logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 IV

Di tahun pertama merayakan hari kasih sayang sebagai pasangan suami istri, Tika dan Joni tidak merayakannya di restoran mewah atau saling bertukar cokelat. Pukul sepuluh pagi lewat tiga menit, suara tangisan bayi laki-laki memenuhi kamar kelas 1.

“Arsa dalam bahasa Sanskerta berarti bahagia. Aku ingin anak kita kelak menjadi anak yang tumbuh dengan baik dan mampu memberikan kebahagiaan tiada tara untuk keluarga kecil kita,” terang Joni sambil menatap sepasang mata mungil yang masih tertutup itu.

Tak bisa dipungkiri, menggendong putra pertama adalah hal terhebat yang pernah dirasakan Joni seumur hidupnya. Selain memenangkan lomba menulis puisi saat lomba HUT RI di SMP-nya dulu, ia tak pernah merasa hebat seperti hari ini.

Tika mengangguk dan mengiyakan nama yang diberikan Joni untuk putra mereka. Jangankan kelak, saat ini saja Arsa sudah memberikan kebahagiaan yang tak terkira untuknya. Ia merasakan betul sekarang bagaimana bahagianya melahirkan seorang anak. Meski sakit tak terkira, akan tetapi kebahagiaannya sungguh tiada tara.

“Nama panjangnya apa, Pa?” tanya Tika kemudian pada Joni.

Sambil menimang-nimang Arsa, Joni berpikir sejenak. “Karena Arsa lahir tanggal 14 Februari 2011, gimana kalau Arsa Valentino Joka? Joka perpaduan dari Joni dan Tika.”

“Nggak sia-sia Arsa punya Papa yang puitis,” puji Tika terkesima dengan usul yang diberikan suaminya.

Joni memang beda. Di saat rekan-rekan kerjanya yang menikah dan memiliki seorang anak lebih dulu menamai anak-anak mereka dengan nama yang berasal dari kitab suci––ia malah tak berniat. Baginya, nama yang berasal dari kitab suci terlalu berat untuk anaknya. Ia tidak ingin hanya karena nama anaknya nanti akan merasa terbebani. Biarlah Arsa menjadi Arsa yang merdeka dan bahagia. Sesusai dengan nama yang diberikan untuknya.

***

Banyak keluarga dan teman yang menyambut bahagia kelahiran Arsa. Selain kedua orang tua Joni dan Tika, beberapa rekan kerja datang dan rela mengesampingkan momen hari kasih sayang yang setahun sekali ini hanya untuk melihat Arsa yang baru datang ke dunia.

Seorang perempuan yang seusia dengan Tika menggerakkan engsel pintu. Sinar sore yang terik menyilaukan pandangannya sesaat. Perempuan itu melangkah sambil menjinjing bingkisan berwarna putih. Perempuan itu bernama Nita. Sahabat Tika sejak SMP.

“Lucu, Tik. Mirip sama lo mukanya,” kata Nita. Matanya tak bisa berbohong. Binar di pupil itu menandakan bahwa tak hanya kedua orang tua Arsa saja yang bahagia.

“Gede dikit pasti gua culik terus deh,” sambungnya lagi.

“Jangan dong,” cegah Joni yang masih menimang Arsa, menatapinya penuh cinta. “Kalo Arsa diculik tante Nita, Mama dan Papa pasti kesepian.”

Hari itu, Joni dan Tika tidak perlu memproklamirkan kebahagiaan yang mereka rasakan. Semua bintang yang paling terang menyala dalam hati mereka. Nyanyian terbaik bersenandung dan mengiringi hadirnya Arsa.
***

Sejak hadirnya Arsa di rumah kecil itu, kebahagiaan makin dominan. Hari lepas hari letih memberesi dan merawatnya tidaklah sulit jika mereka melihat senyumnya yang makin menawan. Semua hal terbaik mereka upayakan. Joni makin keras bekerja. Tika makin rajin belajar kepada mertuanya bagaimana cara memandikan dan merawat Arsa dengan penuh cinta dan kasih.

Setiap malam, Joni menyempatkan waktu setidaknya satu jam untuk menuliskan apa saja yang ia lakukan hari itu. Sudah sejak dulu ia berharap menjadi seorang penulis yang terkenal dan menghasilkan banyak uang. Memang tidak banyak penulis yang beruntung seperti itu. Akan tetapi, kehadiran Arsa sedikit banyak telah membangkitkan nyala asanya untuk berani berharap kembali.

Kenyataan lebih banyak menyakitkan bagi siapa saja yang memilih bermimpi lebih tinggi. Mungkin sudah puluhan kali Joni menerima penolakan terhadap naskah yang dikirimkannya. Satu-satunya novel yang berhasil Joni selesaikan––ditolak mentah-mentah oleh para penerbit. Jujur saja, dalam hatinya pun ia merasa bahwa menjadi penulis yang digawangi oleh penerbit mayor makin jauh jaraknya. Semakin dewasa manusia, sifat rasional akan kenyataan makin matang dan mencuat.

Saat ini, Joni berada di garis tengah. Ibarat kendaraan yang sedang berhenti di lampu merah dan sudah melanjutkan setengah perjalanan namun hujan sedang turun deras-derasnya. Ia berniat untuk kembali dan bersantai di rumah saja daripada kehujanan dan terjebak banjir di perjalanan yang tidak pasti. Beberapa detik sebelum lampu merah berganti hijau, sosok Arsa muncul dengan senyum dan memberikan secercah harapan. Ia bingung antara melanjutkan perjalanan atau pulang lalu merencanakan hal lain yang lebih dekat dengan kenyataan.

Mimpi-mimpi Joni terjaga kembali. Hasrat untuk mencoba lebih besar ketimbang menyerah dan memutar arah. Meski di depan sana ia tidak tahu apa yang terjadi, ia akan mencoba. Garis tengah. Yang ia tahu saat ini adalah garis tengah memberikan dua kemungkinan. Gagal atau sebaliknya.

Yang perlu dilakukannya saat ini adalah terus mencoba. Jika gagal coba lagi. Jika gagal renungi lagi.

“Papa lagi nulis apa?” tanya Tika menghampiri Joni yang sedang sibuk mengetik di meja kerjanya.

Jangan bayangkan meja kerja Joni seperti kebanyakan penulis-penulis yang sering diwawancarai di televisi. Bagi Joni, masalah perlengkapan menulis tidak perlu seperti penulis sungguhan. Apalagi baginya yang belum menghasilkan. Meja bekas dari kantornya yang sudah tak terpakai pun jadi nyaman. Alat dan perlengkapan boleh terbatas, asal kepala jangan mengikutinya.

“Hmm, nulis apa aja yang penting kosa kata terus diasah,” jawab Joni serius.

“Papa nggak mau coba buat cerpen?” tanya Tika lagi.

“Papa kan udah nulis satu novel, Ma. Masa balik lagi buat cerpen?”

“Dicoba, Pa. Supaya tulisan-tulisan Papa lebih matang.”

“Ya, nanti Papa coba, Ma.”

Joni kembali sibuk dengan laptopnya. Kepalanya penuh dengan kata-kata yang tak tersusun. Kata-kata yang saling serang dan minta dijamah oleh jemarinya.

Kata adalah makna. Makna dari ketidakpastian yang memiliki hasrat akan kerinduan. Kerinduan tidak bertepi. Terus menerus menyiksa, menghabisi nyala cahaya dalam hati siapa saja yang berusaha direbutnya. Aku tidak tahu sampai kapan kata terus berupaya mencabut pikiran dan seisi hati. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, kamu adalah milikku.

Ia membaca ulang paragraf pendek yang dibuatnya. Tidak nyambung, itulah dua kata yang terlintas di kepala saat membaca tulisannya sendiri. Karena merasa terputus inspirasinya, laptop yang baru saja dinyalakan itu––kembali dimatikan.

Merasa tidak tahu harus melakukan apa, akhirnya ia masuk ke kamar dan melihat Arsa tengah tertidur pulas dalam pelukan Tika.

“Enggak jadi nulis?” Tika menyadari kehadiran Joni yang memeluknya dari belakang.

Joni menggeleng. Masih ada hari esok, batinnya menghibur. Menulis dalam keadaan buntu hanya akan menghasilkan tulisan jelek dan tidak nyambung seperti tadi.

“Aku nemenin kamu ngelonin Arsa aja, boleh?”

“Arsa yang dikelonin apa kamu yang minta juga?” goda Tika manja.

Usai meyakinkan bahwa Arsa memang sudah tertidur, mereka larut dalam cumbu yang menghasilkan desahan panjang.
***

Jam dinding kayu berdentang beberapa saat. Hari sudah berganti kurang dari satu menit yang lalu. Tidak lama dari itu, Arsa menangis dan membangunkan orang tuanya yang tertidur pulas dan tidak berpakaian.

Tika mengucek matanya sebentar. Rasa kantuk masih menjadi. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Rasanya ia ingin sekali kembali melanjutkan tidur. Sementara itu, Joni masih pulas seakan sepasang telinga miliknya tertutup benda tebal.

Joni bergeming. Mendengar tangisan Arsa yang masih kencang, ia malah memeluk guling sambil tersenyum senang seolah guling itu berwujud isterinya.

Dengan separuh nyawa yang masih melayang, Tika menggendong Arsa dan menimang-nimangnya. Ia berjalan ke luar kamar, menuju ruang tamu dan ruang tengah, kemudian kembali lagi ke kamar sampai Arsa terlelap. Menggendong anak saat kondisi mengantuk dan kesadaran setengah bukanlah hal yang mudah. Mata Tika sulit tercelik. Seolah ada perekat yang menghalangi sepasang kelopak matanya.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit hilir mudik melangkahi setiap petak rumah, Arsa masih terjaga. Sepasang mata pangeran mungil itu berbinar ketika menatap matanya. Mereka saling menatap. Ada cinta yang meluap. Ada harapan untuk yang terselip dalam doa di dalam hati Tika untuk anaknya.

Tika memberikan senyum terbaiknya. Anaknya tak tahu kalau ia baru saja jaga malam melayani suaminya. Karena jaga malam itu, pangeran mungil itu hadir ke dunia. Memberikan secuil pelita untuknya dan Joni.

Arsa mulai terlelap ketika waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Usai memastikan kalau anaknya tak akan terbangun jika berpindah posisi, ia meletakkannya bersebelahan dengan Joni. Terlihat jelas, kedua lelaki pemilik hatinya pulas sekali. Bahkan, Joni mulai mendengkur. Hal itu terjadi ketika perutnya mulai cembung karena membantu Tika menghabiskan makanan sisa. Makanan yang membuat Tika mual dan ingin muntah karena tak sesuai dengan apa yang diidamkan.

Tika duduk di tepi kasur. Memandangi Joni dan Arsa yang terlelap. Betapa bahagia dunia. Ia memastikan, jika terlahir kembali, ia tetap akan memilih lelaki puitis itu sebagai suaminya.

Book Comment (435)

  • avatar
    KhoirilOing

    saya suka dengan novelah ini sangat bagus dan menarik

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Dyan Adriansyah

    sangangat menarik, dan tutur bahawsa nya juga sangat efektif. saya sanganat terhibur sekali dengan novel ini, daripada saya belo buku yg akhirnya menjadi barang bekas lebih baik saya membaca di sini. sangat menghibur sekali pokonya

    23/01/2022

      2
  • avatar
    FaridaqilMuhd

    good the best

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters