logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 29

Taburan bintang yang tidak terlalu banyak cukup menghiasi langit malam dengan bulat sabit yang menjadi pemimpin. Zefannya menyusuri jalanan ditemani Bima di sampingnya. Keduanya memperlambat setiap langkahnya agar waktu terasa lebih lama. Keheningan selalu tercipta diantara keduanya barangkali terlalu asyik merasakan suasana yang ada.
"Kenapa kamu bisa sakit?" pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu untuk dijawab.
"Aku ini manusia normal, ya tentu bisa sakit," jawabnya ketus. Sepertinya memecah keheningan dengan perdebatan akan lebih mencairkan suasana.
"Aku tahu, tapi kau tidak akan sakit jika bisa menjaga kondisi tubuhmu," tekannya di setiap kata. "Dan satu lagi kau tidak memberitahuku kalau kau sakit. Jangankan aku keluargamu saja tidak," sindirnya.
"Aku tidak mau merepotkan," elaknya.
"Jatuhnya membuat orang khawatir dan lebih repot."
"Kau datang ke sini hanya untuk memarahiku?" sewotnya.
"Tentu, kan sudah aku katakan lewat telpon minggu lalu," jawabnya jelas dan merasa menang.
Zefannya dibuat bungkam oleh perkataan Bima. Selalu mengungkit yang sudah terjadi. Padahal Zefannya sudah tahu letak kesalahannya dan ia tidak akan mengulangi kesalahan lagi seperti sengaja tidak memberi kabar dan egois untuk mengambil semua kesempatan. Buktinya saja Kirana sudah melepas semua kesibukkan lainnya dan hanya fokus pada tugasnya saja dan satu lagi dia sudah sering memberi kabar pada keluarganya.
Keheningan kini tercipta lagi. Mereka terus melangkahkan tungkainya. Zefannya yang masih kesal terus menggerutu dan mengerucutkan bibirnya dan Bima yang dibuat gemas oleh sikap Zefannya.
"Ayo ikut aku," seret Bima kedalam minimarket.
"Duduk di sini dan tunggu! Jangan kabur ya cantik," mengedipkan matanya dan meninggalkan Zefannya yang dibuat bingung.
Zefannya senang, sangat senang dengan kehadiran Bima. Katakanlah hatinya kini menghangat, perasaannya kini kembali. Zefannya sempat bingung dengan perasaannya pada beberapa bulan lalu saat mereka jarang berkomunikasi. Zefannya selalu merasa bahwa perasaan untuk Bima perlahan memudar. Namun nyatanya tidak karena saat Bima hadir dan menemuinya perasaan cinta itu muncul kembali. Nyatanya karena memang kurang komunikasi, itulah jawaban yang sangat tepat.
"Ini untukmu." Menyerahkan satu cup ramen.
"Aku kira kau akan memberikanku es krim." Rajuknya sambil menerima cup ramen.
"Ambil saja jika kau mau, aku belikan semuanya untukmu." Zefannya terkekeh mendengarnya.
Mereka disibukkan dengan menghabiskan ramen di minimarket dekat kampus. Minimarket yang sama dimana Zefannya menikmati ramen saat salju pertama turun. Zefannya begitu antusias dan senang melihatnya.
"Sayang," sapa Bima yang sejak tadi mengamati wajah Zefannya. Sang lawan bicara hanya berdehem sebagai jawaban dan lebih memilih untuk melanjutkan makannya tanpa menoleh.
"Kamu selalu marah kalau dulu aku panggil sayang." Menyampirkan rambut Zefannya ke telinga agar wajah cantiknya bisa Bima lihat dengan jelas.
"Itu karena kau menyebalkan!" Bima hanya terkekeh gemas melihat Zefannya yang kesal.
"Bima...," ucapnya menggantung seolah tenggorokannya tercekat dan tidak sanggup untuk melanjutkan pembicaraan.
"Kenapa?" diraihnya tangan Zefannya dan mengusapnya dengan lembut untuk memberikan ketenangan. Terlihat jelas sekali bahwa Zefannya ragu dan juga menyimpan suatu hal dalam dirinya.
"Kamu gak akan ninggalin aku 'kan?" ucapnya begitu lirih tapi masih mampu untuk Bima dengar.
"Kenapa kamu bicara seperti itu?" ucap Bima lembut namun terkesan menuntut.
"Tidak, lupakan saja," elak Zefannya dan pergi untuk mengambil es krim sebagai makanan penutup.
Yang Bima rasakan tentu saja kaget. Kenapa Zefannya harus berpikir sejauh itu. Tentu saja Bima tidak akan meninggalkan Zefannya tapi Bima yakin bahwa Zefannya memiliki ketakutan untuk hubungannya. Bisa dikatakan Zefannya takut jika semua yang telah terjadi kemungkinan bisa terjadi lagi. Dan Bima sangat paham itu.
"Kau mau?" tawar Zefannya yang sudah duduk di samping Bima tanpa disadari. Bima terlalu larut dengan pertanyaan yang Zefannya lontarkan.
"Ya, aku mau." Zefannya memberikan es krim yang ada ditangannya. "Yang ada di dalam mulutmu." Bima menarik tangan Zefannya hingga mengikis jarak dintara keduanya.
Zefannya diam dan menatap lekat mata Bima. Seolah matanya berhasil membekukan tubuh Zefannya. Hembusan nafas Bima yang hangat menerpa wajah Zefannya. Dalam beberapa detik Zefannya sadar akan situasi dan mendorong tubuh Bima. Zefannya kembali memakan es krimnya untuk menghilangkan rasa gugup yang tercipta. Bima tidak tahu jika degupan jantung Zefannya berdetak lebih cepat dan pipinya memunculkan semburat merah. Memaki yang merupakan kebiasaan Zefannya tidak nampak saat ini. Bima hanya tersenyum menatap kekasihnya yang tersipu malu.
"Mana es krimku?" pinta Bima.
"Kau menyebalkan!" menggeser kursi membuat jarak dengan Bima.
"Aku tahu," jawabnya dengan merebut es krim ditangan Zefannya.
Zefannya diam dan pikirannya melayang akan pertanyaan yang dilontarkan tadi. Takut. Itu benar bahwa Zefannya takut.
"Kau takut karena aku membawa Kirana?" tanyanya pelan penuh ragu. Tapi pertanyaan ini memang perlu dilontarkan.
Helaan nafas berat Zefannya sangat terdengar juga terlihat jelas bagaimana tubuhnya ikut merosot. Sebenarnya bukan karena Kirana namun semuanya masih begitu tabu. Karena bagaimanapun Zefannya sudah menanamkan dirinya untuk yakin bahwa Bima tidak akan berpaling.
"Terlepas dari itu tidak ada sangkut pautnya dengan Kirana. Aku tidak merasa sama sekali kalau dia akan merebut kamu dari aku," jawabnya jelas. "Entahlah sayang, lupakan saja. Itu hanya ketakutanku saja, aku akan berusaha untuk menghilangkan ketakutan itu. Bantu aku ya," pintanya.
"Tanpa kamu meminta aku akan melakukannya," usapan lembut di punggung Zefannya mampu menenangkan hati Zefannya.
Tidak hanya Zefannya yang takut tentang hubungannya. Bima pun demikian. Ia takut jika masa lalu itu terulang lagi. Tidak tahu siapa yang akan ditinggalkan dan meninggalkan. Yang jelas mereka berusaha untuk menepis semua itu.
"Ayo ini sudah malam. Aku perlu istirahat. Vero akan menangis jika tidak ada pamannya," ucap Zefannya melangkah keluar terlebih dahulu diikuti Bima.
"Bagaimana kencannya? Apakah menyenangkan?"
"Kau anggap itu kencan?" kaget Zefannya terlihat jelas dari matanya yang terbuka lebar dan mulutnya yang terbuka.
"Tentu saja, kenapa? Kau keberatan?"
"Tidak romantis sekali," ketus Zefannya.
"Oh ya? Menurutku itu romantis. Kau begitu malu saat aku menarikmu," goda Bima dengan menyenggol terus menerus bahu Zefannya.
"Hentikan Bima! Kau itu mesum!" ketus Zefannya berusaha menghindar.
"Benarkah? Tapi kau terlihat malu dan juga senang. Wajahmu tidak bisa menyembunyikannya sayang." Bima menggoda Zefannya terus menerus. Maklum saja sudah lama sekali hobinya ini tertunda.
Zefannya melangkah lebih cepat meninggalkan Bima yang terus mengejarnya untuk menyamai langkah Zefannya. Bima membuatnya kesal sekaligus bahagia. Kesal karena terus menggodanya dan bahagia karena kencannya. Sederhana hanya sebatas ramen juga es krim. Tapi sepertinya bukan sederhana namun lebih ke irit. Setidaknya ramen tadi berhasil mengisi perut yang sudah jamnya untuk diisi dan es krim tadi mampu membuatnya tersipu malu. Zefannya sudah gila sepertinya.
"Ingat jaga kesehatanmu. Jangan banyak memikirkan apapun apalagi hal yang tidak berguna. Fokuslah pada kuliahmu dan segeralah pulang aku merindukanmu." Peringatnya yang penuh tuntutan di akhiri pengungkapan rasa rindu. Diacaknya rambut Zefannya, dicubitnya kedua pipi Zefannya dan diakhiri dengan merengkuh tubuh Zefannya ke dalam dekapannya yang dibubuhi dengan kecupan lembut pada kening Zefannya. Hal itu membuat sang empu menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Bima dan menbalas pelukannya begitu erat menyalurkan semua yang dirasakan. Tenang, itulah yang Zefannya rasakan saat berada pada pelukan Bima.

Book Comment (45)

  • avatar
    Butir Butir Pasir Dilaut

    ceritanya bagus seakan nyata

    12d

      0
  • avatar
    Ardianta Verza

    Bagus

    13/08

      0
  • avatar
    Anang Full

    bagus

    09/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters