kemana, Zefannya tidak bertanya kembali terlalu malas dan laki-laki di sampingnya ini membuat suasana hatinya menjadi ancur.
“Kita akan main bola?” suara Vero memecah keheningan.
“Tentu sayang,”
Tempatnya masih sama, dimana setiap minggu luangnya Zefannya mengantarkan Bima untuk bermain futsal. Mengingatkannya tentang memori-memori kebersamaan yang sedang berusaha untuk ia hapus, tidak bukan dihapus namun saat mengingatnya tidak lagi luka. Sepertinya Bima sengaja membawa wanitanya ke tempat-tempat yang cenderung memang selalu dikunjungi mereka berdua di kala masih menjalin hubungan. Tujuannya untuk menembuhkan kembali memori dan berharap mereka kembali lagi seperti dulu.
Vero bersorak melihat pamannya lari kesana kemari mengiring bola, sedangkan Zefannya sibuk dengan pikirannya. Mengingat kembali setiap memori manis bersama Bima namun selalu terpatahkan kala mengingat bagaimana Bima mengahancurkan kepercayaannya.
“Uncle hebat,” seru Vero saat Bima sudah ada disampingnya.
“Jangan melamun aku tahu kamu terpukau dengan cara bermainku, jika ingin teriak menyebut namaku teriak saja. Apalagi… jika… berteriak...” Bima menjeda di setiap perkataan di akhir kalimatnya. Sungguh menggoda Zefannya memang sudah menjadi prioritasnya sampai saat ini. Sedangkan yang ditegur hanya bisa mendelik tajam tanpa berkata apapun.
“Anya, aku lebih baik kita berdebat hebat dan kamu berteriak padaku daripada diam terus seperti ini,” pinta Bima karena sejak tadi Bima menjemputnya Zefannya tidak berbicara panjang lebar bahkan hanya makian yang ia dapat itupun satu kalimat.
“Bukan saatnya untuk berdebat Bima,” jawab Zefannya karena jika tidak dijawab maka laki-laki ini akan terus merengek.
“Ayo sayang kamu mau kemana sekarang?” Zefannya bertanya pada Vero yang sibuk memakan cemilan di tangannya.
“Kita akan pulang, aku cape dan butuh istirahat,” Bima yang menyahut
Di dalam mobil hanya ada keheningan, Vero yang terlelap tidur dan kedua orang dewasa yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada perkataan yang keluar dari mulut keduanya, begitupun Bima yang selalu mengoceh kini diam seribu bahasa. Tidak ada ide untuk menggoda Zefannya atau karena melihat raut muka Zefannya tanda moodnya hancur menjadikan Bima segan untuk berbicara.
“Aku takut kalo vero menangis saat bangun, orangtuanya pergi begitupun orang tuaku. Mereka menjenguk nenek Vero yang sakit. Jadi tidak membawa Vero. Kalau kamu ada waktu bisa tolong aku untuk menjaga Vero. Tapi jika kamu lelah tidak apa-apa aku akan mengantarmu lebih dulu.”
“Aku ikut denganmu,” jawab Zefannya dengan memalingkan pandangan keluar jendela.
Membuat Bima tersenyum penuh kemenangan, tenyata begini caranya agar Zefannya mau menurutinya. Bima sangat tau sifat wanitanya, jika ia berkata keras dan memaksa maka Zefannya akan berlaku demikian, dan jika Bima berkata lirih dan memberikan kebebasan maka Zefannya berlaku demikian bahkan lebih tepatnya akan menurut semua yang Bima katakan.
“Bukan berarti aku ingin bersamamu, hanya saja aku tidak mau kamu datang kerumahku lagi dengan membawa Vero yang menangis di pangkuanmu. Itu sungguh mengganggu. Bukan Vero yang menggangu tapi kamu,” jawabnya ketus karena melihat Bima yang senyum sumringah setelah mendapat jawaban sebelumnya.

Book Comment (45)

  • avatar
    Butir Butir Pasir Dilaut

    ceritanya bagus seakan nyata

    13d

      0
  • avatar
    Ardianta Verza

    Bagus

    13/08

      0
  • avatar
    Anang Full

    bagus

    09/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters